Yang ideal bagi orang-orang Yunani Kuno adalah keindahan visual. Inilah yang menjadi paradigma ilmu Yunani Kuno. Yaitu keindahan yang berasaskan perbandingan yang dinyatakan oleh hubungan angka-angka yang tetap. Wajah manusia, patung, atau bentuk arsitektur, bahkan drama harus mempunyai perbandingan-perbandingan tetap di antara bagian-bagiannya supaya indah. Keluar dari hubungan angka-angka perbandingan itu mengakibatkan sesuatu itu "rusak" bentuknya sehingga tidak menjadi indah lagi. Pola pemikiran ini menghasilkan pandangan bahwa alam semesta ini merupakan kesatuan yang statis, oleh karena bagian-bagian dari alam smesta ini harus mempunyai perbandingan yang dinyatakan oleh hubungan angka-angka yang tetap. Alhasil, pengertian waktu bukanlah hal yang perlu mendapat perhatian, oleh karena alam semesta ini statis. Bahkan menurut Zeno dan Plato waktu adalah sesuatu yang tidak-nyata (unreal). Maka dapatlah kita mengerti apabila para pakar Yunani Kuno hanya menghasilkan matematika yang statis sifatnya, tidak mengandung unsur variabel dan fungsi. Demikianlah paradigma idea orang Yunani Kuno yang menganggap ideal keindahan visual, hanya dapat menghasilkan matematika yang statis.
Paradigma keindahan visual menghasilkan hal yang musykil dalam astronomi. Hukum-hukum yang berlaku pada benda-benda langit tidak sama dengan hukum-hukum yang ada di bumi ini. Ini logis oleh karena orang Yunani Kuno tidak mengenal Tawhid, Keesaan Allah dalam af'al (perbuatan)-Nya. Di langit serba indah, tidak seperti di bumi. Karena di langit serba indah, maka gerak bintang-bintang di langit haruslah menurut bentuk garis yang indah, yaitu gerak lingkaran beraturan. Dan itu cocok dengan gerak bintang-bintang yang mereka kira melekat pada bola langit. Akan tetapi gerak planet TIDAK bergerak menurut lingkaran beraturan. Maka diakal-akali dengan dibuat lingkaran bantu pada titik-titik lintasan lingkaran utama. Inipun belum memuaskan, maka ditambah lagi sampai dua, tiga lingkaran bantu, namun masih belum memuaskan. Inilah kemusykilan yang tak terpecahkan oleh para astronom Yunani kuno.
Paradigma ilmu menurut Syari'at Islam adalah Tawhid, bukanlah keindahan visual seperti paradigma ilmu Yunani, melainkan Allah Yang Maha Tak Terbatas, dengan sifat-sifatnya yang Maha Sempurna. Dalam S. Al Fathihah Allah disebut RB AL'ALMYN (Rabbul 'a-lami-n), Maha Pengatur alam semesta. Dengan demikian alam semesta ini tidak statis, melainkan dinamis, karena diatur. Dan unsur penting dalam dinamika ialah waktu. Jadi menurut pandangan seorang Muslim waktu itu nyata, tidak seperti pandangan Zeno dan Plato di atas itu. Bahkan dalam Al Quran ada sebuah surah yang bernama S. Al 'Ashr. Surah ini dibuka dengan kalimah W AL'ASHR (wal 'ashri), yang artinya perhatikanlah waktu.
Masuknya faktor waktu dalam matematika, mengubah wajah matematika itu menjadi baru sama sekali. Ilmu hitung diperkembang menjadi aljabar. Unsur ilmu hitung yang statis yaitu bilangan, diperkaya dengan unsur yang dinamis yaitu variabel dan fungsi, serta limit. Dalam matematika ada dua cara dalam menyatakan fungsi. Pertama yang langsung y(x), y adalah fungsi dari x, artinya y berubah dengan berubahnya x. Yang kedua melalui parameter waktu berbentuk sperti x(t), y(t). Bentuk parameter ini mulai ditampilkan oleh Al Biruni (793 - 1048) melengkapi aljabar Al Khawarismi. Kemudian Umar Khayyam (1048 - 1123) meperlengkap lagi aljabar itu, sehingga wujudnya hampir mendekati aljabar sekarang ini. Di samping itu Umar Khayyam menciptakan pula sejenis matematika menyerupai aljabar yang disebutnya dengan al khiyam, sayang ilmu itu tidak berkembang hingga dewasa ini.
Kesimpulannya dapatlah kita lihat pakar Yunani Kuno tidak mampu mengembangkan ilmu hitung menjadi aljabar dengan unsur-unsur variabel. Tidak mampu memperkembang ilmu ukur menjadi ilmu ukur analitik yang berkurva dan bergaris asymptot. Tidak mampu "mengawinkan" ilmu hitung dengan ilmu ukur, seperti halnya persamaan aljabar bervariabel dalam wajah y(x) atau x(t), y(t) yang diekspresikan sebagai kurva pada sistem koordinat dalam ilmu ukur analitik (analytische meetkunde). Mengapa pakar Yunani kuno tidak mampu dan mengapa pakar Muslim mampu? Karena paradigma ilmu Yunani Kuno bertumpu pada filsafat keindahan yang statis, karena berasaskan perbandingan yang dinyatakan oleh hubungan angka-angka yang tetap. Paradigma dari ilmu Yunani kuno yang statis itu melecehkan waktu, menganggap waktu tidak nyata. Maka ilmu hitung dan ilmu ukur Yunani kuno tetap terkungkung ibarat katak di bawah tempurung.
Dari ilustrasi di atas tersebut menunjukkan keteledoran Dr El-Baz yang hanya melihat bangunan piramida saja. (Silakan baca kembali Seri 510 ybl). Padahal pondasi bangunan (baca: paradigma) yang diremehkan Dr El-Baz itu sangatlah penting tempat bangunan itu bertumpu. Ilmu sekuler Yunani Kuno yang bertumpu pada keindahan visual menyebabkan matematika tidak dapat berkembang menjadi ilmu bantu untuk ilmu pengetahuan alam. Teori-teori ilmu pengetahuan alam model Yunani kuno, tetap membuntu pada taraf yang spekulatif. Demikian pula paradigma keindahan visual itu membuahkan perkara musykil yang tak terpecahkan dalam astronomi.
Sebaliknya ilmu menurut Syari'at Islam, yang bertumpu pada paradigma Tawhid, Allah Maha Tak Terbatas, Maha Esa dalam af'alNya, Maha Pengatur, menghasilkan perkembangan matematika dari yang statis menjadi dinamis, sistem bilangan menjadi sistem variabel, bilangan terbatas menjadi unsur variabel yang mendekati limit pada tempat tak terhingga. Taqdir (hukum-hukum) Allah di universum berlaku di mana-mana, tidak ada perbedaan hukum-hukum Allah pada benda-benda langit, maupun yang ada di bumi. Aljabar yang berunsur variabel dan ilmu ukur analitik yang berkurva dapat menjadi ilmu bantu untuk perkembangan ilmu pengetahuan alam. WaLlahu a'lamu bi shshawab.
*** Makassar, 17 Februari 2002