30 Juni 1996

231. Teknologi yang Akrab dengan Lingkungan, dan Perubahan Sikap Mengkonsumsi Produk Industri Daya

Timbunan sampah kian menggunung, emisi gas-gas beracun ke udara dari pabrik-pabrik kian mengganas, cairan pestisida beracun disemprotkan, serta berbagai jenis cairan limbah industri mengalir ke sungai-sungai akhirnya ke laut lepas. Demikianlah situasi global dewasa ini. Selain emisi gas-gas beracun yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik ada pula gas-gas yang sebenarnya tidak beracun tetapi berbahaya, yaitu yang disebut dengan gas-gas rumah kaca (green house gases, mengapa tidak diterjemahkan dengan gas-gas rumah hijau?), utamanya gas CO2. Disebutkan demikian oleh karena gas-gas tersebut menjadi penyebab efek rumah kaca.

Apa itu efek rumah kaca? Sebenarnya hal itu telah dijelaskan panjang lebar dalam seri 003, 3 November 1991, dalam rangka pembahasan tentang isyarat Allah SWT tentang timbulnya globalisasi pencemaran thermal dalam ayat: Faidza- Antum Minhu Tuwqiduwna (S. Yasin, 80), dan dengan itu kamu membakar (36:80). Untuk menyegarkan ingatan, maka akan diulangi penjelasan tentang efek rumah kaca itu secara singkat.

Di dalam rumah kaca ditanam sayur-sayuran ataupun buah-buahan yang menghendaki suhu yang lebih tinggi dari udara luar. Fungsi rumah kaca sesungguhnya adalah perangkap panas. Kaca adalah zat bening, tembus cahaya. Radiasi matahari gampang menerobos masuk memukul molekul-molekul udara dalam rumah kaca. Akibatnya suhu udara naik dalam rumah kaca, udarapun bertambah panas. Kaca adalah pengantar panas yang jelek, sehingga panas yang timbul itu tidak gampang keluar menerobos atap maupun dinding kaca. Maka terperangkaplah panas itu dalam rumah kaca. Inilah efek rumah kaca. Dengan tingginya kadar CO2 yang dimuntahkan oleh pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor, maka permukaan bumi merupakan rumah kaca dalam skala global. Ruang antara lapisan CO2 dengan permukaan bumi tak ubahnya ibarat ruang dalam rumah kaca, menjadi perangkap panas, oleh karena sifat gas CO2 sama dengan kaca, gampang ditembus cahaya, tetapi sukar ditembus panas. Maka terjadilah pemanasan global atau pencemaran thermal (panas), yang mengakibatkan es pada kedua kutub mencair, permukaan laut secara perlahan tetapi pasti, insya Allah, akan naik terus.

Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmaja diperkirakan sekitar 110 juta penduduk Indonesia harus dipindahkan akibat kenaikan air laut sebagai dampak pemanasan global. Areal-areal pertanian dan persawahan di dataran rendah diperkirakan akan digenangi air laut. Dalam sambutannya pada Loka Karya Regional Activities Implemented Jointly di Jakarta, Selasa, 25 Juni 1996 Sarwono mengemukakan bahwa menurut catatan dalam beberapa dasawarsa terakhir telah terjadi kenaikan suhu permukaan bumi secara rata-rata (0.3 - 0.6)oC serta kenaikan permukaan air laut sekitar (1 - 2) mm per tahun, yang diakibatkan oleh emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer bumi oleh ulah manusia membakar bahan bakar fosil (minyak, gas bumi dan batu-bara). Sarwono mengemukakan lebih lanjut dari kajian ilmiyah diperkirakan suhu permukaan bumi akan bertambah (2.5 - 4.5)o pada tahun 2100.

Emisi gas-gas beracun ke udara, serta berbagai jenis cairan limbah industri dari pabrik-pabrik dicoba dikurangi dengan metode pendekatan yang disebut ecolabelling. Label ini adalah sejenis sertifikat yang menerangkan kepada para konsumen bahwa produk yang berlabel itu diproses dengan teknologi yang akrab dengan lingkungan. Menurut Menteri Sarwono dalam Harian Jakarta Post, 2 Agusutus 1994, industri Indonesia harus sanggup mengikuti standar produksi internasional dengan teknologi yang akrab lingkungan, khususnya di sektor tekstil dan kulit. Karena tanpa produksi yang diberi sertifikat dengan ecolabelling itu, industri Indonesia tidak akan dapat bersaing dengan produsen negara lainnya untuk pemasaran di negeri-negeri yang telah sadar lingkungan. Secara jangka panjang penerapan ecolabelling itu di Indonesia akan sanggup memperkuat posisi ekspor non-migas Indonesia.

Namun ecolabelling ini tidak mungkin diterapkan untuk semua sektor produksi. Industri daya (power industries) yang produksinya berupa daya listrik ecolabelling tentulah tidak mungkin. Industri daya sebahagian besar mempergunakan mesin-mesin kalor, yaitu mesin-mesin yang mengkoversi energi panas menjadi energi mekanis yang selanjutnya dengan alat penggerak utama orde kedua dikonversi lagi menjadi energi listrik. Energi panas didapatkan dari pembakaran bahan bakar utamanya bahan bakar fosil. Dapat pula energi panas diperoleh dari pemecahan inti atom. Yang terakhir ini menimbulkan masalah pula dalam hal pembuangan sampah radio-aktif (pencemaran radiasi).

Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan gas rumah kaca CO2, gas penyebab efek rumah kaca. Yang menaikkan suhu global. Yang mencairkan es di kedua kutub. Yang mengakibatkan banjir global. Yang menurut Menteri Sarwono sekitar sejumlah 110 juta penduduk Indonesia harus dipindahkan.

Bagaimana kalau dalam industri daya penggunaan mesin-mesin kalor disubstitusi dengan sumber energi dari radiasi matahari dan anaknya (energi angin, energi panas laut dan arus laut) serta cucu energi matahari, anak energi angin, yaitu energi ombak, berikut dengan anergi panas bumi dan energi bulan (pasang-surut)? Kerakusan ummat manusia dalam mengkonsumsi energi tidaklah memungkinkan energi alternatif yang diperinci tadi itu untuk dapat mensubstitusi energi hasil pembakaran bahan bakar fosil. Energi matahari beserta anak cucunya, energi panas bumi dan energi bulan hanya dapat menjadi penunjang dalam hal kebutuhan ummat manusia sebagai konsumen energi.

Walhasil kuncinya terletak dalam perubahan sikap secara global. Kalau masih dapat dikerjakan dengan otot tidaklah perlu mengandalkan produk industri daya. Kiranya tiba saatnya kini puasa itu ditingkatkan efektifitasnya dari pembinaan mental secara individual menjadi pembinaan mental komunitas, agar ummat manusia dapat mengendalikan diri untuk tidak mengkonsumsi lagi produk industri daya secara Tubadzdzir Tabdziyran, boros berlebih-lebihan. Perubahan sikap yang ditawarkan ini sebenarnya telah dikemukakan pula dalam seri 214, 4 Februari 1996, dengan judul Aktualisasi Al Quran dalam Mengontrol Nilai Budaya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 30 Juni 1996