5 Agustus 2001

486. Shalat Fardhu dan Tahajjud

Shalat ternyata tak hanya membuat seseorang yang melakukannya mendapatkan tempat (maqam) terpuji di sisi Allah, tetapi juga sangat penting bagi dunia kedokteran.

Firman Allah SWT:
-- AQM ALSHLWT LDLWK ALSYMS ALY GHSQ ALYL WQRAN ALFJR AN QRAN ALFJR KAN MSYHWDA. WMN ALYL FTHJD BH NAQLT LK 'ASY AN YB'ATSK RBK MQAMA MHMWDA (S. BNY ASRA@YL 78-79), dibaca: Aqimish shala-ta lidulu-kisy syamsi ila- ghasikil layli waqur.a-nal fajri inna qur.a-nal fajri ka-na masyhu-dan. Waminal layli fthajjad bihi- na-filatal laka 'asa- ay yab'atsaka maqa-mam mahmu-dan (s. bani- isra-i-l), artinya: Dirikanlah shalat dari condong matahari sampai gelap malam dan Quran fajar (shalat subuh), sesungguhnya Quran fajar itu dipersaksikan. Pada malam hari hendaklah engkau bertahajjud sebagai tambahan untuk engkau, mudah-mudahan Maha Pemeliharamu mengangkat engkau ke tempat yang terpuji (17:78-79).

Dalam posisi berdiri, duduk dan tidur terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia yang tidak dimasuki oleh darah. Darah hanya akan memasuki urat saraf termaksud di dalam otak seseorang apabila ia meletakkan kepalanya pada posisi yang paling rendah. Urat saraf tersebut memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Lamanya sujud dalam shalat fardhu 5 kali sehari semalam yang di wajibkan oleh Syari'at Islam (Aqimish shala-ta lidulu-kisy syamsi ila- ghasikil layli waqur.a-nal fajri), sudah cukup memberi kesempatan bagi darah mengalir masuk ke dalam urat saraf termaksud.

Menurut Mohammad Sholeh, dosen IAIN Surabaya, dalam desertasinya yang berjudul "Pengaruh Shalat Tahajjud terhadap peningkatan Perubahan Response ketahanan Tubuh Imunologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi", jika shalat tahajjud dilakukan secara kontinu, tepat gerakannya, khusuk dan ikhlas, secara medis shalat itu menumbuhkan respons ketahannan tubuh, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi (coping). Dengan desertasi itu, Sholeh berhasil meraih gelar doctor dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pasca Sarjana Unair, Surabaya.

Selama ini, menurut Saleh, orang hanya melihat masalah ikhlas ini sebagai persoalan mental psikis. Namun sebetulnya soal ini dapat dibuktikan dengan tekhnologi kedokteran. Ikhlas yang selama ini dipandang sebagai misteri, dapat dibuktikan secara kuantitatif melalui sekresi hormon kortisol. Parameternya dapat diukur dengan kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya antara 38-690 nmol/liter. Sedang pada malam hari-atau setelah pukul 24:00 normalnya antara 69-345 nmol/liter. "Kalau jumlah hormon kortisolnya tidak normal, diindikasikan orang itu tidak ikhlas karena tertekan. Begitu sebaliknya.

Sholeh mendasarkan temuannya itu melalui satu penelitian terhadap 41 responden siswa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Dari 41 siswa itu, hanya 23 yang sanggup bertahan menjalankan shalat tahajjud selama sebulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan shalat tahjjud selama dua bulan. Shalat dimulai pukul 02-00-3:30 sebanyak 11 rakaat, masing masing dua rakaat empat kali salam plus tiga rakaat. Selanjutnya, hormon kortisol mereka diukur di tiga laboratorium di Surabaya (Paramita, Prodia dan Klinika). Hasilnya, ditemukan bahwa kondisi tubuh seseorang yang rajin bertahajjud secara ikhlas berbeda jauh dengan orang yang tidak melakukan shalat tahajjud. Mereka yang rajin dan ikhlas bertahajjud memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan individual untuk menaggulangi masalah-masalah yang dihadapi dengan stabil.

Jadi shalat tahajjud selain bernilai ibadah, juga sekaligus sarat dengan muatan psikologis yang dapat mempengaruhi kontrol kognisi. Dengan cara memperbaiki persepsi dan motivasi positif dan coping yang efectif, emosi yang positif dapat menghindarkan seseorang dari stress.

Menurut Sholeh, orang stress itu biasanya rentan sekali terhadap penyakit kanker dan infeksi. Dengan shalat tahajjud yang dilakukan secara rutin dan disertai perasaan ikhlas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki respons imun yang baik, yang kemungkinan besar akan terhindar dari penyakit infeksi dan kanker, serta membuat orang mempunyai ketahanan tubuh yang baik. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 5 Agustus 2001