14 Juli 1996

233. Zebra Cross dan Sikap 'Aziyzun 'Alayhi

Zebra Cross adalah jalur pejalan kaki untuk menyeberang jalan. Disebut dengan Zebra Cross karena jalur untuk menyeberang (to cross) ini dicet berwarna belang-belang ibarat kuda zebra. Di atas jalur Zebra Cross ini pejalan kaki adalah raja. Zebra Cross ini adalah sebuah nilai instrumental untuk melindungi para pejalan kaki yang menyeberang. Namun berbicara dalam kontex nilai praxis, tujuan nilai instrumental untuk melindungi pejalan kaki tersebut dewasa ini di kota Makassar sangatlah mengecewakan.

Sebenarnya hampir setiap hari saya mengalami inter-aksi dan menyaksikan pejalan kaki menyeberang jalan di atas jalur Zebra Cross. Akan tetapi baru hari Selasa yang lalu terkesan betul di hati. Dua orang pejalan kaki menyeberang di atas Zebra Cross dari arah Gedung Balai Kota ke sisi kiri Jalan Ahmad Yani. Mobil saya rem untuk memberi kesempatan keduanya menyeberang. Kemudian terjadilah peristiwa yang menggeramkan dan mengundang rasa iba. Penyebab timbulnya geram saya berasal dari kelakuan dua orang sopir mobil, sebuah di belakang saya yang turut berhenti membunyikan klaxon, dan yang sebuah lagi mobil Lancer putih melambung sisi kiri saya, cuek melaju dengan kecepatan tinggi nyaris menyambar kedua orang pejalan kaki yang sedang menyeberang itu. Pejalan kaki yang nyaris disambar itu terasa berat dipandang mata, mengundang rasa iba saya.

Sopir mobil di belakang saya membunyikan klaxon tentu karena merasa kesal kepada saya yang menghentikan mobil untuk pejalan kaki tersebut, yang berakibat mobilnya harus ia hentikan pula. Sopir itu gusar kepada saya, karena saya memberikan kepada pejalan kaki itu untuk menggunakan haknya. Sedangkan sopir mobil Lancer putih itu tidak memandang sebelah matapun kepada pejalan kaki itu, karena sopir itu merasa lebih kuat ketimbang pejalan kaki itu yang kedudukannya lebih lemah. Kedua sopir itu menganut mazhab yang sama: Karena posisinya lebih kuat, keduanya menunjukkan dan mengaplikasikan kekuasaannya. Sopir mobil di belakang saya hanya mampu sebatas menunjukkan kekuasaannya dengan membunyikan klaxon, tetapi tidak mempunyai keberanian mengaplikasikannya, karena antara dia dengan saya kedudukannya sama kuat. Sedangkan sopir mobil Lancer putih itu mampu menunjukkan dan mengaplikasikan kekuasaannya karena yang dihadapinya hanya pejalan kaki yang lemah. Mengambil hak ataupun merampas hak orang lain itu yang disebut menzalimi.

Akan halnya pejalan kaki itu, mereka hanya berani menggunakan haknya menyeberang berhubung karena mereka tahu diberi kesempatan untuk menggunakan haknya dengan isyarat lambaian tangan saya dari kanan ke kiri. Sedangkan selanjutnya mereka tidak berani mempergunakan haknya menghadapi orang yang sama sekali tidak mau mengerti akan hak orang lain. Apabila mereka ngotot untuk mempergunakan haknya, akan tetapi orang yang dihadapinya yang posisinya lebih kuat merampas haknya, niscaya pejalan kaki itu akan mendapat bencana.

Itulah pelajaran yang dapat disimak dari belantara kehidupan, tentang hak dan menggunakan hak serta hak yang dirampas dari tangan pihak yang lemah. Orang yang diambil ataupun dirampas haknya itulah yang disebut dengan dizalimi. Maka dapatlah kita menghayati bagian pidato pengukuhan Khalifah Abu Bakar AshShddiq RA: Orang yang lemah di sisi kamu (yang kau rampas haknya), kuat dalam pandangan saya. Orang yang kuat di sisi kamu (yang merampas hak orang lain) lemah dalam pandangan saya. Begitulah semestinya orang yang berkuasa, mempergunakan kekuasaannya memihak kepada yang lemah.

***

Hari ini sudah masuk 28 hari bulan Shafar, berarti tiga hari lagi insya Allah kita akan memasuki bulan Mawlid RasuluLlah SAW. Salah satu tema sentral dalam ceramah-ceramah Mawlid yaitu Laqad Ka-na Lakum fiy RasuwliLlahi Uswatun Hasanah, sesungguhnya terdapat teladan yang baik bagimu dalam diri RasuluLlah. Adapun salah satu di antara sekian banyak yang patut kita teladani dalam hubungannya dengan nilai turut merasakan penderitaan orang-orang lemah ataupun yang dizalimi ialah Firman Allah SWT:

Laqad Ja-akum Rasuwlun min Anfusikum 'Aziyzun 'Alayhi Ma- 'Anittum (S. At Tawbah, 128), sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari spesi kamu, yang terasa berat baginya akan penderitaanmu (9:128).

'Aziyzun 'Alayhi dalam bahasa populer sekarang itulah yang dikenal dengan ungkapan kepekaan sosial. Dalam nilai sub-kultur Bugis Makassar kita kenal dengan nilai pacce (Makassar), ataupun pesse (Bugis). Orang atau kelompok yang menderita terasa berat dipandang mata, mengundang rasa iba di hati. Orang atau kelompok yang selama ini kurang diperhatikan, akhirnya mengundang rasa pacce orang banyak. Ini jelas nampak dalam kasus yang masih aktual, yaitu rekayasa yang menghasilkan dualisme kepemimpinan dalam PDI: hasiI munas versus hasil kongres. Ibarat bambu yang dibelah orang, letupan ruas bambu yang dibelah itu mengundang perhatian orang banyak. Maka tampaklah sebagian bambu yang dibelah itu diinjak dan sebagian pula diangkat ke atas. Bagian belahan bambu yang diinjak mengundang spontanitas rasa pacce, sedangkan bagian belahan bambu yang diangkat membangkitkan geram dan anti-pati oleh khalayak yang masih mau mendengarkan hati nuraninya.

Walhasil, dalam belantara hiruk pikuk kehidupan di dunia ini, tentulah sangat baik mendengarkan hati nurani, mencontoh teladan RasuluLlah SAW, baik sebagai individu, ataupun dalam ruang lingkup komunitas, sikap 'Aziyzun 'Alayhi menjadi sikap kita sehari-hari. Akan jauh lebih baik pula jika yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan secara istiqamah (konsisten, tidak menganut nilai ganda) senantiasa bersikap 'Aziyzun 'Alayhi. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 14 Juli 1996