23 Juni 1996

230. Dialog Nabi Musa AS Dengan Ummatnya Tentang Al Baqarah

Dalam Seri 022 yang berjudul Urbanisasi dan Penyakit di Kota Metropolitan, tgl 15 Maret 1992, dikemukakan dialog antara Nabi Musa AS dengan ummatnya Bani Israil, tatkala dalam pengembaraan mereka di gurun pasir selama 40 tahun. Disimak dari dialog itu (2:61) tentang kecenderungan orang desa berurbanisasi, pergi ke kota (habatha mishran, go down town). Mereka itu mempunyai dorongan keinginan akan kehidupan yang lebih baik, makanan yang bermacam-macam, fasilitas yang lebih menyenangkan di kota. Nabi Musa AS memperingatakan mengapa kehidupan yang baik di gurun (baca di desa) akan diganti dengan kehidupan yang tidak baik di kota.

Al Baqarah adalah nama sebuah Surah dalam Al Quran. Kata Al Baqarah diambil dari sebuah dialog antara Nabi Musa AS dengan ummatnya tentang perintah Allah SWT kepada Bani Israil untuk menyembelih al baqarah (lembu). Kalau tadi dialog itu terjadi di
padang pasir, maka dialog yang diangkat dalam seri ini terjadi di kota.

Seperti diketahui Nabi Musa AS hidup sezaman dengan dua orang Firaun (gelar penguasa Mesir waktu itu), yaitu Firaun Ra Moseh II (Ramses) dari dinasti ke-19 (1292 - 1225) sebelum Miladiyah dan Firaun Merne Ptah (1225 - 1221) sebelum Miladiyah, anak Firaun Ra Moseh II. Musa bersaudara angkat dengan Merne Ptah yang ditenggelamkan Allah di Laut Merah beserta dengan bala tenteranya yang mengejar rombongan Bani Israil yang hijrah dari Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa AS. Mengapa Merne Ptah bersaudara angkat dengan Musa, oleh karena permaisuri Firaun memungut Musa yang masih bayi dari pinggir S. Nil. Ibu Musa mendapat wahyu dari Allah SWT untuk menghanyutkan anaknya yang masih bayi. Dengan demikian Musa yang masih bayi itu luput dari pembunuhan, karena waktu itu Firaun menitahkan membunuh semua bayi laki-laki Habiru (maksudnya Bani Israil) yang baru lahir. Yudzabbihuwna Abna-akum waYastahyuwna Nisa-akum (S. Al Baqarah, 49). Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan mereka membiarkan hidup anak-anak perempuanmu (2:49).

Akhirnya Musa mengetahui bahwa ia bukanlah anak istana melainkan dari keturunan Israil. Musa melarikan diri dari Mesir setelah membunuh seorang Mesir yang menyiksa seorang Bani Israil. Walaupun Musa belumlah diangkat menjadi Nabi, akan tetapi Allah menuntunnya dengan memberikan ilham kepada Musa ke mana ia mesti pergi. Musa pergi ke Sinai dan akhirnya menjadi menantu Nabi Syu'aib AS, keturunan dari Midyan, anak Nabi Ibrahim AS dari isteri yang ketiga Sitti Katurah. Setelah Musa diangkat menjadi Rasul oleh Allah SWT, Nabi Musa AS bersama dengan saudaranya Nabi Harum AS diutus oleh Allah SWT kepada Firaun Merne Ptah. Tugas utamanya ialah membawa seluruh ummat Bani Israil yang tertindas itu hijrah dari Mesir. Sementara dalam proses persiapan hijrah itu terjadilah dialog seperti berikut.

Waidzqa-la Muwsay liQawmihi inna Llaha Ya'murukum an Tadzbahuw Baqaratan (S. Al Baqarah, 67), ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyembelih baqarah (2:68).

Perintah Allah SWT kepada Bani Israil untuk menyembelih al baqarah itu sesungguhnya adalah dalam rangka persiapan mental, membersihkan aqidah ummat Nabi Musa AS itu dari khurafat dan kemusyrikan yang merasuk ke dalam komunitas Bani Israil, yang berasal dari pengaruh penguasa meraka yaitu orang Mesir yang memandang suci binatang al baqarah.

Mereka tidak dengan segera mengambil seekor baqarah lalu terus menyembelihnya, melainkan mempersulit diri dengan mengemukakan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu.

Qa-luw D'ulana- Rabbaka Yubayyin Lana- Ma- Hiya (S. Al Baqarah, 68), mereka berkata: tanyakanlah kepada Tuhanmu untuk menjelaskan apa (ciri-ciri) baqarah itu (2:68). Maka dalam ayat yang sama Nabi Musa AS menjelaskan ciri-ciri sapi itu. Innahu Yaquwlu Innaha- Baqaratun La- Fa-ridhun wa La- Bikrun 'Awa-nun Bayna Dzalika, sesungguhnya (Allah) berkata: bahwa baqarah itu tidak tua dan tidak muda, pertengahan di antara keduanya.

Mereka masih belum puas, masih ingin mendapatkan penjelasan yang lebih tuntas.

Qa-luw D'ulana- Rabbaka Yubayyin Lana- Ma- Lawnuha- (S. Al Baqarah, 69), mereka berkata: tanyakanlah kepada Tuhanmu untuk menjelaskan apa warnanya (2:69), maka dijelaskan kepada mereka itu pula dalam ayat yang sama: Innahu Yaquwlu Innah-Baqaratun Shafra-u Fa-qiun Lawnuha- Tasurru nNa-zhiriyna, sesungguhnya (Allah) berkata bahwa baqarah itu kuning tua warnanya, menggirangkan hati orang yang melihatnya.

Mereka masih belum puas juga mereka ingin mempersulit diri lebih lanjut:

Qa-luw D'ulana- Rabbaka Yubayyin Lana- Ma- Hiya Inna lBaqarah Tasya-baha 'Alayna- (s. Al Baqarah, 70), mereka berkata: tanyakanlah kepada Tuhanmu untuk menjelaskan apa (lagi ciri-ciri) baqarah itu, sesungguhnya al baqarah itu masih belum jelas bagi kami.

Maka kepada mereka itu dijelaskan oleh Nabi Musa AS lebih lanjut ciri-ciri baqarah itu, sehingga hampir-hampir mereka tidak
dapat memperoleh baqarah dengan tambahan ciri-ciri yang mereka minta itu:

Innhu Yaquwlu Innaha- Baqaratun La- Dzaluwlun Tutsiyru lArdha waLa- Tasqiy lHartsa Musallamatan La- Syiyata fiyha- (S. Al Baqarah, 71), sesungguhyna (Allah) berkata: sesungguhnya baqarah itu bukan yang telah patuh membajak bumi, dan bukan pula menyirami ladang, selamat (belum pernah membawa beban), tidak belang warnanya sedikitpun (2:71).

Dari dialog itu dapat dipetik pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan ini, baik dalam kehidupan orang seorang, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sikap cerewet, banyak cincong, berlebihan tingkah, terjun menelusuri suatu urusan yang sesungguhnya tidak perlu, akan menimbulkan kesulitan terhadap diri sendiri. Sebaliknya sikap membiarkan suatu urusan tanpa banyak cincong tidak akan menimbulkan ekses, sehingga lebih mempermudah kehidupan diri sendiri, kehidupan bermasyarkat dan bernegara. Sikap yang demikian itu akan menghasilkan kinerja yang tinggi. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 23 Juni 1996