Presiden Abdurrahman Wahid telah mengganti Kapolri karena dinilainya lamban dalam hal menanggulangi keamanan di ibu kota, yang terakhir dengan peledakan bom di gedung BEJ. Penggantian Kapolri ini menimbulkan sengketa opini tentang penafsiran dikhotomis antara konstitusional versus inkonstitusional. Sengketa opini ini diakibatkan oleh produk konstruksi substansi hukum yang ditelurkan oleh ST MPR 2000. Yaitu Tap No.VI Psl.3, ayat (2) yang berbunyi: Menyangkut Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI secara lengkap dan teperinci diatur lebih lanjut dalam UU secara terpisah, serta Tap No.VII Psl.7, ayat (3), yang menyebutkan: Kepolisian Negara RI dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara RI yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Konon kabarnya landasan filosofis Tap No.VII Psl.7, ayat (3), ialah supaya tercapai keseimbangan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif, tegasnya mengurangi kekuasaan eksekutif sebaliknya menambah kekuasaan legislatif dalam konteks Kepolisian. Filosofi keseimbangan antara legislatif dengan eksekutif dapat pula kita lihat dalam Perubahan Pertama UUD 1945, seperti berikut. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Ini menggantikan ketentuan lama yang berbunyi: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Presiden Abdurrahman Wahid Tap No.VII Psl.7, ayat (3) belum berlaku, karena Kepolisian Negara RI secara lengkap dan teperinci belum diatur lebih lanjut dalam UU, sehingga yang dipakai masih UU yang lama. Menurut Ketua MPR Amin Rais Tap No.VII mulai berlaku sejak ditetapkannya, sehingga UU lama tidak dapat dipakai lagi karena bertentangan dengan sumber hukum yang hirarkinya lebih tinggi, yaitu Tap No.VII tersebut. Penafsiran menurut Ketua MPR ini menunjukkan lemahnya konstruksi substansi hukum yang ditelurkan oleh ST MPR 2000 yang lalu tersebut, karena mengakibatkan terjadinya kevakuman UU khusus yang berhubungan dengan pergantian Kapolri. Keadaan keamanan maraknya ledakan bom menghendaki tindakan yang cepat tanpa bertele-tele untuk mengganti Kapolri, sedangkan DPR sedang reses, mana pula masyarakat kini berbudaya kurang sabaran. Konstruksi hukum produk ST MPR tersebut dalam hal ini menyebabkan pula ketiga komponen hukum: substansi, struktur dan budaya masyarakat, tidaklah sinkron.
Kolom ini tidak ikut bicara lebih dalam perihal jati-diri Tap MPR yang oleh pakar hukum tatanegara Harun Al Rasyid dicap sebagai "barang haram", karena aturan dasar hukum harus dimasukkan dengan jelas dalam pasal-pasal dalam UUD-1945, artinya UUD-1945 sama sekali tidak mengenal adanya Tap MPR. Juga tidak ikut bicara lebih dalam perihal pendapat pakar hukum tatanegara yang lain Ismail Suni yang mengatakan bahwa walaupun presiden melanggar Tap MPR No.VII tahun 2000 tersebut, namun dapat difahami tindakan presiden mengganti Kapolri, karena desakan situasi keamanan.
Yang akan dibahas dalam kolom ini selanjutnya adalah penyebab mengapa ST MPR menelurkan konstruksi hukum yang lemah seperti yang ditunjukkan di atas itu. Sesungguhnya penyebab lemahnya konstruksi hukum produk ST MPR 2000 itu terletak dalam hal: "para anggota MPR yang beragama Islam tidak belajar dari Syari'at Islam bagaimana sesungguhnya mengkonstruksi hukum."
Marilah kita lihat konstruksi hukum menurut Syari'at Islam, seperti Firman Allah SWT dalam Al Quran (transliterasi huruf demi huruf):
-- ANMA HRM 'ALYKM ALMYTT WALDM WLHM ALKHNZYR WMA AHL BH LGHYR ALLH FMN ADHTHR GHYR BAGH WLA 'AD FLA ATSM 'ALYH AN ALLH GHFWR RHYM (S. ALBQRT, 173), dibaca: innama- harrama 'alaykumul maytata waddama walahmal khinzi-ri wama- uhilla bihi- lighayriLla-hi famanidhthurra ghyra ba-ghiw wala- 'a-din fala- itsma 'alayhi innaLla-ha ghafu-rur rahi-m (s. albaqarah), artinya: sesungguhnya diharamkan atas kamu: bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih bukan dengan nama Allah (melainkan atas nama berhala), namun barang siapa yang terpaksa (memakannya), sedang ia tiada aniaya dan tiada pula melampaui batas, maka tiada dosa atasnya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (2:173).
Allah SWT Yang Maha Mutlak tidak membebankan aturan yang mutlak-mutlakan kepada hambaNya. Haramnya bangkai tidak mutlak, haramnya darah tidak mutlak, haramnya daging babi tidak mutlak, haramnya sembelihan untuk berhala tidak mutlak. Konstruksi hukum ayat (2:173) adalah konstrusi yang open system, dibuka pintu untuk hal darurat, yaitu bagi mereka yang terpaksa (memakannya), sedang ia tiada aniaya dan tiada pula melampaui batas, maka tiada dosa atasnya.
Mengapakah, hai para manusia yang tidak maha mutlak, yang lemah, hamba Allah anggota MPR memproduksi kontruksi hukum yang mutlak-mutlakan!? Mengapakah hai para manusia yang tidak maha mutlak, yang lemah, hamba Allah yang muslim tidak secuilpun menoleh pada konstruksi hukum menurut Syari'at Islam, sehingga memproduksi kontruksi hukum yang mutlak-mutlakan!? Mengapakah Tap No.VII Psl.7, ayat (3), yang menyebutkan bahwa pergantian dan pengangkatan Kapolri oleh presiden harus mendapat persetujuan dari DPR tersebut tidak diberi anak kalimat? Yaitu seperti anak kalimat: namun barang siapa yang terpaksa (memakannya), sedang ia tiada aniaya dan tiada pula melampaui batas, maka tiada dosa atasnya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang seperti dalam ayat (2:173)?
Alhasil, andaikata Tap No.VII Psl.7, ayat (3) diberi anak kalimat seperti misalnya: Dalam keadaan sangat mendesak presiden dapat mengganti Kapolri yang akan dilaporkan kepada DPR kemudian, maka polemik dikhotomis konstitusional versus inkonstitusional yang menguras tenaga otak dan membingungkan masyarakat oleh pendapat yang bermacam-macam dari pihak legislatif, dari pihak eksekutif, dari para pakar, terlebih dari para pengamat yang jumlahnya bagai jamur di musim hujan, tidaklah perlu terjadi. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 1 Oktober 2000