11 Desember 1994

157. Fatwa Bayi Tabung Perlu Tindak Lanjut, Pemakaian Ungkapan Rahim Sewaan Tidak Tegas

Sidang Komisi A dalam Muktamar ke-29 NU memutuskan haram hukmnya rahim sewaan dan cangkok organ babi. Namun ada sedikit yang mengganjal tentang ungkapan rahim sewaan. Yaitu bagaimana jika ada yang sedia dengan ikhlas menyediakan rahimnya tanpa disewa, misalnya ibu sang isteri, atau ibu sang suami? Padahal dalam sel telur yang telah dibuahi itu sudah ada khromosom dari bibit sang suami? Yang tidak boleh masuk ke dalam rahim selain isterinya?

Hal ini harus dikaitkan dengan fatwa yang telah dikeluarkan NU tidak lama sebelum Muktamar ke-29 tentang dibolehkannya bayi tabung dengan syarat bibit harus berasal dari suami isteri. Syarat itu harus pula dipertegas. Yaitu apabila telah berhasil terjadi pembuahan di dalam tabung, maka sel telur sang isteri yang telah dibauhi oleh sperma sang suami, yang telah bertumbuh di dalam tabung untuk menjadi janin, haram hukumnya dimasukkan ke dalam rahim perempuan lain sebelum perempuan itu dinikahi terlebih dahulu dijadikan isteri kedua.

Diktum sel telur sang isteri yang telah dibauhi oleh sperma sang suami, yang telah bertumbuh di dalam tabung untuk menjadi janin dan diktum haram hukumnya bayi tabung dimasukkan ke dalam rahim perempuan lain sebelum perempuan itu dinikahi terlebih dahulu dijadikan isteri kedua, sudah mencakup haramnya rahim sewaan, haramnya rahim sukarela dan haramnya praktek bank mani. Adapun bank mani ini identik dengan biri-biri pinjaman ala jahiliyah yang dikutuk RasuluLlah SAW. (Pada zaman jahiliyah salah seorang yang terkenal berpraktek sebagai biri-biri pinjaman alias bank mani berjalan ialah Abu Sufyan. Sepasang suami isteri yang telah sepakat ingin mempunyai anak keturunan seperti Abu Sufyan datang meminta kepada Abu Sufyan untuk "memberikan" bibitnya kepada isteri termaksud).

Selanjutnya fatwa bayi tabung itu memerlukan pula tindak lanjut, yaitu pengamanan secara internal dan eksternal.

Pengamanan internal adalah iman dalam diri sang dokter yang berpraktek bayi tabung. Ini sangat perlu, tetapi belum cukup, oleh karena dalam diri manusia normal imannya berirama, sebentar kuat sebentar lemah. Ada biorithmik secara bathin (internal), ibarat sinussoide. Dalam keadaan iman lemah, iblis mudah menerobos masuk. Maka perlu sekali berlatih untuk menjadi ulul albaab, senantiasa melibatkan iman dalam hal berpikir, bersikap dan bertingkah laku, yaitu mengaplikasikan:
-- YDZKRWN ALLH QYAMA WQ'AWDA W'ALY JNWBHM WYTFKRWN FY KHLQ ALSMWT WALARDH (S. AL 'AMRAN, 191), dibaca: yadzkuru-naLla-ha qiya-man waqu'u-dan wa'ala- junu-bihim wayafakkaru-na fi- kahlqis sama-wa-ti wal.ardh (s. ali 'imra-n), artinya: ingat akan Allah tatkala berdiri, duduk dan berbaring, dan bertepekur akan kejadian (benda-benda) langit dan bumi (3:191). Salah satu di antaranya yang termasuk penting ialah latihan bathin berpola pikir: ilmu tidak boleh lepas dari iman. Saya biasa membaca dan mendengarkan sendiri secara langsung keterangan dokter yang walaupun dari sikap hidupnya memancarkan cahaya iman dari dalam bathinnnya, namun memisahkan antara ilmu dengan imannya, tatkala sang dokter memberikan definisi mati sesuai dengan ilmu kedokteran yang digelutinya, yaitu: "Orang itu sudah mati jika otaknya tidak berfungsi lagi." Keterangan dokter yang demikian itu jelas memisahkan antara iman dengan ilmunya. Seharusnya ia berkata: "Mati adalah bercerainya antara ruh dengan jasmani. Tandanya ruh meninggalkan jasad ialah otak tidak berfungsi lagi."

Oleh karena adanya biorithmik secara internal sehingga iblis dapat menerobos masuk dalam keadaan iman sang dokter lemah, maka bukan hal yang mustahil ia terpengaruh oleh iblis untuk memakai spermanya sendiri atau menukarnya dengan bayi tabung lain yang sudah jadi, apabila dalam kenyataan sperma sang suami lemah, tidak dapat membuahi. Karena pengaruh iblis dalam keadaan lemah itu sang dokter lebih mementingkan reputasinya tidak boleh gagal, sementara itu ia dilupakan oleh iblis, bahwa bayi tabung yang akan lahir nanti itu apakah betul turunan sang suami, dapat diperiksa dengan cara mencocokkan darah atau kalau perlu dengan pemeriksaan DNA.

Maka untuk itu perlu pengamanan secara eksternal. Yaitu perlu adanya mekanisme secara teknis administratif. Bahwa sang dokter wajib memperlihatkan jalannya proses pengambilan bibit suami isteri sampai ke tabung hingga pembuahan. Demikian pula pasangan suami isteri wajib mengikuti semua proses itu termasuk memperhatian tabung pembuahan itu dari kemungkinan penukaran. Bahwa perlu membentuk tim untuk menyeleksi secara ketat track record riwayat hidup dan reputasi moral dokter yang akan berpraktek di bidang tabung pembuahan. Alhasil praktek bayi tabung yang sesuai dengan Syari'ah tidaklah semudah seperti diperkirakan orang. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 11 Desember 1994