21 Juli 1996

234. Tawakkal dan Insya-Allah

Ada tiga kata dalam bahasa Al Quran apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ketiga kata itu diterjemahkan dalam satu kata yang sama. Ketiga kata itu adalah iman, tawakkal dan yaqin. Ketiga kata itu diterjemahkan dengan percaya. Maka untuk menghindarkan kerancuan sebaikanya ketiga kata itu tidak perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, lebih-lebih lagi ketiga kata itu telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kalau dalam bahasa Inggeris ketiga kata itu dapat dibedakan, iman = faith, tawakkal = trust dan yaqin = tu be sure.

Untuk dapat memahami kata tawakkal, kiranya ilustrasi dari sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizhi, berupa dialog antara RasuluLlah SAW dengan seorang Arab dari dusun (Baduy), dapat memberikan penjelasan yang cukup. Seorang Baduy datang bertamu kepada Nabi Muhammad SAW. Karena rupanya RasuluLlah SAW tidak melihat untanya (seperti diketahui pada umumnya orang Baduy bepergian dengan menunggang unta, tunggangan spesifik untuk jarak jauh serta tidak tergesa-gesa), maka RasuluLlah SAW bertanya kepadanya dimana gerangan untanya. RasuluLlah mendapat jawaban dari orang Baduy itu bahwa ia melepaskan untanya di luar.
"Jadi untamu tidak kau tambat?", bertanya lagi RasuluLlah SAW.
"Tidak", kata Baduy itu, "Saya tawakkal kepada Allah".
"Pergilah dahulu tambat untamu, baru kemudian tawakkal kepada Allah", kata RasuluLlah SAW.

Orang Baduy itu pola pikirnya sama dengan pola pikir orang-orang Kazak. Bangsa ini adalah bangsa penggembala, jadi sama dengan orang Baduy, dan sudah lama sekali memeluk Islam, karena jalur penyebaran Islam ke arah Timur Laut, yaitu ke Sin Kiang (Tiongkok), melalui daerah asal mereka. Di Sin Kiang sampai sekarang orang tidak menulis dalam aksara Cina, melainkan dalam aksara Arab. Daerah asal orang Kazak adalah daerah antara pengunungan Altai dengan Gunung Langit (Thian San, terkenal dalam cerita-cerita silat, misalnya Thian San Cit Kiam, tujuh pendekar pedang dari Thian San). Dari daerah asalnya kebanyakan orang-orang Kazak berpindah ke barat dan mendirikan negara yaitu Kazakstan. Walaupun bangsa penggembala yang hidupnya mengembara, orang Kazak juga menanam gandum. Mereka menebarkan benih gandum, dan sesudah itu mereka tawakkal kepada Allah, meninggalkan tempat itu pergi menggembalakan ternak di tempat lain untuk kemudian datang menjenguk kembali ladang gandum itu untuk menuai hasilnya.

Baik orang Baduy maupun oarang Kazak yang keduanya bangsa penggembala itu terlalu cepat tawakkal kepada Allah. Dari Hadits yang diriwayatkan Tarmizi itu kita dapat memahami bahwa tawakkal itu harus didahului upaya maximal. Bahwa tawakkal itu dilandasi oleh etos kerja. Tambat dahulu unta baru tawakkal. Demikian pula bagi orang Kazak itu pelihara dahulu tanaman gandum itu baru tawakkal. Bagi orang Kazak itu nilai universal tawakkal sudah merosot menjadi nilai komunitas, artinya merosot menjadi nilai budaya, karena menanam gandum adalah pekerjaan sambilan, mereka tempatkan dalam skala proritas nomor dua, menggembala ternak adalah skala prioritas nomor satu. *)

Dalam upacara pembukaan temu muka muballighien dan muballighaat IMMIM, salah satu aktivitas pembinaan kader muballigh, pada hari Kamis, 18 Juli 1996, bertempat di Islamic Centre, Kepala Kanwil Depatermen Agama Provinsi Sulawesi Selatan, Drs K.H.M.Na'im dalam sambutan beliau mengemukakan bahwa ucapan Insya-Allah sekarang ini pada umumnya diucapkan oleh ummat Islam jika mereka dalam keadaan ragu-ragu. Ini sudah menyimpang dari ma'na yang sebenarnya. Semestinya Ucapan Insya-Allah itu diucapkan seseorang dalam keadaan tidak ragu sama sekali.

Setelah upacara itu dalam berbincang-bincang dengan Ir H.M. Ridwan Abdullah MSc, katanya beliau pernah membaca sebuah buku pada waktu masih di Amerika yang berjudul Business in Arabia. Dalam buku itu (Ridwan Abdullah tidak sempat mengemukakan siapa penulis buku itu) penulisnya berdasarkan pengalamannya berbisnis di negara-negara Arab mempunyai persepsi bahawa di negara-negara Arab ucapan Insya-Allah mempunyai muatan ma'na yang fity-fifty. Jadi apa yang dikemukakan oleh Drs K.H.M Na'im sejalan betul dengan yang dikemukakan oleh Ir H.M. Ridwan Abdullah.

Firman Allah di bawah ini menunjukkan dengan jelas penggunaan ungkapan Isya-Allah:
Falamma- Balagha Ma'ahu sSa'ya Qa-la Yabunayya Inniy Aray fiy lMana-mi Anniy Adzbahuka Fanzhur Ma-dza- Taray Qa-la Yaabati F'al Ma- Tu'maru Satajiduniy Insya-a Allahu mina shSha-biriyna (S. Ash Shaffa-t, 102). Tatkala dia (Isma'il) sudah sanggup bekerja bersamanya (Nabi Ibrahim AS) berkata (Nabi Ibrahim AS) kepadanya (Isma'il): Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam tidurku aku menyembelihmu, maka perlihatkanlah kepadaku bagaimana sikapmu, berkata (Isma'il) kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, engkau mendapati aku Insya-Allah berhati sabar (37:102).

Ayat itu menjelaskan kepada kita bahwa Insya-Allah itu tidaklah diucapkan oleh orang yang setengah hati, melainkan Insya-Allah diucapkan oleh sikap yang sepenuh hati, sabar dan tawakkal.

Alhasil, Insya-Allah harus diucapkan berlandaskan sikap tawakkal kepada Allah, sedang sikap tawakkal itu harus berlandaskan atas etos kerja. Nilai universal Insya-Allah yang berlandaskan sikap tawakkal dewasa ini sudah menjadi pula nilai komunitas, nilai budaya, yaitu ucapan Insya-Allah itu sudah merosot ma'nanya, yakni diucapkan berlandaskan atas sikap fifty-fifty, tidak sepenuh hati. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 21 Juli 1996
--------------------------
*) Insya Allah, jika dikehendaki oleh Alah, diucapkan jika itu menyangkut aktivitas manusia untuk mencapai keinginannya. Mengapa? Oleh karena keinginan (rencana) itu baru terpenuhi, jika itu sinkron dengan Kehendak, ataupun Rencana Makro Allah. Lalu bagaimana dengan hasil kalkulasi bahwa pada tahun sekian, tanggal sekian, jam sekian, hari sekian akan terjadi gerhana matahari? Apakah juga ini perlu mengucapkan insya Allah, karena di sini terlibat aktivitas manusia, yaitu perhitungan? Ini dapat dijawab dengan pertanyaan pula. Apakah perlu kita ucapkan 2 x 3 insya Allah = 6?