7 Agustus 1994

139. Rambang-Rambang, Nostalgia Tempo Doeloe dan Gelitik bagi TVRI Stasiun Ujung Pandang

Pada malam Jumat, 4 Agustus 1994, di Gedung Harian Fajar lantai 3, budayawan Mappaseleng Dg Maqgauq, membawakan sekapur sirih yang disudahi dengan menyanyikan lagu daerah Makassar: Minasa ri Boritta (Harapan bagi Negeri Kita). Ada seorang budayawan, entah budayawan siapa saya telah lupa, yang pernah mengatakan kepada saya bahwa lagu itu sebenarnya lebih elok jika diubah judulnya menjadi: Passolongang Ceratta (Tumpah Darah Kita, assolong = tumpah, cera' = darah). Keesokan harinya, Jumat 5 Agustus 1994, sementara menunggu pengantin laki-laki di rumah Mashudulhaq R. Sanggu, saya konsultasikan hal tersebut kepada budayawan Hamzah Dg Mangemba yang juga turut hadir. Dg Mangemba membenarkan bahwa lagu itu memang lebih baik jika berjudul Passolongang Ceratta.

Malam Jumat di lantai 3 Gedung Harian Fajar itu tatkala mendengarkan alunan suara Dg Maqgauq, saya bernostalgia, ingat tempo doeloe, ketika saya masih kecil di kampung halaman, sewaktu lagu-lagu daerah masih sangat dominan, oleh karena belum terjadi akulturasi budaya kita dengan budaya luar. Waktu itu setiap ada "paqgaukang", pesta kenduri, tidak pernah ketinggalan acara kesenian Rambang-Rambang, yaitu nyanyian solo diiringi oleh empat atau lima biola dan rabbana (rebana). Perangkat bunyi-bunyian biola dan rebana yang mengiringi nyanyian solo ini beberapa tahun lalu pada waktu Aziz Husein masih menjabat Kepala TVRI Stasiun Ujung Pandang, secara perodik ditayangkan di TVRI, yang dikenal dengan Orkes Turiolo. Namun sekarang sudah menghilang bersama-sama dengan alunan sinriliq dari Mappaseleng Dg Maqgauq bersama iringan kesoq-kesoq (rebab)nya. Halo, bagaimana ini TVRI Stasiun Ujung Pandang?

Kembali pada pembicaraan tentang perihal rambang-rambang. Mengapa nyanyian solo yang diiingi dengan perangkat bunyi-bunyian biola dan rebana itu dinamakan apparambang-rambang, menggelar rambang-rambang, oleh karena senantiasa lagu pertama yang dinyanyikan ialah lagu Rambang-Rambang. Ini adalah istilah pelaut, kalau dijadikan kata-kerja "aqrambangang" berarti dua tiga buah perahu pinisiq atau sampan layar yang berlayar berdampingan.

Sayang sekali apparambang-rambang ini mulai pudar diganti dengan "appabattiq-battiq". Adapun battiq-battiq ini sejenis alat bunyi-bunyian hasil akulturasi antara bunyi-bunyian tradisional kecapi dengan gambus. Batang tubuhnya kurang lebih berbentuk kecapi namun dawai (tali)nya seperti gambus, yaitu setiap nada tidak hanya terdiri satu dawai saja seperti kecapi, biola dan gitar, melainkan setiap nada terdiri atas dua utas sawai seperti gambus. Beberapa tahun yang lalu tatkala Letkol Zainal Arifin Kammi mengawinkan puterinya, maka pada resepsi perkawinan di Gedung Manunggal digelarkan pabattiq-battiq. Rombongan pabattiq-battiq tersebut didatangkan Arifin Kammi dari Selayar, yang waktu itu masih menjabat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Selayar.

Mungkin sekali kekalahan parambang-rambang dari pabattiq-battiq ini, oleh karena battiq-battiq jauh lebih gampang dibuat dari biola. Tempo doeloe harga biola dapat terjangkau oleh golongan bawah sampai kepada masyarakat nelayan, sedangkan sekarang ini biola adalah barang langka bagi masyarakat luas. Dewasa ini untuk membeli biola bagi masyarakat nelayan ibarat pungguk merindukan bulan, dan untuk membuatnya sendiri tak sanggup pula. Maka menanglah battiq-battiq atas rambang-rambang. Barangkali ada baiknya jika kemampuan membeli komoditi seharga biola ini dapat dijadikan tolok ukur bagi meratanya kesejahteraan di kalangan rakyat.

Adapun syair ataupun kelong rambang-rambang itu seperti berikut:

Rambang-Rambang

Pakabajiki boritta
Ikkattepa-ssamaturuq
Nakiqrambangang
Ansombali mateqnea

Teaki naparakatte
Sigeaq sigenra-genra
Nalewa lino
Naamang paqrasanganta

Perbaiki negeri kita
Mari membina kesepakatan
Berlomba berdampingan
Berlayar menuju bahagia

Janganlah di antara kita
Tumbuh silang-sengketa
Agar tercapai keseimbangan
Amanlah kampung-halaman

Adapun assamaturu' ambajiki bori, bersepakat memperbaiki negeri menurut syair Rambang-Rambang di atas itu adalah dengan metode aqrambangang, berlayar berdampingan. Artinya dalam membangun itu bekerja sama secara sinkron, bukan dalam arti sama-sama bekerja (para najama jamanna). Sudah bukan hal yang langka bahwa di sana-sini cara sama-sama bekerja itu dapat kita saksikan. Ada yang bekerja membangun jalan yang bagus licin dan mulus beraspal. Sudah itu ada pula yang bekerja menggali saluran dengan merusak jalan yang sudah mulus itu untuk keperluan menanam kabel listrik maupun kabel telkom ataupun untuk pipa air. Assamaturu' ambajiki bori dengan aqrambangang tersebut bermakna memabangun memperbaiki negeri berbimbing tangan bertolongan terkait antara satu dengan yang lain. Ini adalah penjabaran dari Ta'aawanaw 'ala lBirri (S. Al Maaidah, 6:2), tolong-menolonglah kamu dalam berbuar berbuat baik (6:2). Itulah isi bait pertama Rambang-Rambang itu. Adapun bait kedua adalah penjabaran dari laa Ta'aanaw 'ala lItsmi wa l'Udwaani (S. Al Maaidah, 6:2), janganlah kamu bertolong-tolongan berbuat dosa dan agressi (6:2). WaLla-hu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 7 Agustus 1994