13 November 1994

153. Gajah Mati Meninggalkan Gading Harimau Mati Meninggalkan Belang

Firman Allah dalam S.Ali 'Imra-n,134 mengandung pesan tentang tahapan-tahapan dalam berbuat kebajikan kepada sesama manusia. Alladziyna Yunfiquwna fiy sSara-i wa dhDharra-i wa lKa-zhimiyna lGhayzha wa 'A-fiyna 'ani aNa-si wa Lla-hu Yuhibbu lMuhsiniyna. Yaitu mereka yang menafakahkan hartanya untuk fungsi sosial dalam keadaan senang dan susah dan menahan amarahnya dan memaafkan sesama manusia dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan. Ayat ini menjelaskan kepada kita tingkatan ordinal yang harus ditempuh ibarat menaiki anak tangga. Mulai dahulu menaiki anak tangga pertama: mengeluarkan harta secara ikhlas, bukan karena penampilan yang mesti dishooting. Keikhlasan tanpa dipengaruhi oleh kondisi senang dan susah, dapat membawa kita ke jenjang yang kedua, menahan amarah, yang merupakan prasyarat untuk menaiki anak tangga ketiga: memaafkan sesama manusia yang keluar dari qalbu yang tulus, bukan hanya sekadar basa-basi berjabat tangan sambil senjum-senyum diplomat.

Demikianlah berbuat kebajikan itu tergantung pada kemampuan seseorang. Ada yang maksimal dengan nilai A ada pula yang minimal dengan nilai C dan ada yang di tengah-tengahnya dengan nilai B, semuanya dinyatakan lulus, yaitu masing-masing akan mendapatkan kecintaan Allah sesuai dengan tingkat kesanggupannya itu: wa Lla-hu Yuhibbu lMuhsiniyna.

Memaafkan sesama secara ikhlas berarti melupakan setelah mengetahui lebih dahulu perbuatan negatifnya kepada kita disusul dengan mengikhlaskan artinya melupakan perbuatan positif kita kepada sesama. Itu yang pasif yakni melupakan. Kemudian yang aktif adalah mengingat selalu perbuatan negatif kita kepada sesama agar kita mendapatkan efek daripadanya dengan meningkatkan berbuat kebajikan, kemudian disusul dengan selalu mengingat pula perbuatan positif sesama manusia kepada kita, sehingga setiap ada kesempatan kita dapat membalasnya dengan perbuatan yang positif pula.

Sungguhpun demikian karena kemampuan manusia itu tidak sama, maka tentu janganlah pula mengharapkan bahwa semua orang akan dapat memaafkan sesamanya secara ikhlas. Itulah mengapa pada Hari Pengadilan (Yawmu dDiyn) hutang di dunia yang berupa kesalahan terhadap sesama manusia yang tidak dimaafkan oleh yang teraniaya secara ikhlas, akan dibayar lunas kelak oleh yang menganiaya. Menurut sabda RasululLah SAW di Hari Pengadilan ada yang bangkrut (muflis) karena semua amal kebajikannya dipakai untuk membayar hutang.

Menjadi pemimpin mengandung risiko berhutang kepada mereka yang tidak bersedia secara ikhlas memaafkan keputusan politik yang membawa kesengsaraan bagi mereka. Makin tinggi kedudukan makin tinggi pula risiko. Namun dibalik itu makin tinggi pula nilai kebajikan yang akan didapatkan, apabila keputusan politik lebih banyak membawa manfaat bagi orang banyak ketimbang mereka yang dirugikan olehnya. Menggusur petani untuk membuat lapangan golf tentu saja keputusan politik yang demikian ini akan menghasilkan hutang bagi pengambil dan pelaksana keputusan itu yang akan dibayar di Hari Pengadilan kelak, oleh karena sangat jaranglah orang yang disengsarakan karena kehilangan mata pencaharian akan memaafkannya secara ikhlas di dunia ini.

***

Gajah mati meningglkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Gading adalah simbol dari perbuatan baik bagi seorang mendiang, yang menimbulkan kesan baik terhadapnya oleh yang masih hidup, yang kemudian dituliskan dalam wujud ungkapan: mengukir sejarah emas. Sedangkan belang adalah sebaliknya, yaitu perlambang perbuatan jahat bagi seorang mendiang, yang menimbulkan kesan buruk terhadapnya oleh yang masih hidup, yang kemudian dituliskan dalam wujud ungkapan: mengotori sejarah.

Raja-raja Gowa dahulu mendapatkan gelar-gelar anumerta yang direkam para penulis sejarah di dalam "Lontaraq" seperti Tunijalloq (yang diamuk), Tunipasala (yang diturunkan dari tahta), Tumapaqrisiq Kallonna), yang sakit lehernya, Tummenanga ri Agamana (yang beristirahat dalam keyakinan agamanya-maksudnya Islam HMNA-), Tummenanga ri Papambatuna (yang beristirahat pada batutulisnya -maksudnya terpelajar HMNA-), Tummenanga ri Ballaq Pangkana (yang beristirahat di rumah kebesarannya).

Penulis-penulis sejarah di dalam Lontaraq tersebut menuliskan sejarah dengan jujur, berani dan terbuka memberi gelar pada mendiang rajanya sesuai dengan apa adanya. Mereka tidak bersikap serahkanlah penilaian itu kepada sejarah, oleh karena sejarah itu tidak dapat menulis, nerekam dirinya sendiri. Yang menulis dan merekam itu adalah manusia. Tentu saja penulis sejarah di dalam Lontaraq itu akan tersenyum di alam barzakh sekiranya kepada mereka diperlihatkan oleh Allah SWT tulisan ataupun ucapan orang sekarang ini: "Tidak usahlah kita menilai, berikanlah kepada sejarah yang akan menulisnya."

Kesimpulannya, siapapun mereka pelaku sejarah itu patut diungkap mana gading gajahnya, mana belang harimaunya. Barulah kita menghargai dengan penuh hormat gading yang ditinggalkannya dan kita maafkan belang yang ditinggalkannya, bagi mereka yang sudah mampu menahan amarahnya dan memaafkan sesamanya. Sedangkan kepada mereka yang belum mampu untuk memaafkan, tentulah tidak boleh kita memaksakan kepada mereka untuk memaafkan: La- Yukallifu Lla-hu Nafsun Illa- Wus'aha-, Allah tidak akan memberatkan kepada diri orang di atas kemampuannya (S. Al Baqarah, 286). Maka mereka yang tidak sanggup untuk memaafkan, biarlah hutang-piutang diselesaikan di Hari Pengadilan kelak, oleh karena allah SWT memberikan hak kepada mereka untuk menagihnya di Hari Pengadilan. WaLla-hu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 13 November 1994