1 Desember 1996

252 Kejujuran Dalam Terpaan Angin Puting Beliung Globalisasi

Sesungguhnya seri ini merupakan satu kesatuan dengan Seri 251 hari Ahad yang lalu yang berjudul: Kejujuran. Melalui telepon saya menerima pertanyaan, mengapa bagian Seri 251 yang terakhir tidak jelas, seakan-akan ada yang hilang. Tanggapan itu betul. Memang ada yang hilang, karena saya salah potong. Secara singkat Seri 251 yang lalu seperti berikut: Bentuk perjanjian bagi hasil dalam masyanakat dilakukan dalam bentuk yang tidak tertulis serta tidak melibatkan secara langsung saksi-saksi dan kedua belah pihak. Siri’ dari pihak pemilik tanah, passe (posse, pacco) dari kedua belah pihak, segan dan hormat dari pihak pengelola membuahkan nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini sama nilainya dengan kepastian hukum di antara kedua pihak yang mengadakan perikatan penjanjian, Kalimat terakhir dari Seri 251 akan saya kutip: Di samping meningkatkan kinerja lembaga-lembaga keagamaan, maka masyarakat dipedesaan jangan lupa mengaplikasikan tehnik administrasi menurut kaidah agama di dalam melakukan perikatan perjanjian, seperti telah lazim dipakai di kota-kota. Adapun yang dimaksud dengan mengaplikasikan tehnik administrasi menunut kaidah agama, seperti Firman Allah:

Nun, walQalami, waMa- Yasthuruwn, perhatikanlah pena dan apa yang mereka tuliskan. (S. Al Qalam 1). Selanjutnya: Wa Idza- Tada-yantum biDaynin Ilay Ajalin Musammay faktubuwhu, walYaktub Baynakum Ka-tibun bil Adli, dan apabila kamu membuat penjanjian perikatan, hutang piutang, tuliskanlah, dan mestilah dituliskan oleh seonang notaris di antana kamu dengan adil, (S. Al Baqarah, 282).

Seperti telah dikemukakan dalam Seri 251 dengan datangnya angin puting-beliung globalisasi, nilai siri’ dan pihak pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap tidak akan mampu bertahan. Lemahnya pertahanan itu oleh karena sekarang ini tidak ada lagi lembaga adat yang bertanggungjawab atas nilai-nilai itu. Siri’ dan passe yang membuahkan nilai kejujuran hanya dipertahankan secara invidual, sehingga tidak akan mampu bertahan. Dalam keadaan yang demikian itu sudah tidak mungkin lagi terdapat kepastian hukum dalam perjanjian secana lisan tanpa saksi, oleh karena nilai kejujuran (internal) yang nilainya sama dengan kepastian hukum sudah pudar. Oleh sebab itu untuk menjamin kepastian hukum harus ada peraturan (eksternal), yaitu haruslah perjanjian perikatan itu secara tertulis oleh notaris seperti yang diperintahkan oleh kaidah agama menurut S. Al Baqanah, 282 yang telah dikutip di atas itu.

Semua ilmu dan metode yang dihasilkan untuk mengalihkan benda ke benda yang mempunyai nilai ekonomis, yang disebut nilai tambah, akan bermuara pada kemajuan sivilisasi dalam wujud keseragaman dan kemudahan hidup zahiriyah. Sivilisasi adalah konsep materialistik. Kebudayaan sebagai perangkat halus ibarat jiwa sivilisasi sebagai tubuh kasar dan itu menunjukkan bahwa tataran kebudayaan lebih tinggi dari sivilisasi. Arus globalisasi adalah arus sivilisasi.

Bangsa yang tinggi peradabannya bukan hanya sekadar yang maju sivilisasinya, melainkan sivilisasi dari bangsa itu harus bermuatan nilai-nilai budaya yang banyak menyerap nilai-nilai wahyu. Rukun Islam yang pertama menanamkan nilai kejujunan dalam lubuk hati. Pengakuan dua Kalimah Syahadatain haruslah diucapkan di mulut, dibenarkan oleh pikiran dan diyakinkan dalam qalbu. Itulah hakikat kejujuran, itulah istiqamah, konsistensi, tidak boleh ada perbedaan antara yang diyakinkan dengan yang dipikirkan, tidak boleh ada perbedaan antara yang diyakinkan dengan yang diucapkan. Jika sikap istiqamah setiap individu ditingkatkan menjadi barisan: Kaanahum Bunyanun Marshuwshun (61:4), laksana bangunan bangunan yang bershaf-shaf teratur, maka dalam kondisi yang demikian itu, insya Allah, kita siap menantang, memberikan serangan balik atas terpaan angin puting beliung globalisasi sivilisasi yang bertiup dari barat. WaLlahu A’lamu bi shShawab.

*** Makassar, 1 Desember 1996