12 Agustus 2001

487. SunnatuLlah dan Kun fa Yakuwn

Demi keotentikan, sebagai pertanggung-jawaban kepada Allah SWT, dalam kolom ini setiap ayat Al Quran ditransliterasikan huruf demi huruf. Bila pembaca merasa "terusik" dengan transliterasi ini, tolong dilampaui, langsung ke cara membacanya saja.

Upaya melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan dengan mempergunakan "batu pelempar" Bulog-Brunei Gate dibayar dengan harga mahal (baca: social cost). Sesungguhnya DPR = MPR terlambat satu tahun dalam bertindak, dan itulah yang menyebabkan social cost pelengseran itu menjadi tinggi. Mengapa setahun terlambat? Dalam Seri 417 termaktub: "Tatkala memberikan sambutan pada pembukaan Kongres PDIP di Semarang Gus Dur mengatakan antara lain bahwa Pemerintah jangan diperalat untuk melarang komunisme. Sesungguhnya Gus Dur tidak boleh berkata demikian, karena Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 serta UU No.27 thn 1999 menegaskan PKI sebagai partai terlarang, melarang penyebaran ajaran komunisme, leninisme dan marxisme, serta pelanggaran terhadap larangan itu adalah tindak pidana. Maka Pemerintah berkewajiban melarang penyebaran komunisme, leninisme dan marxisme."

Tidak mau melaksanakan Tap MPR serta tidak mau menjalankan UU, itu berarti melanggar sumpah jabatan. "Batu pelempar" yang bersifat ideologis tersebut sangat jelas lebih berat ketimbang "batu pelempar" yang hanya sekadar bersifat patut diduga secara politis. Keterlambatan Presiden Megawati menyusun kabinet termasuk dalam antara lain social cost termaksud, berhubung banyak sekali yang merasa berjasa melengserkan Gus Dur dalam waktu bilangan bulan itu. Menagih imbalan jasa itu manusiawi, itu termasuk SunnatuLlah.

***

Pada hari Sabtu 28 Juli 2001 dalam mujadalah (diskusi) rutin bulanan oleh DPP IMMIM mengambil thema: "Penggunaan Ilmu Tenaga Dalam Menurut Syari'at Islam". KH Bakri Wahid dalam makalahnya antara lain mengatakan bahwa pada hakikatnya semua orang mempunyai tenaga dalam, hanya ada orang yang tidak mengetahui serta tidak merasakannya dan tidak pula dapat menggunakannya. Sebab tenaga dalam tersebut masih mengeram dalam diri setiap orang dan belum terbentuk sama sekali. Tenaga ini baru akan terbentuk apabila dibangkitkan. Cara membangkitkannya yang paling tepat adalah dengan jalan melatih pernafasan teratur dan terarah. Tenaga dalam itu dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti bela diri, pengobatan, sihir dan hipnotisme.

Penggunaan tenaga dalam untuk bela diri dan pengobatan tentu diperbolehkan menurut Syari'at Islam, sedangkan untuk sihir dilarang. Akan halnya hipnotisme itu tergantung, diperbolehkan oleh Syari'ah jika untuk kebaikan seperti misalnya untuk menghilangkan rasa nyeri bagi orang yang dibedah, namun dilarang jika untuk mengambil emas penumpang peteppete'.

Dalam mujadalah itu saya kemukakan bahwa membangkitkan tenaga dalam dengan membaca mantera yang ditutup dengan KalimatuLlah: "Kun fa Yakuwn", itu sangat terlarang. Firman Allah:
-- ANMA AMRH ADZA ARAD SY.Y@A AN YQWL LH KN FYKWN (S. YS, 82), dibaca: Innama- amruhu- idza- ara-da syay.an ay yaqu-la lahu- kun fayaku-n (s. ya-sin), artinya: Sesungguhnya urusanNya bila Ia menghendaki sesuatu Ia berkata kepadanya: jadilah, maka menjadilah ia (36:82). Maka menurut ayat (36:82), kalimah Kun fa Yakuwn adalah Hak Prerogatif Allah SWT.

Dalam mujadalah itu ada yang membantah dengan pertanyaan: Semua dalam Al Quran dapat kita ambil yang kita inginkan. Kalau kita mengambil kalimah Kun fa Yakuwn kemudian kita yakinkan itu akan terjadi apakah kita musyrik? Saya jawab lebih dari musyrik. Seorang yang musyrik, walaupun mempertuhankan selain Allah, ia masih mengaku hamba Allah. Tetapi mengambil Hak Prerogatif Allah, na'u-dzu biLlah, itu berarti bertindak seperti Fir'aun, menganggap dirinya Tuhan. Oleh sebab itu buang semua itu mantera-mantera walaupun itu mendatangkan kekebalan. Memang dapat saja terjadi dengan keyakinan pada mantera dapat berkonsentrasi hingga terbangkit tenaga dalam yang menjadikan orang kebal. Buat apa kebal kalau bertindak seperti Fir'aun, mengambil Hak Prerogatif Allah, na'u-dzu biLlah min dza-lik.

Insya Allah, dalam seri berikut, saya akan menulis tentang AmruLlah, SunnatuLlah dan TaqdiruLlah. Yaitu hasil mujadalah kecil-kecilan dengan Fuad Rumi, pada waktu selesai dengan pertemuan KPPSI beberapa bulan lalu. Saya telah minta idzin kepada Fuad Rumi pada hari Sabtu 28 Juli 2001 dalam mujadalah di IMMIM tersebut, untuk menuliskannya dalam kolom ini. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 12 Agustus 2001