28 Maret 1999

366. Teknolgi Bayi Tabung dan Teknologi yang Bermuatan Nilai

Hari Rabu, tgl 17 Maret 1999, usai shalat subuh saya mendapat giliran dalam siaran langsung TVRI stasiun Ujungpandang untuk membawakan tema Teknologi Bagi Kemaslahatan Ummat Manusia yang dipandu oleh DR Hamka Haq yang sekaligus sebagai fasilitator pemirsa yang menanggapi melalui telpon. Di antara tanggapan pemirsa melalui telpon itu, ada yang membutuhkan uraian lebih panjang yang tak mungkin dapat dikemukakan dalam kesempatan yang begitu terbatas, yaitu tentang teknologi bayi tabung dan teknologi yang bermuatan nilai.

1. Teknologi Bayi Tabung

Sidang Komisi A dalam Muktamar ke-29 NU, Desember 1994, memfatwakan haram hukumnya rahim sewaan. Ini sesungguhnya merupakan rangkaian dari fatwa yang telah dikeluarkan NU tidak lama sebelum Muktamar tentang dibolehkannya bayi tabung dengan syarat bibit harus berasal dari suami isteri.

Menurut hemat saya fatwa mengenai haramnya rahim sewaan tidak tegas. Mengapa? Bagaimana jika ada yang sedia dengan ikhlas menyediakan rahimnya tanpa disewa, misalnya saudara atau ibu sang isteri? Pada hal dalam sel telur yang telah dibuahi itu sudah ada khromosom dari bibit sang suami? Yang tidak boleh masuk ke dalam rahim selain dari rahim isterinya? Akan lebih tegas jika difatwakan: Apabila telah berhasil terjadi pembuahan di dalam tabung, maka haram hukumnya sel telur sang isteri yang telah dibuahi oleh sperma sang suami itu dimasukkan ke dalam rahim perempuan siapapun juga selain ke dalam rahim isterinya.

Fatwa yang demikian bunyinya itu mencakuplah haramnya rahim sewaan dan haramnya bank mani. Fatwa ini memberikan pula jalan keluar bagi seorang isteri yang walaupun indung telurnya produktif tetapi tidak dapat mengandung bayi karena penyakitan ataupun lemah rahimnya, sehingga selalu keguguran. Pasangan suami isteri dapat berupaya mencari seorang perempuan yang ikhlas untuk mengandung sel yang telah dibuahi dalam tabung itu, lalu sang suami menikahi perempuan itu sebagai isteri kedua.

2. Teknologi Tidak Bebas Nilai

Teknologi tidak dapat dipisahkan dari sains, sehingga biasanya dipakai ungkapan kata-kata sains dan teknologi. Ungkapan Iptek yang biasa dipakai orang tidak begitu kena, oleh karena Ip sebagai singkatan dari ilmu pengetahuan tidak tegas, mestinya ilmu pengetahuan alam. Itulah sebabnya saya tidak habis pikir ada fakultas yang bernama MIPA, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, mengapa tidak dipakai singkatan Ipatek untuk sains dan teknologi?

Sains adalah proses penafsiran alam semesta yang dapat dideteksi oleh pancaindera, biasanya dengan bantuan instrumen, yang kemudian penafsiran itu harus diujicoba juga dengan bantuan instrumen.

Dengan pernyataan seperti di atas itu kelihatannya menurut apa yang difahami sebagian orang sains itu adalah polos, tanpa nilai. Atau dengan ungkapan yang lebih canggih: sains itu otonom. Pada hakekatnya sains itu sesungguhnya memihak, jadi tidak otonom, seperti yang akan dibahas berikut ini:

Manusia berdasarkan sikapnya terhadap Allah, dapat diklasifikasikan dalam empat golongan, yaitu:

  1. Golongan yang percaya akan adanya Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta. Allah memberikan petunjuk kepada manusia dengan menurunkan wahyu kepada nabi-nabi yang meneruskan petunjuk itu kepada ummat manusia. Golongan ini disebut dengan theist.
  2. Golongan yang percaya akan adanya Allah hanya sebagai Pencipta saja. Wahyu tidak ada. Manusia cukup mengatur dirinya dengan akalnya saja. Sikap berpikir yang demikian itu disebut sekuler. Golongan ini disebut dengan deist.
  3. Golongan yang tidak mau tahu tentang adanya Allah. Bagi golongan ini adanya Allah atau tidak adanya Allah, tidak dapat dibuktikan. Golongan ini disebut dengan agnostik. Filosof Betrand Russel termasuk dalam golongan ini.
  4. Golongan yang tidak percaya akan adanya Allah. Golongan ini disebut dengan athesist.
Menurut apa yang dididikkan dalam sekolah umum, menyebut nama Allah dalam sains berarti hilanglah otonomi sains itu. Polos atau otonom artinya tidak memihak. Padahal dengan tidak mau tahu tentang Allah di dalam sains, berarti sudah memihak kepada golongan agnostik itu. Artinya pemahaman bahwa sains itu otonom sebenarnya adalah pernyataan yang palsu.

Walhasil, orang yang berpikiran sehat akan memilih golongan pertama tempat sains itu memihak. Firman Allah:

AN FY KHLQ ALSMWT W ALARDH W AKHTLAF ALYL W ALNHAR LAYT LAWLY ALALBAB. ALDZYN YDZKRWN ALLH QYAMA W Q'AWDA W 'ALY JNWBHM W YTFKRWN FY KHLQ ALSMWT W ALARDH RBNA MA KHLQT HDZA BATHLA SBHNK FQNA 'ADZAB ALNAR (S. 'AL 'AMRAN, 3:190-191), dibaca: Inna fi- khalqis sama-wa-ti wal ardhi wakhtila-fil layli wannaha-ri la.a-ya-til liulil akba-b. Alladzi-na yadzkuru-na Lla-ha qiya-maw waqu'udaw wa 'ala- junu-bihim wa yatafakkaru-na fi- khalqis sama-wa-ti wal ardhi rabbana- ma- khalaqta ha-dza- ba-thilan subha-naka faqina- 'adza-ban na-r (S. Ali 'Imra-n), artinya:
Sesungguhnya dalam (proses) penciptaan benda-benda langit dan bumi, dan pergantian malam dengan siang menjadi keterangan bagi mereka yang mempergunakan hati nurani dan pikirannya. Yaitu mereka yang ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring, dan memikirkan penciptaan benda-benda langit dan bumi, lalu mereka berkata; Wahai Maha Pengatur dan Pemelihara Kami, tidaklah Engkau ciptakan semuanya ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari azab neraka (S. Keluarga 'Imran, 190-191).

Sains yang memihak kepada golongan theist itu wajib didefinisikan seperti berikut: Sains meliputi pengungkapan sunnatuLlah (hukum-hukum Allah) tentang alam syahadah ciptaan Allah sebagai Maha Pencipta (Al Khaliq) dan Maha Pengatur (Ar Rabb), dan perumusan hipotesa-hipotesa sepanjang belum dapat diujicoba dengan eksperimen, yang memungkinkan orang dapat mentakwilkan peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alamiyah dalam kondisi-kondisi tertentu.

Teknologi mengaplikasikan sunnatuLlah yang telah diungkapkan oleh sains. Karena sains itu tidak bebas nilai, maka teknologi juga tidak bebas nilai. Lagi pula teknologi itu bertolak dari niat manusia yang merancangnya, untuk apa teknologi itu dirancang (designed). Dari segi inipun teknologi tidak bebas nilai. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 28 Maret 1999