Dalam rapat konsultasi Pimpinan DPR RI dengan Presiden Abdurrahman Wahid pada 11/10-2000, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan panjang lebar bahwa eksekutif tidak melakukan pelanggaran Tap MPR, dengan alasan ilmiyah bahwa menurut kaidah hukum tata negara pada prinsipnya Tap MPR no.VII belumlah sempurna untuk dilaksanakan. Maka Akbar Tanjung yang Ketua DPR sempat mengingatkan Yusril yang pakar Hukum Tata Negara itu, bahwa dalam rapat konsultasi itu tidak perlu didebatkan wacana akademis dari Tap MPR tersebut. Kita tidak sependapat dengan Akbar Tanjung menyepelekan waca akademis dalam lembaga tinggi negara itu. Demokrasi yang bertata cara suara terbanyak dalam proses pengambilan keputusan, apabila menyepelekan wacana akademis, akan menghasilkan keputusan politik yang bermutu rendah yang insya-Allah berpotensi konflik.
Coba bayangkan, dalam suatu desa terpencil di Irian Jaya mesti diputuskan dengan suara terbanyak dalam rapat untuk menerima atau menolak pendapat bahwa bumi itu berbentuk bola dan berpusing pada sumbunya, serta mengedari matahari. Maka dalam rapat itu ramailah suara yang menentang. Mana mungkin bumi mengedari matahari, itu bertentangan dengan kenyataan. Bumi ini tenang-tenang saja, mataharilah yang mengedari bumi, terbit di timur dan terbenam di barat. Bumi berbentuk bola berpusing pada sumbunya? Itu mustahil, bagaimana mungkin kepala kita sebentar menghadap ke atas, sebentar menghadap kebawah. Maka setelah dipungut suara secara demokratis hasilnya ialah menolak mentah-mentah pendapat tersebut. Bercermin pada ilustrasi tersebut, apakah para anggota lembaga tinggi negara yang terhormat itu sampai hati membuat keputusan politis yang menyepelekan wacana akademis?
***
Sebenarnya dahulukala orangpun berpendapat bahwa bumi diam dan merupakan pusat alam semesta. Matahari, bulan dan bintang-bintang mengedari bumi. Bumi dipayungi oleh bola langit yang memutari bumi. Pada bola langit itu melekat bintang-bintang, sehingga bintang-bintang itu ikut pula memutari bumi, serta jaraknya tetap antara satu dengan yang lain. Maka dinamakanlah bintang-bintang yang melekat pada bola langit itu dengan bintang-bintang "tetap". Di antara payung bola langit dengan bumi beredar secara bebas mengelilingi bumi, mulai yang terdekat hingga yang terjauh yaitu: bulan, Mercurius, Venus, matahari, Mars, Jupiter dan Saturnus. Karena benda-benda langit tersebut bergerak bebas, tidak melekat pada bola langit, maka jaraknya tidaklah tetap terhadap bintang-bintang tetap yang melekat pada bola langit itu. Orang Yunani menamakan kelima bintang itu dengan "planet", artinya musafir. Sebenarnya matahari dan bulan termasuk pula dalam kategori musafir, namun karena matahari dan bulan tidak dianggap bintang, maka matahari dan bulan tidaklah mendapatkan predikat planet.
Aristoteles (384 - 322) SM memberikan landasan "filosofis" tentang gerak benda-benda langit itu. Di langit serba indah, serba sempurna, demikian filosofi Aristoteles, maka gerak benda-benda langit itu adalah gerak lingkaran beraturan, karena gerak lingkaran beraturan adalah gerak yang paling indah dan sempurna. Hasil observasi menunjukkan bahwa bintang-bintang tetap itu memang menempuh gerak lintasan beraturan. Namun yang membuat masygul para astronom Yunani ialah gerak planet itu menentang filosofi Aristoteles, yaitu tidak mengikuti gerak lingkaran beraturan. Maka para astronom Yunani itu mengakali dengan membuat lingkaran tambahan. Setiap hasil observasi yang lebih teliti yang menyimpang dari filosofi Aristoteles, maka ditambah lagi satu ingkaran tambahan. Demikianlah ingkaran tambahan itu ditambah tiga sampai empat, supaya tidak menentang filosofi Aristoteles. Pada abad kedua Miladiyah Claudius Ptolemaeus membuat peta bintang-bintang berdasar fiolosofi Aristoteles. Karyanya itu disebutkannya dengan "Megale Syntaxis les Astronomius" (Rangkuman Besar Ilmu Bintang), yang setelah ditejemahkan ke dalam bahasa Arab disingkat menjadi Al Magest. Selama 14 abad di Eropa Al Magest ini merajai ilmu falak.
Ummat Islam setiap tahun sengaja maupun dengan sendirinya mengamati posisi hilal (bulan sabit) di atas ufuk setelah matahari terbenam. Pada bulan (syahr, month) pertama Ramadhan, bulan (qamar, moon) hampir-hampir tidak terlihat sangat dekat ufuk (horison), karena mata kita ataupun instrumen silau oleh sinar matahari yang baru terbenam. Pada bulan kedua Ramadhan tatkala matahari terbenam bulan sabit mulai jelas kelihatan karena sudah agak tinggi di atas ufuk. Bulan ketiga sudah lebih tinggi lagi, dan biasanya setelah liwat bulan kelima umumnya masyarakat tidak memperhatikan lagi posisi bulan sabit itu. Hasil pengamatan masyarakat Islam pada permulaan bulan Ramadhan itu menunjukkan bahwa bulan makin hari makin ketinggalan oleh matahari, karena matahari lebih cepat geraknya dari bulan. Matahari mengejar atau melambung bulan setiap 29 atau 30 hari. Dalam Israiliyat dikatakan bahwa YHWH pada mulanya menciptakan gelap kemudian terang, lalu dinamakanNya gelap itu dengan malam dan terang itu dengan siang, artinya malam mendahului siang.
Pada permulaan abad ke-7 Miladiyah Al Quran memberikan isyarat (translitersi huruf demi huruf):
-- LA ALSYMSY YNBGHY LHA AN TDRK ALQMR WLA ALYL SABQ ALNHAR WKL FY FLK YSBHWN (S.YS, 40), dibaca: lasy syamsu yambaghi- laha- an tudrikal qamara walal laylu sa-biqun naha-ri wa kullum fi- falakin yasbahu-n (s.ya-sin), artinya: matahari tidak seyogianya mengejar bulan dan malam tidaklah mendahului siang, tiap-tiap sesuatu berenang dalam falaknya (36:40).
Isyarat Al Quran dalam ayat (36:40) itu tidak dapat diungkap apabila memakai paradigma filosofi Aristoteles dan Israiliyat. Umar Khayyam (meninggal 1123 Miladiyah), yang lebih terkenal di barat sebagai penyair, yang sebenarnya adalah matematikus dan ahli falak, rupanya memfokuskan perhatiannya pada isyarat ayat (36:40). Selama bumi dianggap diam, selama itu pula matahari mengejar bulan. Ia tiba kepada kesimpulan bahwa bumilah yang mengedari matahari dan matahari berlari pula pada jalurnya (translitersi huruf demi huruf):
-- WALSYMSY TJRY LMSTQR LHA (S.YS, 38), dibaca: wasysyamsu limustaqarrin laha- (s.ya-sin), artinya: dan matahari berlari pada jalurnya. Karena masing-masing berenang dalam falaknya, bulan mengedari bumi, bumi mengedari matahari dan matahari berlari pada jalurnya, maka tidaklah wajar dikatakan matahari mengejar bulan. Demikianlah Umar Khayyam mendahului Niklas Koppernigk (1473 - 1543) mengenai perihal bumi mengedari matahari. Karena publikasi, maka Koppernigk lebih dikenal dari Umar Khayyam, seperti Darwin lebih dikenal dari Lamarck dan RA Kartini lebih dikenal dari Malahayati panglima angkatan laut Aceh pada abad ke-16. Perihal Israiliyat malam mendahului siang dan Koppernigk akan dibicarakan nanti insya-Allah dalam seri yang berjudul Tata Surya. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 15 Oktober 2000