Pembuktian Terbalik yang dikemukakan Gus Dur dalam mengantar jawabannya sebelum dibacakan oleh Baharuddin Lopa, disambut seperti biasa yang terjadi dalam era reformasi ini, yaitu pro dan kontra. Bahkan ada seorang anggota DPR (kalau saya tidak salah lihat itu yang menyela sebelum Akbar Tanjung menutup Siple) kepada wartawan di luar ruangan secara impulsif kurang lebih ujarnya seperti berikut (aw qama- qa-la): "Apa perlunya Gus Dur mengemukakan Pembuktian Terbalik dalam sidang DPR, bukankah itu dalam forum Lembaga Politik?" Lupa barangkali, atau anggota DPR yang terhormat itu bahkan tidak tahu, bahwa menelurkan undang-undang itu adalah keputusan politik. Berikut ini adalah cu(ng)kilan dari Seri 120, 313, dan 332 tentang dari mana engkau mendapatkan ini:
***
Perselisihana antara Nuku dengan Wieling perihal atas tersangka harus membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah, betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi perang yang tidak dimaklumkan pada tahun 1805. Nuku adalah Sultan Tidore yang membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni Belanda (de drie Oostersche Provintien van Gouvernementen): Ternate, Ambon dan Banda. Nama lengkapnya: Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram.
Syahdan, 2 orang penghuni istana, yaitu dayang-dayang puteri Boki Fatimah yang bernama Sulasi dan Barunarasa mencuri emas, intan-berlian puteri itu dan melarikan diri ke Ternate. Nuku bersurat kepada Wieling, Gubernur Ternate, pada 28 Muharram 1220 (18 April 1805) supaya kedua tersangka itu diextradisikan ke Tidore. Wieling menolak permintaan extradisi itu, oleh karena kedua orang itu adalah penduduk Ternate, bukan penduduk Tidore, jadi tidak tergolong di bawah jurisdictie kerajaan Tidore (en dus in geen opzigte tot de Jurisdictie van het Tidorische Rijk behooren). Nuku dapat memahami itu, namun yang Nuku tidak mau mengerti ialah bahwa hasil pengadilan Belanda di Ternate menyatakan kedua tersangka tidak bersalah karena penuntut tidak dapat membuktikan kesalahan mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah apabila tidak dapat dibuktikan kesalahannya, yakni asas praduga tak bersalah.
Sedangkan dalam Kerajaan Tidore sejak Kolano Kaicil Cire yang mula pertama masuk Islam (1450) berlaku hukum acara sesuai dengan yang diletakkan asasnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA: Annay laka hadza, dari manakah engkau mendapatkan ini, tersangka harus membuktikan kebersihan dirinya. (Seri 120, 20 Maret 1994)
Catatan: Sulthan Said alJihad Tuan Barakat, Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka dan Tuanku Tambuseh, ketiganya secara bersamaan diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
***
Setiap kali Nabi Zakaria AS, yang mengasuh dan membesarkan Maryam binti 'Imran, masuk ke mihrab senantiasa telah tersedia makanan di hadapan Maryam. Bertanyalah Nabi Zakaria AS: YaMaryamu Annay Laki Hadza- Qa-lat Huwa min 'indi Llahi (S. Ali 'Imra-n, 3:37), hai Maryam, dari manakah engkau mendapatkan ini, berkata (Maryam) ia dari sisi Allah. Tatkala 'Umar ibn Khattab RA menjadi Khalifah, ia memperkembang pertanyaan Nabi Zakaria AS Annay Laka Hadza. Pertanyan tersebut ditujukan Khalifah 'Umar kepada umara, yaitu para aparatur negara. Khalifah 'Umar mengharapkan (dan harapannya itu terkabul) bahwa seluruh aparat memberikan jawaban yang sama dengan jawaban Maryam, bahwa kekayaan para aparatur itu adalah rezeki yang halal dari Allah SWT, bukan harta yang haram dari setan.
Bahkan pertanyaan dari manakah engkau mendapatkan ini, pernah pula ditujukan kepada Khalifah 'Umar sendiri oleh seorang rakyat biasa. Yaitu tatkala 'Umar baru mulai angkat bicara di hadapan rakyatnya, lalu diinterupsi oleh salah seorang dari majelis (audience): "Hai 'Umar saya tidak mau mendengarkan bicaramu sebelum engkau menjelaskan dari mana asalnya kain yang engkau jadikan jubbah yang engkau pakai itu. "Tubuh 'Umar besar tinggi, sehingga tidak mungkin kain pembagian yang dibagi rata akan dapat menutupi seluruh tubuh 'Umar setelah menjadi jubbah. Mendengar interupsi itu Khalifah 'Umar tidak marah, ia hanya minta kepada anaknya untuk menjawabkannya. Maka berdirilah 'Abdullah memberikan penjelasan: "Jatah pembagian kain untuk saya, saya berikan kepada ayah saya." (Seri 313, 8 Maret 1998).
***
Dalam hal korupsi dan kolusi terlalu banyak menguras tenaga jaksa untuk membuktikan tersangka melakukan tindak pidana. Apapula jika dokumen-dokumen barang bukti sempat dibakar hangus oleh oleh tersangka bersama kaki tangannya. Alhasil dengan pembuktian terbalik ini jaksa tidak perlu khawatir akan dibakar hangusnya dokumen-dokumen barang bukti sebab jaksa tidak perlu akan barang bukti tersebut, berhubung bukan lagi jaksa yang harus membuktikan tindak pidana korupsi dan kolusi, melainkan pembuktian itu harus dilakukan oleh terdakwa dalam sidang pengadilan. Jaksa cukup hanya menyodorkan data kekayaan terdakwa dalam siang pengadilan. Demikianlah proses itu menjadi efisien dan efektif. Kejaksaan dan pengadilan dapat menangani kasus korupsi dan kolusi dengan cepat, sehingga dapat menyelesaikan lebih banyak kasus korupsi dan kolusi.
Dalam hal ini perlu ada sinkronisasi dengan UU tentang keanggotaan lembaga-lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara, supaya tidak ada ketentuan dalam lembaga-lembaga tersebut, bahwa para anggotanya tidak boleh dipanggil oleh lembaga kejakassan tanpa izin. (Seri 332, 26 Juli 1998)
***
Kami menghimbau kepada anak-anakku mahasiswa yang dalam organisasi manapun baik yang intra maupun yang extra universiter, LSM-LSM, utamanya dari jenis Corruption Watch membantu kejaksaan mengumpul data kekayaan yang patut diduga ber-KKN, jika Perpu tentang Pembuktian Terbalik telah diberlakukan. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 8 April 2001