Sebelum kita bicara lebih lanjut akan dikemukakan dahulu sebuah nama makanan tradisional yang disebut poteng (Makassar), atau peuyeum (Sunda). Asal tahu saja bahwa vokal kembar eu hanya dikenal dalam lidah "bangsa" (baca: etnik) Sunda dan "bangsa" Aceh. Poteng atau peuyeum berasal dari singkong yang difermentasi oleh ragi. Apabila sepasang tangan jahil menaruh ragi itu bukan pada tempat yang biasa, akan tetapi dicelupkan dahulu ke dalam lemak babi, baru dipakai meragi singkong, apa yang akan terjadi? Singkong itu demikian pula poteng atau peuyeum itu telah tercemar (bahasa krennya: terkontaminasi) bercampur lemak babi, oleh karena ragi itu sebelumnya telah "berkubang" dalam lemak babi. Seekor kerbau berkubang semua kena luluk (lumpur)-nya. Perlu dicatat bahwa dilihat dari kacamata reaksi kimiawi, lemak babi itu tidak berpartisipasi dalam proses fermentasi itu. Karena lemak babi itu haram, maka semua yang telah dicampuri oleh lemak babi itu haram pula yaitu dalam hal ini singkong, ragi dan poteng atau peuyeum sebagai hasil akhir juga telah menjadi haram. Jadi haramnya poteng atau peuyeum dalam hal ini tidaklah dilihat dalam hal proses fermentasi, tidak dilihat dari segi proses rekasi kimia, melainkan murni dari segi ilmu fisika bercampurnya lemak babi dengan singkong dan poteng yang dibawa oleh ragi yang telah berkubang dengan lemak babi masuk ke dalam sistem proses produksi.
***
Saya lupa namanya anak buah AS Hikam yang memberikan penjelasan "ilmiyah" di media elektronik, yang pada pokoknya mengatakan bahwa tidak ada reaksi kimia lemak babi dalam proses fermentasi tetes tebu menjadi MSG oleh bakteri yang sebelumnya dikultur (dibiakkan, ditanam, pen.) dalam lemak babi. Saya juga lupa mencatat nama official dari pabrik Ajinomoto yang yang diberitakan oleh media elektronik yang mengaku bahwa memang pada bulan Juni 2000 medium tempat bakteri dibiakkan telah diganti dengan lemak babi karena ongkosnya lebih murah.
Salah satu nilai dari apa yang disebut dengan "ilmiyah" ialah ketelitian, dan ini telah dipenuhi oleh anak buah AS Hikam, yaitu telah meneliti bahwa tidak ada rekasi kimia dengan lemak babi dalam proses produksi MSG dari aji punya moto alias aji no moto. Akan tetapi harus diingat bahwa ketelitian walaupun perlu namun belum cukup. Ada nilai yang dilupakan atau sengaja dilupakan oleh anak buah AS Hikam, yaitu nilai kritis dan komprehensip. Anak buah AS Hikam dalam berilmiyah MSG tersebut, ia ibarat kuda bendi yang terhalang melihat kiri kanan, menjadilah ia tidak kritis karena yang dilihatnya hanyalah disiplin ilmu kimia melulu. Karena ia tidak kritis maka juga menyebabkan ia tidak bertindak komprehensip. Ia lupa atau sengaja melupakan bahwa ilmu kimia bukan satu-satunya disiplin ilmu. Ia melupakan atau sengaja melupakan ilmu fisika dan ilmu kias (analogi). Alhasil penjelasan anak buah AS Hikam itu belumlah mencukupi persyaratan untuk dikatakan ilmiyah. Ia mengelabui (kalau tidak boleh dikatakan menipu) masyarakat dengan label ilmiyah.
Kalau diterapkan analogi dan disiplin ilmu fisika dalam pembuatan poteng dari singkong terhadap proses produksi MSG dari aji punya moto, maka: "singkong" dikiaskan pada "tetes tebu", 'ragi' yang dicelup dalam lemak babi dikiaskan pada 'bakteri' yang ditanam dalam lemak babi, =>poteng<= atau peuyeum dikiaskan pada =>MSG<=. Bercampurnya lemak babi dengan singkong dan poteng yang dibawa oleh ragi yang telah berkubang dengan lemak babi dikiaskan pada bercampurnya lemak babi dengan tetes tebu dan MSG yang dibawa masuk oleh bakteri yang telah berkubang di dalam lemak babi.
Alhasil haramnya aji punya moto tidak dilihat dari segi proses rekasi kimiawi, melainkan dari segi ilmu fisika, yaitu bercampurnya tetes tebu dan MSG dengan lemak babi yang dibawa masuk oleh bakteri.
Maka Gus Dur tidak boleh berijtihad menghalalkan aji punya moto dengan memakai qaidah: menghindarkan yang mudharat lebih diprioritaskan ketimbang menarik manfaat, oleh karena MSG dari aji punya moto ini jelas-jelas haram dilihat dari segi ilmu fisika. Gus Dur, kita ingatkan: ALHLAL BYN WALHRAM BYN. Lagi pula Gus Dur, menurut undang-undang yang berhak mengatakan halal dan haram di Indonesia ini adalah MUI. Kita sangat menyesalkan Gus Dur dengan buah pikirannya yang kontra-produktif itu menambah seteru lagi, yaitu di samping berseteru dengan lembaga DPR, kini menambah seterunya lagi dengan lembaga MUI. Dan juga mencela buah pikiran Gus Dur yang mengatakan bahwa kasus haramnya MSG Ajinomoto itu adalah bukan persoalan agama melainkan persoalan politik.
Terhadap produk MSG dari aji punya moto sebelum Juni 2000 termasuk dalam kategori syubhat, tersamar, was-was, meragukan. ALHLAL BYN WALHRAM BYN WBYN HMA MTSYABHAT, dibaca: al hala-lu bayyinun, wal hara-mu bayyinun, wabayna huma- mutasya-biha-t, artinya yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya adalah syubhat. Syari'at Islam menuntun ummat Islam supaya menghindarkan diri dari yang syubhat. Firman Allah SWT: (transliterasi huruf demi huruf demi keotentikan):
-- FAMA ALDZYN FY QLWBHM ZYGH FYTB'AWN MA TSYABH MNH ABTGHA^ ALFTNT WABTGHA^ TA^WYLH (S. AL 'AMRAN, 7), dibaca: fa ammal ladzi-na fi- qulu-bihim zayghun fayattabi'u-na ma- tasya-baha minhub tigha-al fitnati wabtigha-a ta'wi-lih (s. ali 'imra-n), artinya: adapun orang-orang yang miring qalbunya, maka diikutinya apa-apa yang mutasyabihat, karena menghendaki fitnah dan mencari-cari takwilnya (3:7).
Maka sudah tepatlah semua produk MSG dari Ajinomoto supaya ditarik dari pasaran. Dan lebih tepat lagi jika izin Ajinomoto dicabut, karena sekali lancung keujian, seumur hidup orang takkan percaya lagi. Ajinomoto sudah lancung keujian, yaitu menipu, menempelkan label halal pada kemasannya, pada hal MSG tersebut ternyata haram. Penipuan itu diakui sendiri oleh salah seorang officialnya, yang seperti dituliskan diatas mengaku bahwa memang pada bulan Juni 2000 medium tempat bakteri dibiakkan telah diganti dengan lemak babi karena ongkosnya lebih murah. Menghindarkan yang mudharat yaitu melindungi ummat Islam makan yang syubhat, lebih diprioritaskan ketimbang menarik manfaat investasi Ajino-moto dan PMA. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 14 Januari 2001