28 Mei 1995

178. Fi'il dan Ism, Kebudayaan dan Sivilisasi

Saya adalah salah seorang di antara enam orang pemilik mobil Daihatsu mini, keluaran 1975, yang mendahului kendaraan umum pete-pete (bhs Makassar untuk oplet). Kelima pemilik yang lain ialah Prof. H.A.Rahman Rahim, Prof. H.Burhamzah, dr Soeroso Wirjowidagdo, sekarang sudah pindah ke Jakarta, (saudara kandung Prof.Dr Somali Wirjowidagdo yang di PTUN-kan), Prof. H.Soemarmo yang sekarang sudah pensiun dan Prof. H.Syukur Abdullah almarhum. Di antara keenam pemilik Daihatsu mini tersebut, hanya sayalah yang masih memilikinya terus hingga kini.

Daihatsu mini itu adalah ism (benda) hasil teknologi. Proses pembuatan dan pemakaiannya adalah fi'il (kerja). Daihatsu mini sebagai ism, perangkat kasar, tidaklah berdiri sendiri. Ia terkait pada fi'il, perangkat halus, baik waktu proses pembuatan maupun pemakaiannya. Dengan demikian secara praktis ism dengan fi'il, perangkat kasar dengan perangkat halus tidak dapat dipisahkan. Fi'il mengandung nilai, baik pada proses pembuatan maupun pada pemakaian, itu adalah kebudayaan. Ism yang diberi nilai, itu adalah sivilisasi. Termasuk dalam sivilisasi adalah pengetahuan dan keterampilan pemeliharaan ism tersebut. Pemakaian Daihatsu mini itu tanpa rasa segan dan kikuk yang juga saya pakai ke pesta perkawinan termasuk dalam kebudayaan, sedangkan pengetahauan dan keterampilan pemeliharaan Daihatsu mini itu termasuk sivilisasi. Nilai akademis dalam sebuah lembaga pendidikan adalah kebudayaan. Administrasi adalah sivilisasi.

Kebudayaan memberi nilai pada sivilisasi. Kebudayaan sebagai perangkat halus ibarat jiwa bagi sivilisasi sebagai tubuh kasar dan itu menunjukkan bahwa tataran kebudayaan lebih tinggi dari sivilisasi. Itulah sebabnya tidak dapat diterima oleh akal sehat jika nilai akademis dalam lembaga pendidikan (seperti misalnya Program Pasca Sarjana Unhas) diintervensi oleh lembaga administrasi eksternal (seperti misalnya Pengadilan Tata Usaha Negara), dalam kasus Prof.Dr Somali Wirjowidagdo yang di PTUN-kan dalam hal-ihwal proses murni akademis. Tak tahulah kita nanti apakah keputusan PTUN itu akan mempunyai wibawa atas Prof.Dr Somali Wirjowidagdo sebagai Ketua Program Pasca Sarjana Unhas.

Kebudayaan sebagai pemberi nilai pada sivilisasi ada dua jenis. Yang pertama kebudayaan yang berisikan nilai yang berasal dari akar yang non-historis, yaitu dari Sumber Nilai Yang Maha Mutlak. Termasuk dalam hal ini Nilai Mutlak dari agama wahyu yang dibawakan oleh Nabi Musa dan Nabi 'Isa 'alayhima ssalam (dalam wujudnya yang asli) dan Nabi Muhammad SAW. Yang kedua adalah kebudayaan yang berisikan nilai yang berasal dari sumber historis, seperti misalnya kebudayaan Sumaria, Mesir Kuno dan Yunani. Kebudayaan jenis kedua ini ada yang menghasilkan agama kebudayaan seperti agama Mesir Kuno, dan agama Parsi Kuno yang dibawakan oleh Zarathustra (Zoroaster)?

Tanda tanya di atas itu dimaksudkan ialah terbuka kemungkinan bahwa Zarathustra ini berderajat nabi yang mendapatkan wahyu. Ini masih memerlukan penelitian yang cermat, namun sangat sulit. Mengapa? Sebuah aliran pemurnian dalam agama Zarathustra yang bersemboyankan "Kembali ke Ghata", menyatakan bahwa Zarathustra tidaklah mengajarkan dua Tuhan, Tuhan Terang, Ahura Mazda (Ormuzd) dan Tuhan Gelap, Angramanyu (Ahriman). Menurut aliran pemurnian ini Angramanyupun diciptakan oleh Ahura Mazda, jadi tidak beda dengan posisi Iblis terhadap Allah SWT dalam agama-agama wahyu, Yahudi, Kristen dan Islam. Kitab suci Ghata telah habis terbakar ketika Alexander the Great raja Macedonia (356 - 232 seb.M.), membakar habis Parcepolis (331 seb.M.), sehingga ajaran Zatrathustra hanya tinggal dalam ingatan para pendetanya. Inilah jawaban atas pertanyaan mengapa tersebut di atas itu. (Alexander the Great ini bukanlah Dzulqarnayn yang disebutkan dalam Al Quran. Itu adalah kesalahan vital dalam beberapa buku sejarah berbahasa Indonesia yang mempergunakan nama Iskandar Zulkarnain untuk Alexander the Great. Mengapa? Karena Dzulqarnain dalam Al Quran diqishshahkan berdialog dengan Allah, sedangkan Alexander the Great adalah penyembah berhala).

***

Demikianlah, sivilisasi itu adalah konsep materialistik. Semua ilmu dan metode yang diciptakan (invented, baca seri 177 tentang pengertian mencipta) untuk mengalihkan benda ke benda yang mempunyai nilai tambah akan bermuara pada kemajuan sivilisasi dalam wujud keseragaman dan kemudahan hidup zahiriyah.

Negeri yang lebih tinggi sivilisasinya belum tentu kebudayaannya lebih tinggi pula. Bahkan kalau dilihat kenyataan dalam abad ke-20 ini, kualitas sivilisasi itu berbanding terbalik dengan kualitas kebudayaan. Kebudayaan masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan misalnya jauh lebih tinggi dari kebudayaan Barat, walaupun sivilisasi Barat jauh lebih tinggi dari sivilisasi masyarakat Kajang.

Kriteria yang dipakai dalam mengukur tinggi rendahnya sivilisasi adalah Iptek. Makin maju Iptek makin tinggi nilai tambah yang diberikannya pada barang, makin terwujud kemudahan hidup material. Kriteria yang dipakai dalam mengukur tinggi rendahnya kebudayaan adalah nilai-nilai moral yang membudaya pada suatu negeri yang makin mendekati nilai-nilai moral menurut wahyu.

Manusia adalah Khalifah Allah di globa ini. Wa idzqaala Rabbuka lilmalaikati inny jaa'ilun fiy l.ardhi khalifatan (S.AlBaqarah, 2:30), artinya: Ingatlah ketika Maha Pengaturmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku akan menjadikan Kahlifah di bumi (2:30). Dalam ayat itu sifat Ar Rabb dari Allah SWT yang dikemukakan. Ar Rabb bermakna Maha Pengatur, Maha Pemelihara. Jadi tugas utama manusia sebagai Khalifah adalah memelihara globa ini dari perusakan peradaban oleh mekanisme teknologi.

Masyarakat Kajang kebudayaannya mengandung nilai yang memelihara lingkungannya, kelestarian hutannya dan kebersihan udaranya. Masyarakat barat merusak lingkungannya dengan mekanisme teknologi. Nilai-nilai moral yang mengikat masyarakat Kajang lebih tinggi dari nilai-nilai moral yang mengikat masyarakat Barat, itupun jika nilai moral yang mengikat masyarakat Barat itu masih ada. Itulah sebabnya dikatakan di atas bahwa kebudayaan masyarakat Kajang lebih tinggi dari kebudayaan Barat, walaupun sivilisasi Barat lebih tinggi dari sivilisasi masyarat Kajang.

Catatan Tambahan:
Kebudayaan = Culture, the quality in society that arises from an interest in and aquintance with what is generally regarded as excelence in arts, letters etc.
Sivilisasi = Civilisation, modern conforts and conveniences, as made possible by science and technology.
Peradaban, sivilisasi yang sudah menyatu dengan kebudayaan. WaLla-hu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 28 Mei 1995