9 Juni 1996

228. Aktualisasi Musyawarah

Terkadang kita lihat jalan raya sudah mulus, kemudian digali lagi untuk pemasangan kabel telkom. Sudah itu galian ditutup kembali tetapi bekas galian meninggalkan cacat di jalan. Datang pula PAM menggali alur untuk pipa air, yang menimbulkan cacat pula setelah ditimbuni. Jalan digali pula kembali untuk pemasangan kabel listrik bawah tanah, jalan bercacat pula. Penyebabnya adalah egoisme sektoral, masing-masing jawatan vertikal sama-sama bekerja, tetapi tidak bekerjama sama, karena tidak ada koordinasi. Sektor yang gesit mencairkan dana yang paling dulu bekerja, disusul oleh sektor yang kurang gesit mengurus dana dan yang paling belakang menggali jalan adalah yang terlamban mencairkan dana. Padahal dalam nilai instrumental cukup aturan-aturan mengenai tata-kerja. Siapa yang seharusnya menjadi koordinator, bahkan dalam Diklat telah diajarkan pula Network Planning. Aktualisasi musyawarah tidak berjalan mulus dalam kontex nilai praxis.

Aktualisasi musyawarah dalam kontex komunikasi sosial yang bersifat dialogis juga dalam kenyataannya tidak berjalan mulus. Ketua MPR/DPR Wahono berpendapat bahwa saluran dialogis yang tersumbat pada tahap kesadaran dan pengetahuan politik rakyat yang sudah meningkat, terutama tidak efektifnya forum-forum antar muka eksekutif dan legislatif sebagai pembawa aspirasi rakyat di tingkat pusat dan daerah, akan mendorong ke arah stagnant (buntu-pen) yang penuh risiko timbulnya gejolak-gejolak sosial. Wahono menegaskan bahwa gejolak-gejolak sosial itu hendaknya mendapatkan forum atau saluran dialog yang terbuka, tertib dan berbudaya. Gejolak-gejolak sosial yang semakin marak belakangan ini menurut Ketua MPR/DPR itu tak dapat diselesaikan dengan tindakan represif judisial semata, dan juga tidak efektif dengan himbauan dan kecaman-kecaman saja. Ia menambahkan pula bahwa tidak ada manfaatnya mencoba mengarahkan kehendak politik warga dengan informasi-informasi yang tidak sebenarnya. Ia mengingatkan tentang ketidak-terbukaan informasi perihal rendahnya integritas sementara pimpinan yang tidak layak diterapkan terhadap seluruh lapisan mayarakat.

Sejak berdirinya Negara Republik Indonesia bangsa Indonesia telah berupaya mengaktualisasikan musyawarah itu dalam kehidupan bernegara. Bangsa Indonesia menetapkan musyawarah itu di dalam ke empat Pembukaan UUD-1945. Musyawarah melibatkan sejumlah orang bertukar pikiran yang mempertemukan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, mengolah informasi-informasi yang berjenis-jenis, mengkoordinasikan kelompok-kelompok yang terkait untuk dapat
menghasilkan keputusan-keputusan yang optimal.

Terkadang aktualisasi musyawarah dalam konteks nilai praxis itu bukanlah bertukar pikiran, melainkan berwujud tuntunan dari atas (tuntas). Yakni pemikiran orang seorang atau segelintir oranglah yang disodorkan untuk harus diterima oleh perserta musyawarah. Penyebabnya mungkin karena pimpinan musyawarah suka tergesa-gesa, atau mungkin pula pimpinan musyawarah bersikap otoriter. Jika ini yang terjadi maka keputusan yang diambil itu sifatnya tidaklah komunikatif, sehingga harus disosialisasikan kepada masyarakat. Keputusan itu barulah komunikatif dan tidak perlu disosialisasikan, apabila musyawarah itu berjalan seperti yang disebutkan di atas: Melibatkan sejumlah orang bertukar pikiran yang mempertemukan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, mengolah informasi yang berjenis-jenis, mengkoordinasikan kelompok-kelompok yang terkait. Contoh-contohnya ada. Undang-undang Peradilan Agama tanpa sosialisasi tidak menimbulkan gejolak. Sebaliknya undang-undang lalu-lintas yang terkesan diputuskan tergesa-gesa, membutuhkan waktu satu tahun sosialisasi, karena ada gejolak.

Tentu saja pimpinan musyawarah dapat saja menyodorkan pendapat untuk memancing pikiran-pikiran kreatif dari peserta musyawarah. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam proses musyawarah dengan penduduk Madinah. RasuluLlah sebagai Kepala Negara dan Panglima Perang mengumpulkan penduduk Madinah yang terdiri atas tiga golongan (Islam, penganut kepercayaan jahiliyah dan Yahudi) untuk bermusyawarah, karena Madinah akan diserbu pasukan kafir Quraisy dari Makkah. RasuluLlah SAW mengaktualisasikan musyawarah itu dalam bidang pertahanan negara dengan melibatkan pula penduduk sipil dari segala golongan. Dalam musyawarah itu Rasulullah SAW mengeluarkan gagasan bagaimana kalau bertahan dalam kota saja. Sesudah Rasulullah mengemukakan tawaran itu, beliau memberi kesempatan kepada penduduk Madinah untuk lobying antara satu dengan yang lain. Hasilnya ialah pada umumnya penduduk Madinah tidak sependapat dengan gagasan Rasulullah. Tentu saja Rasulullah SAW sangat tahu bahwa bertahan di Madinah adalah tidak taktis. Ini disengaja untuk memancing kreativitas berpikir penduduk Madinah. Mereka terlibat dalam proses bertukar pikiran untuk mendapatkan keputusan yang mereka rasakan bahwa keputusan itu adalah dari gagasan mereka sendiri, yaitu pasukan Quraisy dari Makkah harus dihadang di luar kota dengan posisi bukit Uhud sebagai benteng alam yang melindungi pasukan Madinah dari belakang.

Musyawarah adalah bahasa Al Quran, terdapat dalam dua ayat:
WaSya-wirhum fiy lAmri faIdza- 'Azamta faTawakkal 'alay Llahi (S. Ali 'Imra-n, 159) Dan musyawaralah dengan mereka dalam urusan dan apabila kamu telah mengambil keputusan maka tawakkallah kepada Allah (3:159).
WaAmruhum Syuray Baynahum (S. AsySyuray, 38) Dan urusan mereka dimusyawarakan di antara mereka (42:38).

Ayat yang pertama (3:159) adalah dalam kontex antara yang mengurus dengan yang diurus, antara pemerintah dengan (wakil) rakyat. Ayat yang kedua (42:38) adalah dalam kontex intern kedua belah pihak, yaitu intern kelompok yang mengurus dengan intern kelompok yang diurus, antara intern lembaga pemerintah dengan intern lembaga yang mewakili rakyat. Ayat (3:159) dan (42:38) juga dapat ditafsirkan dalam kontex komunikasi sosial yang bersifat dialogis. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 9 Juni 1996