19 Oktober 1997

294. Taubat Nasional

Tatkala selesai shalat Jum'at di Masjid Syura Ujung Pandang Baru, tanggal 17 Oktober 1997, Drs Jamaluddin Bahsen meminta kepada saya agar menulis di kolom ini tentang tawbat nasional. Karena katanya sekarang ummat bingung mengenai dua pendapat tokoh nasional yang diutarakan dan dipublikasikan secara terbuka. Tokoh nasional Ketua Umum PP Muhammadiyah H.M.Amien Rais menyerukan taubat nasional. Maka gayungpun bersambut. Tokoh nasional Menteri Agama H. Tarmizi Taher mengatakan bahwa dalam ajaran Islam tidak ada apa yang dikatakan taubat nasional, yang ada hanya taubat individual. Dalam era keterbukaan ini khalayak perlu dibiasakan mendengarkan pendapat yang berbeda dari tokoh-tokoh nasional secara terbuka.

Sebenarnya pada waktu tanah Arab dilanda kekeringan Nabi Muhammad RasuluLlah SAW menyerukan ummat Islam supaya bertaubat kepada Allah SWT. Tentu saja taubat yang diserukan RasuluLlah SAW dilaksanakan oleh setiap individu secara bersama-sama, dan secara maknawi ini adalah taubat nasional dalam kontex peristilahan kita dewasa ini. Bahkan di dalam Al Quran kita dapati pula taubat nasional yang diserukan oleh Nabi Musa AS di kaki gunung Sina(i). Pada waktu RasuluLlah SAW Isra, beliau sempat singgah di gunung ini.

Firman Allah SWT:

Kadzalika Naqushshu 'Alayka min Anba-i Ma- Qad Sabaqa wa Qad Ataynaka min Ladunna- Dzikran (S. Thaha, 99). Demikanlah Kami kisahkan kepada engkau (hai Muhammad) pekabaran apa yang telah terdahulu, sesungguhnya Kami berikan peringatan (Al Quran) kepadamu dari sisi Kami (20:99).

Salah satu di antara sekian pekabaran yang diwahyukan Allah SWT dalam Al Quran yaitu kisah Bani Israil yang diselamatkan Allah SWT menyeberang laut Merah yang dipimpin oleh Nabi Musa AS dari kejaran Fir'aun Mern Ptah dan bala tenteranya, yang ditenggelamkan Allah SWT di laut Merah itu. Setelah menyeberangi terowongan air belahan laut Merah Bani Israil tiba di semenanjung Sina(i). Di semenanjung itu terdapat gunung yang namanya sama dengan nama semenanjung itu Thur-Sina, gunung Sina.

Pada kaki gunung Sina Nabi Musa AS meninggalkan kaumnya beberapa hari, ia mendaki puncak gunung Sina ke tempat ia mula pertama menerima wahyu dari Allah SWT. Nabi Musa AS mempercayakan kepada Nabi Harun AS untuk memimpin Bani Israil sepeninggalnya. Ternyata Nabi Harun AS tidak dapat mengendalikan kaumnya yang masih terpengaruh akan kebudayaan Mesir Kuno yang mengkultuskan sapi. Di bawah pengaruh Samiri Bani Israil mengumpulkan semua perhiasan emas mereka untuk ditempa oleh Samiri menjadi sapi emas. Nabi Harun AS memperingatkan kepada kaumnya:

Ya- Qawmi Innama- Futintum Bihi (S. Thaha, 90). Hai Kaumku, sesungguhnya kamu sekalian difitnah dengannya (20:90). Futintum Bihi (difitnah dengannya) dalam ayat ini maksudnya Samiri memfitnah (menimpakan musibah) atas Bani Israil yaitu menyembah sapi emas tempaan Samiri tersebut.

Apa jawaban Bani Israil kepada Nabi Harun AS?

Qa-luw lan Nabraha 'Alayhi 'Akifiyna Hattay Yarji'a Ilayna- Muwsay (S. Thaha, 91). Mereka (Bani Israil) berkata kami sekali-kali tidak akan berhenti menyembahnya (sapi emas) sampai Musa kembali kepada kami (20:91).

Allah SWT mengingatkan kepada kita yang membaca Al Quran tentang kisah Bani Israil di kaki Gunung Sinai itu.

Wa Idz Qa-la Musay liQawmihi Yaqawmi Innakum Zhalamtum Anfusakum Bittikha-dzikumu l'Ijla Fatuwbuw ilay Bariikum (S. Al Baqarah, 54). Dan ingatlah tatkala Musa berkata: Hai kaumku sesungguhnya kamu telah menzalimi diri kamu sekalian karena kamu mengambil anak sapi (menjadi sesembahan), sebab itu taubatlah kamu sekalian kepada Yang Menjadikan kamu (2:54).

Dalam terjemahan ayat-ayat di atas ada yang diberi bergaris bawah, yaitu pertama, peringatan Nabi Harus AS kepada kaumnya (baca: secara nasional): kamu sekalian difitnah dengannya (Futintum Bihi); kedua, jawaban kaum Bani Israil (baca: secara nasional): kami sekali-kali tidak akan berhenti menyembahnya (lan Nabraha 'Alayhi 'Akifiyna); dan ketiga, seruan Nabi Musa AS kepada kaumnya (baca: secara nasional): taubatlah kamu sekalian kepada Yang Menjadikan kamu (Fatuwbuw ilay Bariikum).

Walhasil dalam fragmen kisah Bani Israil di kaki Gunung Sinai dapat kita lihat peringatan Nabi Harun AS kepada kaumnya secara nasional, dosa menyembah sapi emas yang dilakukan oleh kaum Bani Israil secara nasional, dan seruan Nabi Musa AS kepada kaumnya untuk taubat secara nasional. Aktualisasi menyembah sapi emas Samiri dalam kontex kehidupan berbangsa dan bernegara ialah korupsi dan kolusi yang mengandung nilai nominal emas. Bahkan cicin emas tanda-mata para mantan anggota DPR-pun masuk dalam sub-sistem lembu Samiri.

Terakhir izinkanlah saya untuk meniru gaya bahasa Dari Rumah Ke Kantor-nya PEDOMAN RAKYAT pada halaman pertama sudut kiri sebelah bawah: Siapa bilang tidak ada taubat nasional dan siapa bilang di Indonesia tidak ada lembu Samiri?
WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 19 Oktober 1997