26 Juli 1998

332. Mengapa Pembuktian Terbalik?

Sebenarnya seri ini merupakan lanjutan Seri 324, tanggal 31 Mei 1998 yang berjudul: Undang-Undang Anti Korupsi dan Anti Kolusi. Seri ini tertunda dipublikasikan berhubung diselingi oleh substansi yang lebih aktual. Secara impulsif ada yang menanggapi Seri 324 tersebut melalui telepon bahwa judul itu perlu diralat, karena tidak ada undang-undang kolusi. Lalu saya jawab bahwa rupanya anda itu baru membaca judul, lalu secara impulsif anda angkat gagang telepon. Kemudian secara berkelakar saya tambahkan yang saya tulis itu bukanlah yang orang Makassar katakan das Sein (orang Makassar membacanya dengan das zain), melainkan judul itu menyangkut mengenai yang orang Bugis katakan das Sollen (orang Bugis membacanya dengan das zollen).

Rupanya keadaan juga yang memacu orang serba tergesa berpacu dengan waktu, sehingga orang bereaksi secara impulsif terhadap pendapat seseorang. Katakanlah ucapan Menteri Pangan dan Hortikultura A.M. Saifuddin tentang penjarahan dengan angka 5%. Karuan saja mantan petinggi dan para petinggi secara impulsif ramai-ramai berkomentar: itu salah besar, sekecil apapun persennya, penjarahan itu melanggar hukum, tidak boleh ditolerer.

Reaksi impulsif itu secara ilmu nafsani disebabkan oleh dorongan naluri dalam Qalbu di sektor Al Hawa terlalu intensif, sehingga tidak ada aktivitas di sektor-sektor Al Fuad dan Al Shudr. (Mengenai pengertian sektor-sektor Al Hawa, Al Fuad dan Al Shudr di dalam Qalbu silakan baca Seri 306, tanggal 11 Januari 1998, yang berjudul: Puasa Meningkatkan Kecerdasan Perasaan, Pikiran dan Naluri). Akibatnya logika tidak bekerja, orang tidak dalam keadaan tenang (nuchter). Kalau orang sedikit nuchter, memakai sedikit logika, bagaimana mungkin dapat percaya sosok orang semacam A.M. Saifuddin itu sampai mengeluarkan pendapat demikian itu, bahwa penjarahan di bawah 5% dapat ditolerer. Cuma Buya Ismail Hasan Metareum (peu khaba Teungku), mantan Ketua PB HMI hasil Kongres Medan tahun 1958, yang nuchter menanggapi dengan kalimat pendahuluan: Jika memang beliau itu mengucapkan demikian, maka dst. Ternyata yang dimaksud Pak Menteri ialah yang ditolerer itu angka 5% dalam kontex risiko bisnis, bukan substansi penjarahan sebagai salah satu risiko bisnis. Saya kira pendapat Presiden Habibie yang mengatakan bahwa wartawan hendaknya seperti dokter yang memerlukan rekomendasi dari persatuannya, ada benarnya. Seingat saya Drs HM Yusuf Kalla pernah mengalami yang demikian, ucapannya secara harfiyah (letterlijk) dimuat di koran, sehingga makna ucapan itu menyimpang dari kontex yang sebenarnya.

Kembali kepada penanya melalui telepon tesebut. Saya berani menyatakan kepada penanya tersebut bersikap impulsif, karena dalam Seri 324 itu antara lain saya tuliskan: Dalam rangka reformasi Ekonomi dan Hukum, yaitu pembuatan Undang-Undang Anti Korupsi, maka kolom ini memberikan saran kepada lembaga pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) supaya diperlengkap menjadi Undang-Undang Anti Korupsi dan Anti Kolusi (UUAKK) dengan sistem pembuktian terbalik.

Dalam seri tersebut saya jelaskan pula asal-usul metode pembuktian terbalik ini, yaitu dari Khalifah 'Umar ibn Khattab RA (581-644). Khalifah yang kedua ini (634-644) mendapat inspirasi dari pertanyaan Nabi Zakaria AS kepada Maryam binti 'Imran:
-- Yaa Maryamu anna- Laki Ha-dza (S. Ali 'Imraan, 3:37), hai Maryam, dari manakah engkau mendapatkan ini? Pertanyaan dari manakah engkau mendapatkan ini dalam ayat (3:37) tersebut diaplikasikan oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA kepada aparat kekhalifahan.

Dalam hal korupsi dan kolusi terlalu banyak menguras tenaga jaksa untuk membuktikan tersangka melakukan tindak pidana. Apapula jika dokumen-dokumen sebagai barang bukti sempat dibakar hangus oleh tersangka bersama kaki tangannya. Apabila dipakai metode pembuktian terbalik, maka jaksa cukup hanya memeriksa saksi-saksi, menerima laporan masyarakat sekitar kekayaan tersangka baik yang bergerak dan tidak bergerak, mendata kekayaan tersangka, lalu "mengamankan" harta-harta kekayaan itu. Maka tinggallah pejabat yang bersangkutan itu saja yang harus membuktikan bahwa hartanya itu bersih dari korupsi dan kolusi. Kalau ada sisanya yang kotor, maka yang sisa tersebut dirampas oleh negara, dan pejabat/koruptor itu dijatuhi hukuman dengan sanksi potong tangan.

Alhasil dengan pembuktian terbalik ini jaksa tidak perlu khawatir akan dibakar hangusnya dokumen-dokumen barang bukti, sebab jaksa tidak perlu akan barang bukti tersebut, berhubung bukan lagi jaksa yang harus membuktikan tindak pidana korupsi dan kolusi, melaikan pembuktian itu harus dilakukan oleh terdakwa dalam sidang pengadilan. Jaksa cukup hanya menyodorkan data kekayaan terdakwa dalam sidang pengadilan. Demikianlah proses itu menjadi efisien dan efektif. Kejaksaan dan pengadilan dapat menangani kasus korupsi dan kolusi dengan cepat, sehingga dapat menyelesaikan lebih banyak kasus korupsi dan kolusi. Dan dengan sanksi potong tangan, menjadi penggentar bagi yang lain untuk pikir punya pikir untuk korupsi. Lagi pula dengan sanksi potong tangan itu negara tidak usah mengeluarkan ongkos lagi untuk kehidupan terpidana dalam pemjara, sebab terpidana tidak dipenjarakan lagi. Tidak seperti sekarang dengan prinsip asas praduga tak bersalah yang disalah gunakan (koruptor berlindung dibalik asas tersebut), kejaksaan tinggi yang menangani pengusutan korupsi bekerja secara maraton. Kasihan betul kejaksaan tinggi bekerja sampai melebihi jam kerja masih dikatakan lamban bekerja.

Juga dalam UUAKK ditegaskan pula bahwa khusus dalam hal korupsi dan kolusi tidak perlu ada surat izin sekalipun tersangka itu anggota lembaga tertinggi negara, cukup hanya pemberitahuan saja. Dengan demikian proses tidak akan tersendat-sendat, karena izin belum keluar. Dalam hal ini perlu ada sinkronisasi dengan undang-undang tentang keanggotaan lembaga-lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara, supaya tidak ada ketentuan dalam lembaga-lembaga tersebut bahwa para anggotanya tidak boleh dipanggil oleh lembaga kejaksaan tanpa izin. WaLla-hu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 26 Juli 1998