Hari Jum'at, 17 Juli 1998, setelah saya tiba di rumah dari shalat Jum'at begitu masuk ke dalam ruang tengah mata saya tertumbuk di layar monitor menyaksikan Selo Sumarjan sementara diwawancarai oleh SCTV. Menurut guru besar sosiologi itu sekarang ini bangsa Indonesia memerlukan tokoh untuk dapat mengubah tatanan nilai. Ia memberikan ilustrasi tatkala bangsa Indonesia beralih dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan tampil Soekarno sebagai tokoh yang mampu membawa bangsa Indonesia dari tatanan nilai lama ke tatanan nilai baru yaitu Pancasila. Akan tetapi Soekarno dalam proses selanjutnya menyeret bangsa Indonesia ke komunisme. Maka tampillah Suharto, demikian Ilustrasi Sumarjan selanjutnya, yang menghancurkan komunisme kemudian membentuk tatanan nilai Orde Baru. Maka disebutkanlah periode Soekarno yang menyimpang itu dengan sebutan Orde Lama. Kemudian Suharto juga jatuh karena menyeret bangsa Indonesia ber-KKN. Ilustrasi yang dikemukakan oleh Selo Sumarjan itu sebenarnya sudah umum diketahui orang.
Yang tidak umum diketahui orang ialah guru besar sosiologi itu rupanya memakai filsafat Jawa untuk melandasi keilmuannya. Soekarno berhasil membawa bangsa Indonesia dari tatanan nilai Orde Penjajahan ke tatanan nilai Orde Kemerdekaan, Suharto juga berhasil membawa bangsa Indonesia dari tatanan nilai Orde Lama ke tatanan nilai Orde Baru karena kedua tokoh itu mendapatkan wahyu dari atas, sambil Selo Sumarjan menunjukkan telunjuknya dua kali ke atas langit, satu kali untuk Soekarno dan satu kali untuk Suharto. Habibie, menurut Selo Sumarjan, cukup hanya memimpin pemerintahan transisi saja. Habibie, katanya, tidak akan mampu membawa rakyat berubah dari tatanan nilai Orde Baru ke tatanan nilai Orde Reformasi, karena Habibie tidak mendapat wahyu. Itulah pendapat Selo Sumarjan sebagai pengamat sejarah (?) menurut teropong sosiologi yang berdasarkan filsafat Jawa.
Sebagai sisipan mengenai filsafat Jawa ini saya pernah membaca sebuah artikel puluhan tahun yang lalu, sehingga saya lupa di majallah mana artikel itu dimuat, bahwa raja itu adalah pusat kosmos. Berdasarkan filsafat ini maka para penulis sejarah bagaimanapun juga, jika tidak dapat dalam kenyataan cukuplah dalam angan-angan saja, mestilah menempatkan rajanya sebagai penguasa tunggal dari kerajaan-kerajaan lain di nusantara ini. Lihatlah misalnya kerajaan Majapahit dalam Negara Kertagama dikatakan menguasai seluruh nusantara. Inilah angan-angan Prapanca untuk menyanjung rajanya, sebab bagaimana mungkin Majapahit dapat mengusai kerajaan Gowa. Seperti diketahui kerajaan Gowa adalah kerajaan maritim yang kuat angkatan lautnya. Sedangkan kerajaan Majapahit adalah kerajaan agraris yang angkatan lautnya bukan untuk berperang, melainkan hanya sekadar untuk mengangkut pasukan darat dan logistik menyeberangi selat Sunda, untuk menyerang kerajaan-kerajaan di Sumatera seperti puing-puing kerajaan Syriwijaya dan kerajaan Pagarruyung di Minangkabau.
Kembali pada Selo Sumarjan menganai wahyu. Adalah haknya untuk menjadi pakar, berteori dalam disiplin sosiologi yang berdasarkan filsafat Jawa, akan tetapi sungguh tidak patut dan sama sekali tidak etis, bahkan merupakan korupsi serta pelecehan, yaitu "mencuri" istilah wahyu dari bahasa Al Quran, kemudian menyelewengkan makna substansi itu. Wahyu menurut bahasa Al Quran bersumber dari Allah SWT diturunkan hanya kepada para manusia pilihan dan mulia, yaitu para Nabi dan Rasul. Nabi dan sekaligus Rasul yang terakhir yang menerima wahyu dari Allah SWT adalah Nabi Muhammad SAW. Dan inilah pengertian wahyu dalam kolom WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU ini. Hubungan keempat substansi itu telah dijelaskan dalam Seri 001. Akal harus dituntun wahyu, ilmu harus berlandaskan iman, wahyu harus diterima dengan iman, dan ilmu adalah produk akal.
Firman Allah:
Innaa Awhaynaa Ilayka Kamaa Awhaynaa ila- Nuwhin wa nNabiyyi-na min ba'dihi- wa Awhaynaa ila- Ibra-hiyma wa Isma-'iyla wa Ya'quwba wa lAsbaati wa 'Iysa- wa Ayyuwba wa Yuwnusa wa Ha-ruwna wa Sulaymaana wa A-taynaa Daawuwda Zabuwran (S. AnNisa- 4:163). Sesungguhnya Kami telah wahyukan kepada engkau (hai Muhammad) sebagaimana Kami telah wahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya, dan Kami telah wahyukan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq dan anak-naknya dan kepada 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun, Sulaiman dan Kami berikan Zabur kepada Daud.
Wa Awhaynaa ila- Musa- idzi sTasqa-hu qawmuhu- ani Dhrib bi'Ashaaka lHajara (S. AL A'Raaf, 7:160). dan Kami wahyukan kepada Musa, ketika kaumnya minta air, pukullah batu itu dengan tongkatmu.
Maa Kaana Muhammadun Abaa Ahadin Min rRijaalikum Wala-kin RasuwlaLla-hi wa Khaatamu nNabiyyi-na (S. AL Ahzaab, 33:40). Bukanlah Muhammad bapa salah seorang laki-laki di antara kamu, melainkan dia Rasul Allah dan penutup Nabi-nabi.
Dari Firman Allah yang dikutip di atas itu jelaslah bahwa wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi dan Rasul, serta Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang terakhir. Allah tidak lagi menurunkan wahyu setelah Nabi Muhammad SAW. Selo Sumarjan "mencuri" istilah wahyu dari Al Quran, kemudian ia mengkorupsi makna substansi tersebut sehingga menyimpang dari makna yang sesungguhnya dengan mengatakan bahwa Soekarno dan Suharto mendapat wahyu dari atas langit, dengan menunjukkan telunjuknya ke langit dua kali, sekali untuk Soekarno, sekali untuk Suharto.
Majelis Ulama Indonesia hendaknya memperhatikan hal ini, karena Selo Sumarjan yang melakukan korupsi bahasa Al Quran dalam bidang sosiologi, membawa efek meracuni aqidah anak baru gede (ABG) dalam kalangan ummat Islam! Orang boleh bebas mengeluarkan pendapat, tetapi jangan melanggar rambu-rambu hak asasi ummat Islam. WaLla-hu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 19 Juli 1998