29 Mei 1994

129. Haji BawakaraEng

Kita mulai dahulu dengan yang normatif. Seperti diketahui syari'at diklasifikasikan dalam yang 'ubudiyyah dan yang mu'a-malah. Klasifikasi hanya berarti pembedaan, bukan pemisahan. Syari'at yang 'ubudiyyah menyangkut peribadatan langsung antara hamba dengan Allah, sedangkan yang yang mu'a-malah peribadatan itu sifatnya tidak langsung tetapi tujuan akhirnya adalah tertuju kepada Allah SWT. Keduanya baik yang 'ubudiyyah maupun yang mu'a-malah tergantung pada nawaytunya (niat). Shalat termasuk dalam syari'at yang 'ubudiyah, namun tidaklah mempunyai nilai 'ibadah jika niatnya bukan karena Allah. Shalat penampilan (riya) tidak mempunyai nilai 'ibadah karena niatnya misalnya untuk menarik simpati calon mertua, maupun simpati massa. Memungut beling dari jalan kemudian membuangnya ke tempat yang aman adalah 'ibadah yang termasuk klasifikasi kedua, dengan syarat niatnya karena melaksanakan perintah Allah SWT, berbuat baik kepada sesama makhluk. Syari'at yang ubudiyah sangat ketat bentuk pelaksanaannya dalam arti caranya, waktunya, tempatnya. Berlaku kaidah: semua tidak boleh kecuali yang diperintahkan dan dicontohkan. Syari'at yang mu'a-malah berlaku kaidah sebaliknya yaitu longgar dalam bingkai tertentu: semua boleh kecuali yang dilarang. Kebolehan itu berbingkai larangan yaitu yang bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.

'Ibadah Haji termasuk dalam klasifikasi syari'at yang 'ubudiyah, namun seperti dikatakan di atas walaupun menyangkut hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung, tidak terlepas kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan sesamanya makhluk. Dalam keadaan ihram tidak boleh memetik tumbuh-tumbuhan dan tidak boleh berburu binatang. Rangkaian 'ibadah Haji adalah menyembelih hewan kurban, dagingnya untuk dimakan sesama manusia yang miskin, yang tidak meminta dan yang meminta. Karena 'ibadah Haji tergolong ke dalam syari'at yang 'ubudiyah berlakulah kaidah seperti dijelaskan di atas tadi: semua tidak boleh, kecuali yang diperintahkan dan dicontohkan, artinya tidak boleh ada tempat lain selain yang ditentukan: tempat thawaf di sekeliling Baytu Lla-h, tempat sa'iy antara Safa dengan Marwah, tempat wuquf di 'Arafah, tempat bermalam di Muzdalifah, tempat melempar jumrah di Mina.

Inilah penjelasan secara normatif bahwa naik Haji di puncak gunung BawakaraEng dan Lompobattang tidak benar menurut syari'at. Tentu saja penjelasan secara normatif walaupun perlu belumlah cukup dalam rangka upaya mencegah orang pergi ke kedua gunung itu. Upaya menghambat jalur ke kedua puncak gunung itu juga perlu tetapi belum cukup. Haruslah ditingkatkan upaya yang telah pernah diupayakan selama ini.

Untuk mendatangi ke pelosok-pelosok memberikan penerangan agama tentang tidak benarnya naik Haji ke BawakaraEng membutuhkan muballigh yang banyak, dan kesulitan lain tidak ada data yang cukup di kampung-kampung dan desa-desa di mana sajakah yang banyak penganut aliran ini. Jadi strateginya haruslah dipusatkan ke tempat sentral, yaitu di puncak BawakaraEng (dan Lompobattang) itu sendiri. Organisasi remaja pendaki gunung perlu turun tangan. Dalam bulan Ramadhan yang biasanya dilaksanakan pesantren kilat, para remaja pendaki gunung yang berbakat dididik menjadi muballigh dan khatib 'Iyd. Menjelang hari raya 'Iydu l'Qurban rombongan pendaki gunung ini sudah ada yang menanti di pos-pos penghabatan jalur ke puncak BawakaraEng. Yang tua-tua dan anak-anak dilarang ikut naik yang muda-muda dipandu naik. Di atas puncak dilaksanakanlah shalat 'Iyd dan pemotongan hewan kuban sesudahnya. Isi khutbah utamanya ditekankan bahwa shalat 'Iyd dapat dilaksanakan di mana saja, jadi bershalat 'Iyd di puncak BawakaraEng boleh saja. Namun 'Ibadah Haji tempatnya sudah ditentukan syari'at hanya di Makkah, 'Arafah dan Mina. Tahap pertama (jangka pendek) selama tradisi ke BawakaraEng masih sulit dibendung secara berakselerasi maka sasarannya ialah niat aliran BawakaraEng itu dibelokkan ke arah yang sesuai dengan syari'at, bahwa ke BawakaraEng itu bukanlah untuk naik Haji, melainkan hanya sekadar shalat 'Iyd dan menyembelih hewan kurban yang sempat dibawa. Tahap selanjutnya (jangka panjang) menanamkan kesan pada mereka hingga dapat bersikap buat apa jauh-jauh shalat 'Iyd ke puncak BawakaraEng.

Ditempuhlah pula taktik pesan berantai. Para penduduk yang beraliran Haji BawakaraEng yang telah berhasil dibina meneruskannya kepada teman-teman bekas sealirannya di kampung asalnya. Jangka pendek, jangka panjang dan taktik pesan berantai itulah metode yang digariskan dalam Al Quran, yaitu metode alhikmah, almaw'izatu lhasanah dan almuja-dalatu billaty hiya ahsan (kebijaksanaan, penerangan yang baik dan berdialog dengan sebaik-baiknya).

Sebenarnya metode itu telah ditempuh dan kelihatannya sudah hampir berhasil dalam hal menghibur orang kematian (ta'ziyah). Cara-cara yang mulanya tidak sesuai dengan syari'at, yaitu meniga hari, menujuh hari, mengempat puluh hari dan seterusnya, telah hampir berhasil diluruskan. Bukan lagi niatnya memperingati hari yang ketiga, hari yang ketujuh dst. dari orang yang meninggal (mendiang), melainkan sudah hampir berhasil sekarang diarahkan kepada yang sesuai dengan yang dicontohkan RasululLah bagaimana seharusnya ta'ziah itu. Bukan untuk mendiang, melainkan untuk orang yang masih hidup, yaitu untuk menghibur keluarga yang bersedih, dan caranya tidak boleh memberatkan keluarga yang ditimpa musibah itu.

Demikianlah sekadar tawaran bagi para remaja pendaki gunung untuk mengupayakan menuntun ke jalan yang benar terhadap aliran Haji BawakaraEng itu. Insya Allah, mudah-mudahan berhasil dalam menuntun meluruskan mereka. Fastabiqu lKhayra-t, hai para remaja pendaki gunung! WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 29 Mei 1994