Telah diturunkan dari ayat (32:5) pada hari Seri 508 yang lalu konstanta cosmic affair U ≈ 299792,4989 km/detik, yang invarian (tidak terpengaruh) terhadap semua sistem koordinat.
Data yang diperoleh menurut ilmu fisika ekperimental:
- Weber dan Kohlrauch (1856) C ≈ 310000 km/detik,
- Curtis (1929) C ≈ 299790 km /detik,
- Froome (1952) C ≈ 299792 km/detik,
- the US National Bureau of Standards, C ≈ 299792,4574 ± 0,0011 km/detik,
- the British National Physical Laboratory, C ≈ 299792,4590 ± 0,0008 km/detik
(C adalah laju cahaya di tempat vakum).
Maka konstante C itu identik dengan konstante U ≈ 299792,4989 km/detik, yaitu laju semua cosmic affairs seperti laju cahaya, laju semua jenis gelombang elektro-magnet, laju gelombang gravitasional, laju semua partikel yang melaju seperti neutrino, dll yang belum didapatkan (discovered), yang melaju merambat di langit di seantero cosmos, ya, seluruh cosmos affairs.
Firman Allah: TNZL ALMLaKt WALRWh FYHA BADZN RBHM MN KL AMR (S. ALQDR, 4), dibaca: tanazzalul mala-ikatu warru-hu fi-ha- biidzni rabbihim ming kulli amrin, artinya: Turun para malaikat dan ruh pada malam itu dengan izin Maha Pengatur mereka untuk setiap urusan.
Dalam Seri 508 kita bertitik tolak dari ayat: YDBR ALAMR MN ALSMAa ALY ALARDH TSM Y'ARJ FYH FY YWM KAAN MQDARH ALF SNT MMA T'ADWN (S. ALSJDT, 5), dibaca: Yudabbirul amra minas sama-i ilal ardhi tsumma ya'ruju ilayhi fi- yawming ka-na miqda-ruhu- alfa sanatin mimma- ta'uddu-n (s. as sajadah), artinya (Dia) mengatur urusan dari langit sampai ke bumi, kemudian naik kepadaNya dalam hari yang kadarnya seribu tahun dari apa yang kamu hitung.
Dengan mengaitkan kedua ayat ini, yaitu para malaikat dan ruh turun ke bumi mengatur urusan ming "kulli amrin" dengan "al amru minas sama-i", ada urusan dari langit dengan laju cahaya yang dibawa oleh malaikat, maka malaikat itu adalah sejenis cahaya, seperti yang telah dijelaskan oleh Sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa malaikat itu dari sejenis cahaya.
***
Dalam Seri 143 antara lain disebutkan, bahwa dalam fisika klasik pada tahun 1690 Huygens berteori cahaya itu adalah gerak gelombang yang menjalar pada zat perantara hipothesis, yang disebutnya aether. Perkara dianggapnya teridentifikasi riak aether berupa medan elektromagnet, membangkitkan minat orang kembali untuk mengingat gagasan sistem koordinat mutlak dari Newton. Bukankah aether inilah yang dicari-cari oleh Newton, yang dihipothesekan oleh Huygens sebagai zat yang walaupun beriak, namun diam di tempat secara mutlak. Maka tahun 1881 Michelson mengadakan experimen, yang diulanginya kembali tahun 1887 bersama-sama dengan Morley, sehingga percobaannya itu dinamakan experimen Michelson - Morley. Tujuan experimen dengan alat yang disebut interferometer ingin mengetahui berapa kecepatan bumi terhadap aether. Hasil percobaan itu diluar dugaan: Bumi sama sekali tidak bergerak terhadap aether. Para pakar fisika terperanjat, kecewa bahkan ada yang kebingungan ingin kembali ke faham lama, geosentris, bumi sebagai pusat alam. Menjelang akhir abad ke-19 ilmu fisika menemui jalan buntu (impasse).
Selama seperempat abad dunia ilmu fisika gelap. Tahun 1905 muncullah Einstein di panggung ilmu fisika. Menurut Einstein penyebab kebuntuan itu adalah postulat menurut pandangan lama, yang seperti berikut: Interval ruang dan waktu sifatnya mutlak, tidak tergantung dari sistem yang diobservasi.
Menurut Einstein pandangan itu harus diubah menjadi: (1) Kecepatan cahaya invarian, tidak terpengaruh oleh gerak sistem yang diobservasi. (2) Ruang dan waktu relatif, tergantung pada keadaan gerak sistem yang diobservasi.
Dengan berlandaskan pada postulat yang baru itu, maka percobaan Michelson-Morley itu sudah seharusnya demikian, karena kecepatan cahaya itu tidak terpengaruh oleh keadaan gerak bumi, ataupun gerak benda langit yang manapun juga. Kedua postulat itulah yang melandasi Teori Relativitas Khusus (1905) dari Einstein.
Postulat Einstein ini telah dapat diIslamkan menjadi Islamic Science, dengan merujukkannya pada "cosmic affair" (U) dalam ayat (32:5). Artinya cahaya itu invarian, sudah bukan postulat lagi, melainkan sudah menjadi TaqdiruLlah, karena telah mendapat pengesahan dari ayat (32:5).
***
Finkelstein berteori tentang zarrah hypothesis yang disebutnya tachyon. Kalau laju tachyon di bawah laju cahaya C, maka massanya dalam keadaan maya (imajiner), ia tidak berada dalam alam syahadah. Barulah tachyon itu hadir di alam syahadah apabila lajunya di atas laju cahaya. Jadi zarrah tachyon lain sekali sifatnya dari zarrah yang menyusun tubuh manusia dan materi lainnya di alam syahadah ini. Zarrah tachyon ini dalam klasifikasi Asy'ari tergolong dalam kategori mungkin. [Abu alHasan 'Ali alAsy'ari (873 - 935) peletak dasar Ilmu Kalam (theology) golongan Ahlussunnah membangun metode pendekatan beralatkan mata pisau analisis yang mengerat substansi dan fenomena ke dalam tiga klasifikasi: wajib, mungkin, mustahil].
Namun walaupun menurut klasifikasi Asy'ari tachyon termasuk dalam kategori mungkin, hingga kini terdapat kesulitan dalam mendeteksi tachyon ini, oleh karena zarrah tachyon ini belumlah terdeteksi oleh instrumen Sebuah benda terdeteksi oleh mata ataupun instrumen karena sinyalnya yang berupa gelombang medan elektromagnet menyentuh mata ataupun instrumen. Sinyal medan itu tidak lain adalah cahaya. Karena benda itu semuanya bergerak di bawah kecepatan cahaya, maka sinyal medan akan lebih dahulu menyentuh mata atau instrumen, barulah kemudian menyusul bendanya. Lain halnya tachyon. Zarrah ini lebih dahulu menyentuh instrumen baru menyusul sinyal medannya. Kemampuan secular science hanya sampai di sini.
Di sinilah letak kelebihan Islamic Science, karena menurut Islamic Science upaya untuk mentest keberadaan tachyon itu masih terbuka, yaitu dengan merujukkannya pada ayat Qawliyah (Al Quran), yaitu ayat (70:4) yang sudah dituliskan dalam Seri 508 yang lalu. Kita ulang sekali lagi menulisnya dalam seri ini: T'ARJ ALMLaKT W ALRWH ALYH FY YWM KAN MQDARH KHMSYN ALF SNT (S. AL M'AARJ, 4), dibaca: Ta'rujul mala-ikatu war ru-hu ilayhi fi- yawming ka-na miqda-ruhu- khamsi-na alfa sanatin (al ma'a-rij), artinya: Malaikat-malaikat dan ruh naik kepadaNya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun (70:4).. Artinya malaikat-malaikat yang tidak bertugas ming kulli amrin, naik kepadaNya dengan laju 50 kali dari "cosmic affair"., yaitu = 50 U. Dengan demikian eksistensi tachyon dibenarkan oleh hasil test yang dirujukkan pada ayat (70:4), yaitu ada yang dapat melebihi laju U = C. Namun tachyon ini tidaklah invarian terhadap sistem koordinat. Kalau laju tachyon itu <> laju cahaya = C. . Namun perlu diingat, bahwa eksistensi tachyon ini tidaklah mutlak benarnya, ia berada dalam klasifikasi mungkin menurut klasifikasi Abu alHasan 'Ali alAsy'ari. Yang jelas eksistensi tachyon itu tidak boleh ditolak hanya dengan alasan karena ia dapat melaju melebihi laju cahaya. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 27 Januari 2002
----------------------------
(*) [Definition of Tachyon: A hypothetical particle that has a speed in excess of the speed of light. According to electromagnetic theory, a charged particle traveling through a medium at a speed in excess of the speed of light in that medium emits Cerenkov radiation. A charged tachyon would emit Cerenkov radiation even in a vacuum. No such particle has yet been detected. According to the special theory of relativity, it is impossoble to accelerate a particle upto the speed of light because its energy would have to become infinite. The theory, however, does not forbid the existence of particles with speedgreater than the speed of light in a vacuum. In such cases, the energy of the particle would be imaginary, according to the equations of special theory relativity].
In 1967 publiceerde Gerald Feinberg, professor voor theoretische fysica aan de Columbia Universiteit in New York in het wetenschappelijke vakblad "Physical Revieuw" zijn tachyonen-theorie. (Tachyon komt van het Griekese woord tachys dat snel betekent).