10 Februari 2002

511. Ilmu Menurut Syari’at Islam

Dr. El-Baz wrote: "Science is international. There is no such thing as Islamic science. Science is like building a big building, a pyramid. Each person puts up a block. These blocks have never had a religion. It's irrelevant, the color of the guy who put up the block." (Ilmu itu sifatnya menginternasional. Tidak ada itu yang disebut dengan ilmu yang Islami. Ilmu itu seperti bangunan, bangunan besar, sebuah piramida. Setiap orang meletakkan bungkah di atasnya. Bungkah-bungkah itu tak pernah punya agama. Itu tidak mengena dengan warna orang yang meletakkan bungkah itu).

Apakah benar, bahwa tidak ada itu yang disebut ilmu yang Islami? Opini El-Baz itu tidak benar. Ada ilmu yang Islami, yaitu ilmu menurut petunjuk Syari’at Islam. Bahwa Syari’at Islam itu bukan hanya menyangkut petunjuk dalam bersosial, berpolitik, berbudaya, berekonomi, bertata-negara dan berpemerintahan, melainkan Syari’at Islam itu memberikan petunjuk pula dalam berilmu, seperti yang telah disajikan dalam kedua seri berturut-turut sebelumnya, yaitu Seri 508 dan 509. Kemdian daripada itu, silakan baca baik-baik uraian di bawah ini dengan hati terbuka dan kepala dingin.

Ilmu menurut opini El-Baz itu sangat sempit wawasannya, ibarat katak di bawah tempurung. Mengapa? Oleh karena ilmu yang seperti dianut oleh El-Baz itu, sehingga dikiranya dengan demikian menjadilah ilmu itu otonom dan polos.
Manusia berdasarkan sikapnya terhadap Tuhan, dapat diklasifikasikan dalam empat golongan, yaitu:

  1. Golongan yang percaya akan adanya Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta. Artinya setelah Tuhan mencipta, lalu disertai tindak lanjut dengan memberikan petunjuk ke pada manusia dengan menurunkan wahyu kepada manusia pilihan yang disebut Nabi, yang akan meneruskan petunjuk itu kepada ummat manusia. Golongan ini disebut dengan theist.
  2. Golongan yang percaya akan adanya Tuhan hanya sebagai Pencipta saja. Wahyu tidak ada. Manusia cukup mengatur dirinya dengan akalnya saja. Sikap yang berpikir demikian itu disebut sekuler. Golongan yang kedua ini disebut dengan deist. Adalah logis bahwa golongan ini walaupun sudah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi belum menganut sesuatu agama.
  3. Golongan yang tidak mau tahu tentang Tuhan. Adanya Tuhan atau tidak adanya Tuhan, bukanlah sesuatu yang penting benar untuk dipikirkan, hanya membuang-buang energi saja. Golongan ini disebut dengan agnostik.
  4. Golongan yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Golongan ini disebut dengan atheist.
Syahdan, melihat penggolongan sikap-sikap di atas itu apa yang disebut dengan polos dan otonom, pada hakekatnya ilmu dengan paradigma filsafat positivisme TELAH MEMIHAK kepada ketiga golongan yang terakhir: deist, agnostik dan atheist. Artinya kepolosan dan keotonoman ilmu itu adalah fallacy, pernyataan yang palsu. Tidak ada ilmu yang tidak memihak, sehingga tidak ada ilmu yang polos dan otonom.

Walhasil, karena tidak mungkin ilmu itu tidak memihak di antara keempat golongan itu, maka tentu saja bagi yang berpikiran sehat, akan memilih golongan pertama tempat ilmu itu memihak. Maka dengarlah firman Allah berikut ini:
-- AN FY KHLQ ALSMWT WALARDH WAKHTLAF ALYL WALNHHAR LAYT LUWLY ALBAB. ALDZYN YDZKRWN ALLH QYAMA WQ’AWDA W’ALY JNWBHM WYTFKRWN FY KHLQ ALSMWT WALARDH RBNA MA KHLQT HDZA BATHLA SBHNK FQNA ‘ADZAB ALNAR (S. AL ‘AMRAN, 190-191), dibaca: Inna fi- khalqis sama-wa-ti wal ardhi wakhtila-fil layi wan naha-ri laa-ya-til liulil alba-b. Alladzi-na yadzkuru-naLla-ha qiya-maw wa qu'uwdaw wa 'ala- junuwbihim wa yatafakkaru-na fi- khalqis sama-wa-ti wal ardhi rabbana- ma- khalaqta ha-dza- baathilan subha-naka faqina- 'adza-ban na-r (s. ali ‘imra-n), artinya: Sesungguhnya dalam proses penciptaan benda-benda langit dan bumi, dan pergantian malam dengan siang menjadi keterangan bagi ulul alba-b. (Ulul alba-b), yaitu mereka yang ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring, (lalu mereka berkata): Wahai Yang Maha Pengatur kami, tidaklah Engkau menciptakan semuanya ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari azab neraka (3:190-191).

Oleh sebab itu perlu redefinisi ilmu. Khusus ilmu pengetahuan alam diredefinisikan menjadi: "Ilmu pengetahuan alam meliputi pengungkapan taqdir Allah (hukum-hukum Allah) tentang alam syahadah ciptaan Allah sebagai Maha Pencipta (Al Khaliq) dan Maha Pengatur (Ar Rabb), dan perumusan hipotesa-hipotesa sepanjang belum dapat diujicoba dengan eksperimen, yang memungkinkan orang dapat mentakwilkan peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alamiyah dalam kondisi-kondisi tertentu. Para pakar di bidang ilmu pengetahuan alam berurusan dengan penelitian, pengungkapan fakta-fakta tentang sifat alamiyah dari alam semesta dengan mempergunakan sumber informasi dari ayat qawliyah (AlQuran) serta Hadts Shahih dan ayat kawniyah (alam syahadah yang dapat dideteksi oleh pancaindera)."

Dengan demikian filsafat positivisme yang selama ini sebagai paradigma tempat ilmu pengetahuan alam bertumpu di atasnya, perlu diganti menjadi paradigma Tawhid; ayat Qawliyah serta Hadits Shahih dan ayat Kawniyah menjadi sumber informasi. Inilah yang disebut Islamic Science. Dalam rangka peringatan Milad UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA yang ke 41 (1954 - 1995), dalam Orasi Ilmiyah yang saya sajikan pada 25 Muharram 1416 H, setuju dengan 24 Juni 1995 M, saya gagaskan pendekatan ilmiyah yang tidak sekuler. Saya namakan gagasan itu dengan Pendekatan Satu Kutub. Orasi Ilmiyah tersebut lengkapnya berjudul: Metode Pendekatan Satu Kutub dalam Mengkaji Ayat Qawliyah (Al Quran) dan Ayat Kawniyah (alam syahadah). Adapun kerangka gagasan itu seperti berikut:

Sumber informasi: Ayat Qawliyah serta Hadts Shahih dan ayat kawniyah (alam syahadah).
Sikap: skeptis terhadap hasil pemikiran manusia
Langkah-langkah:
  1. Iqra bismi Rabbik, artinya: bacalah atas nama Maha Pengaturmu (96:1); yang dibaca atau diobservasi adalah sumber informasi: Ayat Qawliyah serta Hadts Shahih dan Ayat Kawniyah;
  2. Penafsiran dengan memperhatikan Ayat Qawliyah serta Hadts Shahih dan Ayat Kawniyah, yang outputnya tafsir hasil buah pikiran manusia;
  3. Ujicoba tafsir diperhadapkan pada Ayat Qawliyah serta Hadits Shahih dan Ayat Kawniyah atau salah satu di antara keduanya, yang outputnya pengungkapan TaqdiruLlah (Hukum Allah) yang spesifik.
Insya Allah dalam seri-seri berikutnya akan disajikan beberapa ilustrasi tentang Islamic Science. WaLlahu a'lamu bi shshawab.

*** Makassar, 10 Februari 2002