3 Februari 2002

510. Nahi Mungkar yang Efektif dengan Penegakan Syari’at Islam

Ketiga kasus di bawah ini adalah kisah nyata dalam bernahi mungkar.

Kasus pertama: Allahu yarham Ahmad Makkarausu’ Amansyah Dg Ngilau, salah seorang tokoh karismatik Muhammadiyah, pernah menuturkan: Ada seorang muballigh muda yang masih penuh semangat pergi bertabligh di daerah Turatea. Begitu turun dari mimbar datang panggilan dari kepala distrik untuk datang ke kantornya. “Harangi bedeng nukana balloka? E anu alle maenrinni balloka” (konon kau katakan tuak itu haram? Hai anu bawa kemari itu tuak). “Anne alle je’ne’ balloka” (Ini mandilah dengan tuak ini), kata kepala distrik sambil mengguyurkan tuak itu keseluruh badan muballigh itu. Inilah konsekwensi yang dipikul oleh muballigh muda itu untuk bernahi mungkar dengan lisan (bilisa-nihi-). Ini terjadi sebelum Perang Dunia kedua, tahun 30-han.

Kasus kedua: Nahi mungkar ini kejadian di Selayar, juga pada tahun 30-han, yang dikorek dari ingatan saya sendiri. Ada yang melapor kepada kakek saya, Opu Tuan Imam Barat Batangmata, ada pesta minum tuak di sebuah kebun di atas bukit di luar kampung. Dengan segera Opu Imam mendatangi tempat itu seorang diri. Bila-bila (tempat tuak) yang masih berisi tuak dihempaskan beliau, kemudian menantang: “Inai ngeha nrinni” (siapa berani melawan di sini). Kata “ngeha” ini pernah dipopulerkan oleh Bupati Sinjai Moh. Rum, mensosialisasikan di kalangan masyarakat Kabupaten Sinjai seruan Gubernur “ewako” menjadi “ngehako”. Para peminum itu tidak ada yang berani, karena Opu Imam tersohor pesilat yang tidak jarang membabak-belurkan beberapa pasolle’ kabarra-barra (istilah sekarang: preman kondang). Setelah menumpahkan habis tuak itu barulah Opu Imam berkata: “Tuak itu haram, berhentilah minum tuak.” Opu Imam berhasil bernahi mungkar single handed dengan tangan (biyadihi-), dengan terlebih dahulu “menegakkan” wibawa.

Kasus ketiga: Pada bulan Ramadhan 1421 H setahun yang lalu Lasykar Jundullah dipimpin oleh komandannya sendiri Agus Dwikarna mempergoki sebuah night club di Jalan Rusa melanggar ketentuan jam-operasi. Segera hal itu dilaporkannya ke polisi. Sementara menunggu polisi datang, Lasykar Jundullah membuat pagar betis menjaga agar para pengunjung club itu tetap di tempat. Sebab dikuatirkan club itu nanti telah kosong baru polisi datang, Agus yang akan kena getahnya, dapat saja dituduh membuat sensasi alias laporan palsu. Celakanya, polsi relatif datang terlambat ketimbang jama’ah Masjid Nurul Amin selesai melaksanakan shalat tarwih. Remaja masjid yang liwat di depan club itu ikut pula mengerumuni bagunan club itu. Remaja masjid itu kurang sabaran, tidak seperti Lasykar Jundullah yang punya disiplin, sabar menunggu polisi. Maka terjadilah perusakan oleh para remaja masjid itu melaksanakan nahi mungkar. Nahi mungkar berhasil dilaksanakan, tetapi dengan embel-embel Agus beberapa kali ke kantor polisi untuk “dimintai keterangan”.

***
Firman Allah SWT: WLTKN MNKM UMT YD’AWN ALY ALKHYR WYaMRWN BALM’ARWF WYNHWN ‘AN ALMNKR WAWLaK HM MFLHWN (S. AL ‘AMRAN 104), dibaca: Waltakum mingkum ‘ummatun yad’u-na ilal lhayri waya”muru-na bil ma’ru-fi wayanhawna ‘anil mungkari waula-ika humul muflihu-n (s. ali ‘imra-n), artinya: Mestilah ada di antara kamu ummat yang mengajak kepada nilai-nilai kebajikan, menyuruh berbuat arif dan mencegah kemungkaran, dan mereka itulah orang-orang yang menang (3:104).

Apabila visi hanya secara parsial ditujukan kepada mengajak kepada nilai-nilai kebajikan, menyuruh berbuat arif, benarlah yang dikemukakan oleh akhi K.H. Drs Nasruddin Razak, ketua DPW Muhammadiyah Sul-Sel bahwa sebenarnya rakyat Sul-Sel telah lama menegakkan Syari’at Islam, seperti pendirian masjid, sikap ramah, berucap salam dalam keseharian serta saling lempar senyum. Cuma saja, sekali lagi hanya saja, bagaimana dengan nahi mungkar? Sekarang sudah hampir tidak ada yang seperti Opu Tuan Imam Barat Batangmata. Kalaupun ada seperti beliau, niscaya akan bentrok dengan polisi. Bahkan dalam kasus Jundullah, komandannya harus berurusan dengan polisi dimintai keterangan. Berunjuk rasa di jalanan, bawa spanduk, tutup semua tempat-tempat maksiyat yang berlabel night club! Berantas pelacuran! Berantas KKN ! Apa itu efektif? Sama sekali tidak!

Industri pelacuran itu berstruktur dalam sistem jaringan. Tidak dapat dihadapi secara single handed seperi cara bernahi mungkar Opu Imam. Organisasi da’wah, seperti MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM dll. tidak bisa bernahi mungkar bilyad, sebab nanti bentrok dengan polisi. Lebih-lebih lagi hukum positif kita tidak mendukung untuk memberantas pelacuran.

KUHP, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht-nya kolonial Belanda, tidak melarang perzinaan. Yang dilarang hanyalah bermukah (overspel = keliwat main). Yang disebut bermukah (assangkili’) adalah hubungan seksual antara suami seseorang atau dengan isteri seseorang. Bermukahpun hanya dilarang berayarat oleh pasal 284 KUHP, yaitu hanya delik aduan. Pranata hukum dalam hal ini polisi tidak berdaya apa-apa jika suami atau isteri yang bermukah tidak keberatan, walaupun masyarakat sekelilingnya (meskipun gabungan MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM dll) sangat keberatan. Undang-undang kita tidak melarang free sex jika yang berzina itu gadis dengan bujang atas dasar suka sama suka. Kalau sang gadis jadi hamil, lalu gadis atau walinya melapor kepada polisi, maka polisi tidak dapat berbuat apa-apa. Pelacuran tidak dilarang oleh KUHP, karena pelacuran itu adalah free sex suka sama suka antara pelacur dengan hidung belang. Sehabis polisi merazia pelacur, paling-paling diberi nasihat kemudian dilepaskan lagi. KUHP tidak melindungi gadis-gadis dimangsa hidung belang !!! Ini merupakan koreksi bagi Mang Jalal yang mengatakan undang-undang dan berbagai peraturan yang kita anut sekarang sudah sesuai dengan Syari’at Islam. Tolong Mang Jalal bertanya hukum kepada ahli hukum barang sedikit. Sebab malu bertanya sesat di jalan.

Nahi mungkar hanya effektif, jika ketiga kaki tempat hukum bertumpu, tegak dengan sinkron. Ketiga kaki itu adalah masyarakat yang sadar hukum, rancangan hukum yang disebut peraturan perundang-undangan dan pranata hukum (polisi, jaksa, hakim). Dalam kenyataan ketiga kaki itu tidak sinkron misalnya seperti contoh pelacuran tersebut di atas. Nilai-nilai Al Furqan yang ditanamkan dalam masyarakat oleh MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM dll, mengutuk pelacuran, namun KUHP tidak mendukung, sehingga pranata hukum lumpuh tidak dapat bertindak.

Alhasil demi efektifnya nahi mungkar, Syari’at Islam perlu ditegakkan dalam menegara. Maka akan sinkronlah ketiga kaki itu. Masyarakat yang sadar akan nilai-nilai Al Furqan yang selalu tak henti-hentinya ditanamkan oleh MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM, dll, harus sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang ditimba dari Syari’at Islam dan juga sinkron dengan pranata hukum pelaksana nahi mungkar (polisi, jaksa, hakim) yang bermafia, dibersihkan melalui sanksi yang keras sesuai dengan Syari’at Islam. WaLlahu a’lamu bishshawab.

*** Makassar, 3 Februari 2002