Ada sebuah alat penggiling tradisional, terdiri atas dua susun batu-giling, bagian atasnya diputar dengan tangan, mempunyai lubang kecil tempat memasukkan butir-butir jagung. Alat itu dipakai untuk anggiling tette’. Perputaran bagian atas menyebabkan butir-butir jagung yang dimasukkan ke dalam lubang tersebut tergiling pecah-pecah di antara kedua batu giling itu.
Tette’ adalah jagung yang digiling dalam butir-butir kecil sebesar butir beras. Tette’ dari jagung pulut dimasak bercampur beras, menghasilkan nasi yang aromanya sedap sekali saya rasa hingga sekarang ini. Oleh-oleh yang paling berharga dari keluarga yang datang dari kampung adalah tette’ jagung pulut dan terasi Selayar, yang diproduksi secara olahan tradisional di kampung nelayan Kahu-Kahu di pulau Pasi’, sebuah pulau kecil di depan Benteng, ibu kota Kabupaten Selayar. Nelayan di kampung Kahu-Kahu sejak dahulu kala telah melaksanakan tri-korisepsi butir ketiga: petik, olah, jual. Tangkap ebi (udang kecil, ambaring), olah menjadi terasi, jual. Nelayan Kahu-Kahu tidak pernah menjual ambaring, mereka menjual terasi. Terasi produksi Kahu-Kahu ini tidak seperti terasi biasa yang pada umumnya dipakai sebagal bumbu, melainkan terasi Kahu-Kahu ini berfungsi sebagai lauk. Cara masaknya, attanakko minynya’, tanaklah minyak, sesudah minyak hampir jadi, masukkanlah terasi Kahu-Kahu ke dalamnya yang telah dilumat bersama bumbu asam, lombok dan bawang. Sangat sedap jika dimakan dengan nasi tette’ jagung pulut dimasak bercampur beras, jauh lebih sedap dari Kentucky ataupun California Fried Chicken.
Tertitip pesan kepada Pemda dan DPRD Selayar, agar industri rumah tangga mengolah terasi dengan teknologi tradisional ini dijadikan cagar budaya, dikukuhkan dengan Perda. Termasuk yang di-Perda-kan ialah lahan-laut dicagar dan nelayan-nelayan pendatang yang mendesak nelayan setempat, seperti liputan RCTI pada han Ahad pagi yang lalu, 22 Desember 1996. Kalau di Jakarta ada cagar budaya di Condet, maka di Selayar juga elok kiranya ada pula cagar budaya di Kahu-Kahu. Lokasi yang disarankan untuk dijadikan cagar budaya itu dekat tempat benda-benda bersejarah gong (nekara) perunggu raksasa, yang dahulu menjadi gaukang (arajang, atribut kerajaan) dari Kerajaan Puta Bangung dan jangkar besar. Cagar budaya dan benda bersejarah adalah obyek wisata-budaya. Di kepulauan Rajuni(Tijger Eilanden) membentang taka’ (tenumbu-karang) yaltu Taka’ Bonerate, Taman Laut Nasional yang masih luas, yang indah permai. Menurut siaran RCTI, Taman Laut Taka’ Bonerate lebih indah dari Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara. Taman laut, adalah obyek wisata-rekreasi yang perlu pula di-Perda-kan untuk mencagar daerah wisata itu dan kontaminasi pelacuran terselubung yang biasa ikut nunut dalam dunia pariwisata.
***
Dalam ilustrasi di atas ada dua ungkapan kita temui: anggiling tette’, menggihing tette’ dan attana’ minynya’, bertanak minyak. Dari kedua ungkapan itu dapat kita simak pola pikir yang empunya bahasa, yaitu berorientasi luaran (output oriented). Bukan pola pikir orang Selayar saja yang demikian. Menanak nasi, mannasu nanre (Bugis), appallu kanre (Selayar, Makassar), miapi ande (Mandar), mannasu bo’bo’ (Toraja), masak airpanas, appallu je’ne’ bambang, mannasu wae pella, miapi wae loppa, semua itu menunjukkan pola pikir yang berorientasi luaran. Pola pikir ouput oriented ini seirama dengan gaya management by obejectives.
Mungkin ada yang menyanggah, bagaimana dengan rumah sakit, bukankah itu berorientasi pada masukan (input oriented)?. Ungkapan rumah sakit, bukanlah ungkapan asli Indonesia, melainkan ungkapan tersebut diserap dari bahasa Belanda, zieken huis (ziek = sakit, huis = rumah): Jadi semestinya kalau mau konsisten berpola pikir Indonesia, bukanlah rumah sakit, melainkan rumah sehat. Orang sakit yang mulai masuk rumah sehat secara psikologis sudah terobati dengan kata sehat.
Dari segi matematika bangsa Indonesia memakai sistem desimal (puluhan), berdasar atas jumlah jari tangan. Hampir semua bangsa di dunia ini memakai sistem puluhan, kecuali suku bangsa yang mendiami pulau-pulau di selat Torres (antara Australia dengan Irian) yang dalam berhitung memakai sistem duaan, berdasar atas jumlah tangan. Nama Torres ini diserap oleh bidang hukum agraria, yaitu Sistem Torres, salah satu sistem pendaftaran tanah. Komputer digital juga memakai sistem duaan (binary sistem), berdasar atas menyala dan padam (on dan off). Dua bilangan sebelum sepuluh menunjukkan pula pola pikir yang sama di antara suku bangsa Indonesia. Angka 9 disebut tsikurieung (Aceh), artinya satu kurangnya (dari sepuluh). Sembilan (Melayu, Indonesia) artinya se-ambil-an, diambil satu (dari sepuluh). Salapan (Sunda), salapang (Makassar), artinya se-alap-an, dialap satu (dari sepuluh). Alap sinonim dari ambil, kelapa sinonim dengan kerambil kalau ditelusuri berasal dari ke-alap dan ke-ambil. Dahulu bahasa surat kabar untuk pencuri sepeda disebut alap-alap sepeda. Asera (Bugis), alai se’di, artinya ambil satu (dari sepuluh), (fonem r dan d dalam kata-kata: sera, se’re, se’di mempunyai makhraj (artikulasi) yang sama, yaltu ujung hidah ke langit-langit,bandingkan gendang dengan ganrang). Kaassa (Selayar), artinya yang keesa (sebelum sepuluh). Amessa (Mandar), alai mesa, ambil satu (dari sepuluh). Kasera (Toraja), artinya yang kese’re (sebelum sepuluh). Angka 8 disebut delapan (Aceh, Melayu, Sunda), artinya dua-alap-an, dialap dua, diambih dua (dari sepuluh), arua (Bugis, Mandar)) artinya alai rua, ambil atau alap dua (dari sepuluh), karua (Toraja, Selayar), artinya yang kedua (dari sepuluh).
Demikianlah kita telah menyimak sekapur sirih dalam hal aktualisasi nilai agama liTa’a-rafuw dalam ayat: wa Jaalnakum Syu’uwban wa Qaba-ila liTa’a-rafuw (S. Al Hujura-t, 13), dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk sahing mengenal (49:13), dalam konteks promosi daerah wisata dan memperkenalkan pola pikir suku-bangsa Indonesia. Suatu cakrawala tersendiri dalam makna beragam suku bangsa dalam kesatuan pola pikir: berorientasi luaran dan pernyataan bilangan 8 dan 9. Berhitung dan memasak adalah berpikir dan berbuat yang mendasar dalam peradaban. WaLlahu A’lamu bi shShawab.
*** Makassar, 29 Desember 1996
29 Desember 1996
[+/-] |
255. Agar Saling Kenal |
22 Desember 1996
[+/-] |
254. Mengapa Iman dan Ilmu, Bukan Iman dan Taqwa? |
Saya telah beberapa kali menerima telpon yang menganjurkan agar ungkapan iman dan ilmu bagian judul kolom ini diganti dengan ungkapan iman dan taqwa supaya lebih kena. Sebermula menurut hemat saya cukup saya layani saja melalui telpon, akan tetapi karena saya menerima beberapa kali anjuran yang sama, maka lebih efisien jika saya menjawab anjuran itu secara terbuka. Jadi tidak perlu lagi saya menyediakan waktu untuk berdialog melalui telpon, sekiranya jika masih ada yang ingin memberikan anjuran mengenai iman dan taqwa. Lagi pula dengan secara terbuka ini, mereka yang mempunyai pendapat yang sama untuk mengubah judul akan tetapi segan untuk memberikan anjuran, dapatlah pula terlayani.
Besar perkiraan saya mereka itu belum sempat membaca Seri 021 berjudul Puasa Meningkatkan Diri dari Beriman Menjadi Taqwa, Mengapa?, Seri 147 berjudul Iman dan Taqwa?, Seri 167 berjudul Beriman dan Beramala Shalih Menuju Taqwa, Apakah Tolok Ukur Keberhasilan Puasa?. Atau barangkali telah membacanya akan tetapi kurang komunikatif baginya, sehingga belum atau tidak memahami pendirian dan pemahaman saya bahwa ungkapan iman dan taqwa yang disingkat dengan Imtaq, yaitu mensejajarkan iman dengan taqwa sesungguhnya tidak benar menurut Al Quran. Maka dengan demikian sudah tentu saya tidak dapat menerima saran yang menganjurkan agar ungkapan iman dan ilmu dari bagian judul kolom ini diganti dengan iman dan taqwa.
Agar jelas, maka berikut ini saya memakai gaya tanya jawab untuk menjelaskan berdasarkan dalil ayat-ayat Al Quran ketidakbenaran ungkapan iman dan taqwa yang mensejajarkan antara iman dengan taqwa. Seperti biasa ayat-ayat itu saya tuliskan pula aslinya dalam bahasa Al Quran. Hal ini perlu saya tegaskan, oleh karena saya juga menerima anjuran agar tidak perlu menuliskan ayat-ayat itu dalam bahasa asalnya, cukup terjemahannya saja. Saya akan tetap menuliskan ayat-ayat itu dalam bahasa asalnya untuk menjaga apabila ada kesalahan dalam terjemahan itu dapat dikoreksi oleh khalayak. Kesalahan terjemahan itu dapat saja terjadi, buktinya pembawa acara Isra dan Mi'raj di Masjid Istiqlal baru-baru ini tidak membaca S. Isra ayat 1 dalam bahasa Al Quran, hanya membacakan terjemahannya saja. Ia menterjemahkan Al Bashiyr dengan Maha Mengetahui, padahal terjemahannya yang benar adalah Maha Melihat.
Adakah ungkapan iman dan ilmu dalam Al Quran?
Ada, bacalah ayat: Yarfa'i Llahu Lladziyna Amanuw Minkum waLladziyna Uwtuw l'Ilma Darajatin (S. Al Mujadalah, 11). Allah mengangkat derajat orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang berilmu (58:11).
Apa yang disebut iman?
Iman adalah bahasa Al Quran, sehingga untuk mengetahui maknanya hendaklah Al Quran sendiri yang dijadikan kamus sebagai rujukan.
Ya-ayyuha- Lladziyna Alamnuw Aminuw biLlahi waRusulihi walKitabi Lladzy Nazzla 'alay Rasuwlihi walKitabi Lladziy Anzala 'alay min Qablu waMan Yakfur biLlahi waMlaikatihi waKutubihi waRusulihi walYawmi lAkhiri faQad Dhalla Dhala-lan Ba'iydan (S. An Nisa-u, 136). Hai orang-orang beriman, berimanlah kepada Allah dan Raslnya, kepada Kitab yang diturunkan kepada RasulNya, dan kepada Kitab-Kitab yang diturunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir terhadap Allah, terhadap Malaikatnya, terhadap Kitab-Kitabnya, terhadap Rasul-Rasulnya dan terhadap Hari Akhirat nyatalah ia telah sesat sesesat-sesat dan sejauh-jauhnya (4:136).
Apakah yang disebut Taqwa?
Taqwa juga adalah bahasa Al Quran, jadi dalam hal ini sekali lagi Al Quran berfungsi sebagai kamus.
Alif, Lam, Mim. Dzalika lKitabu La- Rayba fiyhi Huday lilMuttaqiyna. Alladziyna Yu'minuna bilGhaybi waYuqiymuwna shShalawta wamimMa- Razaqnahum Yunfiquwa (S. Al Baqarah, 3). Yaitu yang beriman kepada Yang Ghaib, dan mendirikan shalat), dan dari sebagian yang Kami rezekikan kepada mereka diinfaqkannya (2:3). Infaq yang wajib disebut zakat dan infaq sukarela disebut sadaqah. Menurut ayat ini, orang-orang bertaqwa itu ialah menurut rumus: taqwa = iman + shalat + infaq. Dari rumus itu dapat dilihat bahwa iman, shalat dan infaq kedudukannya sejajar dan ketiga-tiganya merupakan konponen-komponen dari taqwa. Iman itu perlu tetapi belum cukup untuk menjadi taqwa. Shalat itu perlu tetapi belum cukup untuk menjadi taqwa. Infaq itu perlu tetapi belum cukup untuk menjadi taqwa. Orang beriman tetapi tidak shalat dan/atau tidak mengeluarkan infaq belumlah bertaqwa. Barulah perlu dan cukup untuk menjadi bertaqwa apabila ketiganya digabungkan, beriman, mendirikan shalat dan mengeluarkan infaq. Alhasil beriman belum tentu bertaqwa.
Bagaimana penjabaran Rumus: taqwa = iman + shalat + infaq?
Laysa lBirra an Tuwalluw Wujuwhakum Qibla lMasyriqi walMaghribi waLakinna lBirra Man Amana biLlahi walYawmi lAkhiri waMalaikati walKitabi wanNabiyyiyna wa Atay lMa-la 'alay Hubbihi Dzawiy lQurbay walYatamay walMasakiyna waBna sSabiyli wafirRiqa-bi waAqa-ma shShalawta waAtay zZaka-ta walMawfuwna bi'Ahdihim idza- 'A-haduw washShabiriyna fiylBa'sa-i wadhDharra-i waHiyna lBa'si Uwlaika lLadziyna Shadaquw wa Uwlaika Humu lMuttaquwna (S. Al Baqarah, 177). Berbuat kebajikan bukanlah dengan menghadapkan wajah ke timur atau ke barat, melainkan berbuat kebajikan itu ialah barang-siapa beriman kepada Allah, Hari Akhirat, Malaikat, Kitab Suci, Nabi-Nabi, dan memeberikan harta benda yang disukainya bagi kepentingan kaum-kerabat, yatim-piatu, fakir-miskin, kaum-kelana, peminta-minta, memerdekakan hamba-sahaya, dan mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, memenuhi janji apabila berjanji, dan orang-orang sabar atas kesengsaraan, kemelaratan dan penderitaan waktu peperangan, mereka itu adalah orang-orang benar dan mereka itulah orang-orang bertaqwa (2:177).
Adakah ungkapan iman dan taqwa dalam Al Quran?
Secara khusus ada yaitu dalam kontex mendapatkan pahala di sisi Allah. Bacalah ayat: WaLaw Annahum Amanuw waTtaqaw Lamatsuwbatun min 'indi Llahi Khayrun Law Ka-na Ya'lamuwna (S. Al Baqarah, 103). Kalau mereka beriman dan bertaqwa, sesungguhnya pahala dari sisi Allah lebih baik, jika mereka mengetahui (2:103). Ayat ini menjelaskan bahwa orang beriman yang belum bertaqwa dan orang yang bertaqwa masing-masing mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.
Kesimpulannya dalam Al Quran ada ungkapan iman dan ilmu, sedangkan ungkapan iman dan taqwa tidak berlaku umum hanya khusus dalam kontex pahala di sisi Allah SWT. Alhasil iman dan taqwa tidak cocok dipakai sebagai judul kolom ini, oleh karena kolom ini membicarakan hal yang umum. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 22 Desember 1996
15 Desember 1996
[+/-] |
253. Manusia yang Ulu lAlba-b Sebagai Khalifah Allah [Berfungsi Mengatur Sistem Dunia Dengan Nilai Wahyu] |
Dalam pelaksanaan ibadah haji disyari'atkan antara lain bahwa bila dalam keadaan ihram orang tidak boleh membunuh binatang dan tidak boleh memetik tumbuh-tumbuhan. Ini mengisyaratkan dua hal yang penting. Pertama, pada zaman RasuluLlah SAW padang 'Arafah itu gersang tidak ada tumbuh-tumbuhan. Maka dengan disyari'atkannya tidak boleh orang memetik tumbuh-tumbuhan itu berarti suatu isyarat bahwa kelak di kemudian hari padang Arafah akan tumbuh tanam-tanaman. Dan itu sudah menjadi fakta di zaman kita ini, padang Arafah sudah menghijau oleh pohon-pohonan. Inilah salah satu mu'jizat yang terkandung dalam tata-cara ibadah haji tentang hal pekabaran bagi mereka dahulu bahwa di Arafah akan tumbuh pohon-pohonan kelak. Isyarat yang kedua ialah manusia itu tidak boleh seenaknya saja membunuh binatang dan menebas pohon-pohonan. Adapun tulisan ini ruang lingkupnya di batasi dalam hal isyarat yang kedua ini, yaitu manusia harus memelihara lingkungannya. Hal ini dipertegas oleh Firman Allah dalam S. Al Baqarah, 30: Wa Idz Qa-la Rabbuka li lMalaikati Inny Ja-'ilun fiy lArdhi Khaliyfah ...., dan ingatlah tatkala Maha Pengaturmu berkata kepada para malaikat sesungguhnya Aku jadikan khalifah di bumi. Biasanya kalimah Rabb diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kata Tuhan. Terjemahan itu kurang mengenai sasaran, oleh karena kalimah Rabb itu adalah salah satu dari Asma-u lHusna, Nama-Nama Yang Terbaik, yang jumlahnya 99, yang setiap Nama itu mengandung makna spesifik. Ar Rabb berarti Maha Pengatur.
Demikianlah ayat di atas itu mengandung makna bahwa manusia yang diangkat menjadi khalifah mempunyai amanah dan wewenang dari Yang Maha Pengatur untuk mengatur sesamanya makhluq di bumi ini. Apabila Ar Rabb diterjemahkan dengan Tuhan, maka jelas terjemahan itu terlalu umum, sehingga kita tidaklah dapat menangkap dengan jelas makna yang spesifik dari terjemahan dengan istilah Tuhan itu.
Manusia dalam statusnya sebagai khalifah di atas bumi ini akan berurusan dengan alam yang dapat distratifikasikan sebagai: Alam Sekitar (surrounding, Umwelt), Sumberdaya Alam (natural resources, Rohstoffquellen) dan Lingkungan Hidup (biosphere, Biosphare).
Alam Sekitar (AS) adalah alam yang belum dijamah manusia, kecuali untuk sumber informasi bagi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Tetapi itu tidak berarti bebas nilai, oleh karena sudah menyentuh keinginan manusia, yaitu dipilih sebagai sumber informasi untuk IPA. Jadi sejak semula IPA itu tidaklah bebas nilai. Awan di udara adalah AS, sumber informasi, diungkapkan oleh IPA bagaimana
terjadinya hujan. Tidak bebas nilai oleh karena dipilih untuk dikaji. Di sini ada aliran informasi dari AS ke IPA (aliran 1-2) yang hasilnya adalah pengungkapan SunnatuLlah. Selanjutnya aliran 3-4 dari IPA ke Teknologi (Tek) bermakna bahwa luaran IPA berupa pengungkapan SunnatuLlah menjadi masukan Tek untuk meningkatkan efisiensi, unjuk-kerja dan kekuatan konstruksi. Misalnya
pengungkapan SunnatuLlah termodinamika dan pengantar kalor dapat meningkatkan efisiensi mesin-mesin kalor serta unjuk-kerja mesin-mesin pendingin; ilmu logam dan metalurgi dapat meningkatkan daya tahan konstruksi terhadap beban mekanis maupun beban kalor.
Sumberdaya Alam (SA), adalah alam yang sudah sarat dengan nilai, dengan keinginan manusia untuk memanfaatkannya. Awan yang bergumpal-gumpal di udara yang ditabur dengan es kering atau iodida perak adalah SA, hujan dimanfaatkan untuk kebutuhan air manusia. Di sini terjadi aliran pemanfaatan (8-9) dari SA ke Sistem Sosial (SS), atau lengkapnya Sistem Politik Ekonomi Sosial Budaya Pertahanan Keamanan (Poleksosbudhankam).

- AS = Alam Sekitar
- SA = Sumberdaya Alam
- LH = Lingkungan Hidup
- IPA = Ilmu Pengetahuan Alam
- Tek = Teknologi
- SS = Sistem Sosial
- 1-2 = informasi untuk IPA
- 3-4 = SunnatuLlah untuk Tek
- 5-6 = pelayanan untuk SS
- 7-2 = pemberian nilai pada IPA
- 8-9 = pemanfaatan untuk SS
- 5-10 = dampak negatif pada LH
Demikianlah, dengan model di atas itu kita perkenalkan tiga macam aliran. Pertama, aliran satu arah yang terbuka: AS ke IPA ke Tek ke LH (1-2-3-4-5-10). Kedua, aliran satu arah yang tertutup: SA ke SS (8-9). Ketiga, aliran tertutup yang melingkar: SS ke IPA ke Tek kembali ke SS ((7-2-3-4-5-6-7) dan arus baliknya dari SS ke Tek ke IPA kembali ke SS. Diagram aliran dalam gambar dapat memberikan penjelasan yang lebih terang.
Aliran-aliran itu saling berkorelasi, saling mempengaruhi. Contohnya, makin terarah nilai yang diberikan oleh SS pada IPA, makin selektif pemilihan materi AS yang dikaji oleh IPA, makin relevan jenis SunnatuLlah yang diungkapkan untuk meningkatkan mutu Tek yang dihasilkan, makin berguna Tek itu bagi SS dan makin kurang pula dampak negatif Tek terhadap LH. Contoh ini menunjukkan korelasi aliran 7-2, aliran 1-2, aliran 3-4, aliran 5-6 dan aliran 5-10. Makin serakah SS menghabiskan SD yang berupa bahan bakar (termasuk balap mobil dalam olah raga), makin menebal lapisan CO2, yang berakibat makin memuncaknya globalisasi pencemaran thermal oleh efek rumah kaca, makin besar dampak negatif Tek terhadap LH. Contoh itu memperlihatkan korelasi antara aliran 8-9 dengan aliran 5-10.
Di manakah letak manusia dalam model Sistem Dunia di atas itu? Pertama, manusia menempati Alam Sekitar sebagai sumber informasi bagi Ilmu Pengetahuan Alam. Misalnya pengkajian pembuahan sperma terhadap sel telur di luar rahim manusia, yang menghasilkan teknologi bayi tabung. Kedua, manusia menempati Sumberdaya Alam, karena tenaga otak dan ototnya dimanfaatkan untuk Sistem Sosial. Ketiga, manusia menempati Lingkungan Hidup, karena manusia adalah makhluk hidup yang menderita dampak negatif dari Teknologi. Keempat, manusia menempati Sistem Sosial, karena manusia adalah anggota sistem tersebut. Dan yang kelima, inilah yang terpenting, manusia menempati aliran tertutup yang melingkar. Di situlah manusia yang Ulu lAlba-b, yang berdzikir dan berpikir, berfungsi sebagai Khalifah Allah di atas permukaan bumi, memberikan nilai pada aliran tersebut. Misalnya dalam pemilihan tentang sumber informasi dari Alam Sekitar yang mana sajakah yang bernilai untuk dikaji. Apakah ada nilainya pengkajian pembuahan sel telur oleh sperma di luar rahim, yang menghasilkan Teknologi bayi tabung dan Teknologi bank sperma. Sikap hidup yang bagaimana yang harus dipilih sehingga Sistem Sosial dapat berhemat Sumber Daya Alam. Teknologi yang bagaimana yang harus diterapkan sehingga dampak negatifnya terhadap Lingkungan Hidup dapat diperkecil sekecil-kecil mungkin.
Adapun jawabannya sangat sederhana, yaitu senantiasa mengacu pada nilai-nilai yang bersumber dari wahyu, yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul, nilai kehidupan yang diajarkan oleh Kitab Suci Al Quran, Risalah yang dibawakan oleh Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad RasuluLlah SallaLlahu 'Alaihi wa Sallama.
Catatan: Diagram aliran di atas itu saya pungut secara selektif dari diagram Fredric Vester dalam tulisannya yang berjudul: Kibernetisches Denken in der Technologie. Karya Vester itu adalah salah satu dari 17 tulisan yang dikompilasikan dan diberi Muqaddimah (Einleitung) oleh Heinrich von Nussbaum dalam buku yang berjudul DIE ZUKUNFT DES WACHTUMS, Kritische Antworten zum "Bericht des Club of Rome", diterbitkan oleh Bertelsmann Universitatverlag, Dusseldorf, 1973. Salah satu dari kompilasi itu terdapat pula artikel tulisan Nussbaum sendiri yang berjudul "Grenzstation" oder: Vom Untergang des Abendlandes. Yang kalau saya terjemahkan bebas akan berbunyi "Pelabuhan-perbatasan" atau: Perihal Redupnya Negeri-negeri Senja. Station saya terjemahkan dengan pelabuhan, oleh karena pertumbuhan ekonomi, atau lebih luas, perkembangan kebudayaan ummat manusia itu saya ibaratkan kapal yang sedang dalam pelayaran menuju pelabuhan terakhir. (Orang Palembang menyebut tempat parker kendaraan darat dengan istilah tempat berlabuh. Saya pikir tidak ada salahnya kalau istilah berlabuh untuk parker itu dijadikan istilah baku dalam bahasa Inodonesia. Maksudnya agar semangat kelautan bangsa yang sudah mulai redup ini dapat bangkit kembali, untuk mengikuti semangat para leluhur kita. Bukankah zaman dahulu kala disebut pula dengan zaman bahari (laut)? Adapun yang saya maksud di atas dengan memungut diagram Vester secara selektif, adalah saya tidak menirunya bulat-bulat, melainkan saya sudah modifikasikan sesuai dengan pemikiran saya yang berlandaskan atas IQRA BISMI RABBIKA. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 15 Desember 1996
1 Desember 1996
[+/-] |
252 Kejujuran Dalam Terpaan Angin Puting Beliung Globalisasi |
Sesungguhnya seri ini merupakan satu kesatuan dengan Seri 251 hari Ahad yang lalu yang berjudul: Kejujuran. Melalui telepon saya menerima pertanyaan, mengapa bagian Seri 251 yang terakhir tidak jelas, seakan-akan ada yang hilang. Tanggapan itu betul. Memang ada yang hilang, karena saya salah potong. Secara singkat Seri 251 yang lalu seperti berikut: Bentuk perjanjian bagi hasil dalam masyanakat dilakukan dalam bentuk yang tidak tertulis serta tidak melibatkan secara langsung saksi-saksi dan kedua belah pihak. Siri’ dari pihak pemilik tanah, passe (posse, pacco) dari kedua belah pihak, segan dan hormat dari pihak pengelola membuahkan nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini sama nilainya dengan kepastian hukum di antara kedua pihak yang mengadakan perikatan penjanjian, Kalimat terakhir dari Seri 251 akan saya kutip: Di samping meningkatkan kinerja lembaga-lembaga keagamaan, maka masyarakat dipedesaan jangan lupa mengaplikasikan tehnik administrasi menurut kaidah agama di dalam melakukan perikatan perjanjian, seperti telah lazim dipakai di kota-kota. Adapun yang dimaksud dengan mengaplikasikan tehnik administrasi menunut kaidah agama, seperti Firman Allah:
Nun, walQalami, waMa- Yasthuruwn, perhatikanlah pena dan apa yang mereka tuliskan. (S. Al Qalam 1). Selanjutnya: Wa Idza- Tada-yantum biDaynin Ilay Ajalin Musammay faktubuwhu, walYaktub Baynakum Ka-tibun bil Adli, dan apabila kamu membuat penjanjian perikatan, hutang piutang, tuliskanlah, dan mestilah dituliskan oleh seonang notaris di antana kamu dengan adil, (S. Al Baqarah, 282).
Seperti telah dikemukakan dalam Seri 251 dengan datangnya angin puting-beliung globalisasi, nilai siri’ dan pihak pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap tidak akan mampu bertahan. Lemahnya pertahanan itu oleh karena sekarang ini tidak ada lagi lembaga adat yang bertanggungjawab atas nilai-nilai itu. Siri’ dan passe yang membuahkan nilai kejujuran hanya dipertahankan secara invidual, sehingga tidak akan mampu bertahan. Dalam keadaan yang demikian itu sudah tidak mungkin lagi terdapat kepastian hukum dalam perjanjian secana lisan tanpa saksi, oleh karena nilai kejujuran (internal) yang nilainya sama dengan kepastian hukum sudah pudar. Oleh sebab itu untuk menjamin kepastian hukum harus ada peraturan (eksternal), yaitu haruslah perjanjian perikatan itu secara tertulis oleh notaris seperti yang diperintahkan oleh kaidah agama menurut S. Al Baqanah, 282 yang telah dikutip di atas itu.
Semua ilmu dan metode yang dihasilkan untuk mengalihkan benda ke benda yang mempunyai nilai ekonomis, yang disebut nilai tambah, akan bermuara pada kemajuan sivilisasi dalam wujud keseragaman dan kemudahan hidup zahiriyah. Sivilisasi adalah konsep materialistik. Kebudayaan sebagai perangkat halus ibarat jiwa sivilisasi sebagai tubuh kasar dan itu menunjukkan bahwa tataran kebudayaan lebih tinggi dari sivilisasi. Arus globalisasi adalah arus sivilisasi.
Bangsa yang tinggi peradabannya bukan hanya sekadar yang maju sivilisasinya, melainkan sivilisasi dari bangsa itu harus bermuatan nilai-nilai budaya yang banyak menyerap nilai-nilai wahyu. Rukun Islam yang pertama menanamkan nilai kejujunan dalam lubuk hati. Pengakuan dua Kalimah Syahadatain haruslah diucapkan di mulut, dibenarkan oleh pikiran dan diyakinkan dalam qalbu. Itulah hakikat kejujuran, itulah istiqamah, konsistensi, tidak boleh ada perbedaan antara yang diyakinkan dengan yang dipikirkan, tidak boleh ada perbedaan antara yang diyakinkan dengan yang diucapkan. Jika sikap istiqamah setiap individu ditingkatkan menjadi barisan: Kaanahum Bunyanun Marshuwshun (61:4), laksana bangunan bangunan yang bershaf-shaf teratur, maka dalam kondisi yang demikian itu, insya Allah, kita siap menantang, memberikan serangan balik atas terpaan angin puting beliung globalisasi sivilisasi yang bertiup dari barat. WaLlahu A’lamu bi shShawab.
*** Makassar, 1 Desember 1996