29 Desember 1996

255. Agar Saling Kenal

Ada sebuah alat penggiling tradisional, terdiri atas dua susun batu-giling, bagian atasnya diputar dengan tangan, mempunyai lubang kecil tempat memasukkan butir-butir jagung. Alat itu dipakai untuk anggiling tette’. Perputaran bagian atas menyebabkan butir-butir jagung yang dimasukkan ke dalam lubang tersebut tergiling pecah-pecah di antara kedua batu giling itu.

Tette’ adalah jagung yang digiling dalam butir-butir kecil sebesar butir beras. Tette’ dari jagung pulut dimasak bercampur beras, menghasilkan nasi yang aromanya sedap sekali saya rasa hingga sekarang ini. Oleh-oleh yang paling berharga dari keluarga yang datang dari kampung adalah tette’ jagung pulut dan terasi Selayar, yang diproduksi secara olahan tradisional di kampung nelayan Kahu-Kahu di pulau Pasi’, sebuah pulau kecil di depan Benteng, ibu kota Kabupaten Selayar. Nelayan di kampung Kahu-Kahu sejak dahulu kala telah melaksanakan tri-korisepsi butir ketiga: petik, olah, jual. Tangkap ebi (udang kecil, ambaring), olah menjadi terasi, jual. Nelayan Kahu-Kahu tidak pernah menjual ambaring, mereka menjual terasi. Terasi produksi Kahu-Kahu ini tidak seperti terasi biasa yang pada umumnya dipakai sebagal bumbu, melainkan terasi Kahu-Kahu ini berfungsi sebagai lauk. Cara masaknya, attanakko minynya’, tanaklah minyak, sesudah minyak hampir jadi, masukkanlah terasi Kahu-Kahu ke dalamnya yang telah dilumat bersama bumbu asam, lombok dan bawang. Sangat sedap jika dimakan dengan nasi tette’ jagung pulut dimasak bercampur beras, jauh lebih sedap dari Kentucky ataupun California Fried Chicken.

Tertitip pesan kepada Pemda dan DPRD Selayar, agar industri rumah tangga mengolah terasi dengan teknologi tradisional ini dijadikan cagar budaya, dikukuhkan dengan Perda. Termasuk yang di-Perda-kan ialah lahan-laut dicagar dan nelayan-nelayan pendatang yang mendesak nelayan setempat, seperti liputan RCTI pada han Ahad pagi yang lalu, 22 Desember 1996. Kalau di Jakarta ada cagar budaya di Condet, maka di Selayar juga elok kiranya ada pula cagar budaya di Kahu-Kahu. Lokasi yang disarankan untuk dijadikan cagar budaya itu dekat tempat benda-benda bersejarah gong (nekara) perunggu raksasa, yang dahulu menjadi gaukang (arajang, atribut kerajaan) dari Kerajaan Puta Bangung dan jangkar besar. Cagar budaya dan benda bersejarah adalah obyek wisata-budaya. Di kepulauan Rajuni(Tijger Eilanden) membentang taka’ (tenumbu-karang) yaltu Taka’ Bonerate, Taman Laut Nasional yang masih luas, yang indah permai. Menurut siaran RCTI, Taman Laut Taka’ Bonerate lebih indah dari Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara. Taman laut, adalah obyek wisata-rekreasi yang perlu pula di-Perda-kan untuk mencagar daerah wisata itu dan kontaminasi pelacuran terselubung yang biasa ikut nunut dalam dunia pariwisata.

***

Dalam ilustrasi di atas ada dua ungkapan kita temui: anggiling tette’, menggihing tette’ dan attana’ minynya’, bertanak minyak. Dari kedua ungkapan itu dapat kita simak pola pikir yang empunya bahasa, yaitu berorientasi luaran (output oriented). Bukan pola pikir orang Selayar saja yang demikian. Menanak nasi, mannasu nanre (Bugis), appallu kanre (Selayar, Makassar), miapi ande (Mandar), mannasu bo’bo’ (Toraja), masak airpanas, appallu je’ne’ bambang, mannasu wae pella, miapi wae loppa, semua itu menunjukkan pola pikir yang berorientasi luaran. Pola pikir ouput oriented ini seirama dengan gaya management by obejectives.

Mungkin ada yang menyanggah, bagaimana dengan rumah sakit, bukankah itu berorientasi pada masukan (input oriented)?. Ungkapan rumah sakit, bukanlah ungkapan asli Indonesia, melainkan ungkapan tersebut diserap dari bahasa Belanda, zieken huis (ziek = sakit, huis = rumah): Jadi semestinya kalau mau konsisten berpola pikir Indonesia, bukanlah rumah sakit, melainkan rumah sehat. Orang sakit yang mulai masuk rumah sehat secara psikologis sudah terobati dengan kata sehat.

Dari segi matematika bangsa Indonesia memakai sistem desimal (puluhan), berdasar atas jumlah jari tangan. Hampir semua bangsa di dunia ini memakai sistem puluhan, kecuali suku bangsa yang mendiami pulau-pulau di selat Torres (antara Australia dengan Irian) yang dalam berhitung memakai sistem duaan, berdasar atas jumlah tangan. Nama Torres ini diserap oleh bidang hukum agraria, yaitu Sistem Torres, salah satu sistem pendaftaran tanah. Komputer digital juga memakai sistem duaan (binary sistem), berdasar atas menyala dan padam (on dan off). Dua bilangan sebelum sepuluh menunjukkan pula pola pikir yang sama di antara suku bangsa Indonesia. Angka 9 disebut tsikurieung (Aceh), artinya satu kurangnya (dari sepuluh). Sembilan (Melayu, Indonesia) artinya se-ambil-an, diambil satu (dari sepuluh). Salapan (Sunda), salapang (Makassar), artinya se-alap-an, dialap satu (dari sepuluh). Alap sinonim dari ambil, kelapa sinonim dengan kerambil kalau ditelusuri berasal dari ke-alap dan ke-ambil. Dahulu bahasa surat kabar untuk pencuri sepeda disebut alap-alap sepeda. Asera (Bugis), alai se’di, artinya ambil satu (dari sepuluh), (fonem r dan d dalam kata-kata: sera, se’re, se’di mempunyai makhraj (artikulasi) yang sama, yaltu ujung hidah ke langit-langit,bandingkan gendang dengan ganrang). Kaassa (Selayar), artinya yang keesa (sebelum sepuluh). Amessa (Mandar), alai mesa, ambil satu (dari sepuluh). Kasera (Toraja), artinya yang kese’re (sebelum sepuluh). Angka 8 disebut delapan (Aceh, Melayu, Sunda), artinya dua-alap-an, dialap dua, diambih dua (dari sepuluh), arua (Bugis, Mandar)) artinya alai rua, ambil atau alap dua (dari sepuluh), karua (Toraja, Selayar), artinya yang kedua (dari sepuluh).

Demikianlah kita telah menyimak sekapur sirih dalam hal aktualisasi nilai agama liTa’a-rafuw dalam ayat: wa Jaalnakum Syu’uwban wa Qaba-ila liTa’a-rafuw (S. Al Hujura-t, 13), dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk sahing mengenal (49:13), dalam konteks promosi daerah wisata dan memperkenalkan pola pikir suku-bangsa Indonesia. Suatu cakrawala tersendiri dalam makna beragam suku bangsa dalam kesatuan pola pikir: berorientasi luaran dan pernyataan bilangan 8 dan 9. Berhitung dan memasak adalah berpikir dan berbuat yang mendasar dalam peradaban. WaLlahu A’lamu bi shShawab.

*** Makassar, 29 Desember 1996