14 Mei 1995

176. Mungkinkah Alternatif Hewan Kurban Produktif?

Dalam Harian Fajar, edisi Selasa, 9 Mei 1995 pada rubrik Opini, halaman 6 dalam Surat dari Pembaca, saudara Abdul Haris Sulaeman antara lain menulis: Apakah ajaran agama Islam tidak memungkinkan adanya "kurban produktif"?

Pertanyaan ini menarik untuk dibahas. Adapun perintah berkurban disyari'atkan Allah kepada ummat Islam bersamaan dengan perintah shalat 'Iydu lAdhha:

FaShalli li Rabbika waNhar (S.AlKawtsar,2). Maka shalatlah kamu untuk Maha Pengaturmu dan menyembelihlah (108:2). Shalat dalam ayat ini menyangkut pengertian khusus yaitu shalat 'Iydu nNahar (Iydu lAdhha, Iydu lQurban). Perintah menyembelih hewan kurban dalam S.AlKawtsar,3 sangat jelas. Itu disebut ayat qath'i. Orang tidak boleh berijtihad dalam hal ayat qath'i. Lawannya disebut ayat zhanni, yaitu ayat yang membutuhkan ijtihad dengan memekarkan cakrawala pembahasan yang sesuai dengan waktu dan kondisi ruang lingkupnya.

Berkurban termasuk suatu manasik (upacara ritual) yang sudah dicontohkan oleh RasuluLlah SAW, baik cara maupun waktunya. Caranya ialah dengan menyembelih hewan kurban dan waktunya ialah pada 10 Dzulhijjah setelah shalat 'Iydu nNahar dan hari-hari tasyrik (11,12 dan 13 Dzulhijjah). Di luar dari cara dan waktu tersebut bukan manasik kurban namanya, melainkan suguhan biasa.

Inna Awwala ma- Nabdaubihi fiy Yawmina- Hadza- Nushalliy Tsumma Narji'u Fananaharu Man Fa'ala Dzalika Faqad Asha-ba Sunnatana- waMan Dzahaba Qabla Fainnama- Huwa Lahmun Qaddamahu Liahlihi Laysa mina nNusuki fiy Syayin. Sesungguhnya mula-mula kami perbuat pada hari kami ini ialah kami shalat kemudian kami pulang lalu kami menyembelih. Barang siapa mengerjakan yang demikian maka itu telah tepat sesuai dengan sunnah kami. Barang siapa yang menyembelih setelah itu maka sesungguhnya itulah daging yang disuguhkan kepada keluarganya, tidaklah sekali-kali termasuk manasik (ritual), Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.

Hadits Riwayat Ahmad menyatakan: Wa Kullu Ayyamin tTasyriyqi Dzibhun. Pada setiap hari Tasyrik itu penyembelihan.

Allah menggantikan Isma'il dengan binatang sembelihan. Wa Fadaynahu biDzibhim 'Azhiymin (S.AshShafat,107). Dan Kami menukarnya (Isma'il) dengan seekor binatang sembelihan yang besar.

Karena Isma'il (waktu akan dikurbankan belum nabi) adalah seorang laki-laki maka hewan kurban penggantinyapun harus jantan pula. RasuluLlah SAW mencontohkan hewan sembelihan untuk kurban itu adalah jantan. Anna Rasu-luLlahi Shalla Lla-hu 'Alayhi waSallama Dzahaba Qiba-syan Aqrana bilMushallay. Sesungguhnya RasuluLlah SAW menyembelih seekor biri-biri bertanduk di mushalla (Hadits Riwayat Al Hakim).

Dalam hal ibadah yang ritual ('ubudiyyah) berlaku qaidah: semua tidak boleh kecuali yang diperintahkan atau dicontohkan oleh RasuluLlah SAW. Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa hewan betina dapat pula dijadikan hewan sembelihan untuk kurban, akan tetapi oleh karena RasuluLlah mencontohkan hewan sembelihan untuk kurban itu adalah jantan, maka mengingat qaidah tersebut, selain jenis kelamin jantan, yaitu betina dan banci (kalau ada) tidaklah termasuk hewan kurban, melainkan hanya suguhan biasa atau sedekah saja.

Hewan kurban harus disembelih, tidak boleh dijual. Man Ba-'a Jilda Udhhiyatihi Fala- Udhhiyata Lahu. Barang siapa menjual kulit binatang kurbannya, maka tidak ada kurban baginya (Hadits Riwayat Al Hakim). Sedangkan kulitnya saja tidak boleh dijual apalagi binatang seutuhnya.

Jadi hewan kurban tidak boleh menjadi sumber dana karena tidak boleh dijual, tidak berguna diternakkan karena jantan, tidak beranak, tidak dapat diternakkan karena harus disembelih pada 10,11,12 dan 13 Dzulhijjah.

***

Produksi tidak dapat berlangsung jika tidak laku, tidak ada konsumen, karena pengusaha akan rugi lalu bangkrut. Produksi dengan demikian tidak dapat berdiri sendiri. Produksi sangat membutuhkan konsumen, pasar.

Hewan kurban sembelihan dikonsumsi oleh mereka yang berkurban bersama-sama dengan fakir miskin yang tidak meminta (Al Qa-ni'u) dan yang meminta (Al Mu'tarru). Akan tetapi karena dikonsumsi itu janganlah lalu secara impulsif digiring pada pengertian konsumtif, dikhotomi produktif. Mereka yang berkurban dan fakir miskin yang mengkonsumsi daging kurban sembelihan itu adalah konsumen, yaitu pasar yang menyerap produksi peternak. Ibarat kita mengkonsumsi buah mangga misalnya sekali setahun secara musiman.

Lembaga-lembaga ke-Islaman, seperti Lembaga Da'wah, Lembaga Sosial Islam, dan pesantren dapat berternak khusus yang berkualitas hewan kurban. Modal usaha boleh didapatkan dari zakat tijarah (dagang dan industri) dan zakat mal (harta benda), bukan dari zakat fithri, sebab ini mesti dimakan sesuai dengan petunjuk RasuluLlah SAW.

Zakat fithri berupa zat hidrat arang dan daging hewan kurban berupa protein diperuntukkan bagi fakir miskin untuk berpesta. Adapun berpesta adalah merupakan suatu kebutuhan manusiawi, karena manusia perlu berpesta untuk bergembira, asal jangan berpesta berlebih-lebihan, berhura-hura, dan mabuk-mabukan.

Jika ada suatu negara Islam yang penduduknya sudah makmur, apa susahnya bagi negara itu mengirim daging binatang kurban ke negara lain yang masih banyak penduduknya yang miskin. Caranya dengan memakai kontainer pendingin seperti kontainer untuk mengirim udang dan Liquified Natural Gas (LNG). Mengirim daging tentu jauh lebih praktis ketimbang mengangkut ternak!

Demikianlah ada sekurang-kurangnya tiga hikmah hewan kurban itu disembelih: pertama, orang miskinpun mendapat kesempatan berpesta, bergembira, karena itu merupakan kebutuhan manusiawi, kedua, terciptanya pasar tahunan bagi peternak dan ketiga, praktis untuk dikirim ke negeri lain. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 14 Mei 1995