15 Juni 2003

579. RUU Sisdiknas yang Telah Disahkan

AlhamduliLlah RUU Sisdiknas akhirnya telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 11 Juni 2003, malam Kamis, jam 09:45 WITA, tanpa voting, tanpa kehadiran fraksi PDIP. Apapun alasannya hal ketidak-hadiran itu sangat disesalkan. Mudah-mudahan saja di waktu yang akan datang hal tersebut tidaklah menjadi precedent yang kurang elok, yaitu tidak hadir memenuhi undangan rapat apabila substansi yang akan diputuskan itu tidak disetujui.

Dengan tidak hadirnya fraksi PDIP, tidaklah perlu di "lapangan" dipertajam diskusi tentang Negara campur tangan atau tidak boleh campur tangan dalam pendidikan agama. Mengapa? Itu tidak akan ada hasilnya. Menurut ajaran Islam agama bukan hanya sekadar menyangkut peribadatan ritual, tetapi menyangkut semua aspek dalam kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Ajaran Islam diklasifikasikan atas: 'aqidah, hukum-hukum Syari'ah dan akhlaq. Klasifikasi menurut Al Hadits: iman, islam dan ihsan. Kalau kedua cara klasifikasi itu digabungkan, maka menjadilah: 'aqidah/iman, hukum-hukum Syari'ah/Islam dan akhlaq/ihsan. 'Aqidah/iman tercakup dalam S. Al Fatihah, ayat 1 s/d 4, hukum-hukum Syari'ah/Islam tercakup dalam S. Al Fatihah, ayat 5, dan akhlaq/ihsan tercakup dalam S. Al Fatihah, ayat 6 dan 7.

Sedangkan menurut Kristen: "Geeft dan den Keizer wat des Keizers is, en Gode wat Gods is (Marcus 12:17)", berikanlah kepada Kaisar yang milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang miliknya Tuhan. Dari Marcus (12:17) ini diturunkanlah paradigma sekularisme yang terkenal dalam sejarahnya orang barat: "Scheiding tussen staat en kerk", pemisahan antara negara dengan gereja.

Perlu kita sadari bersama bahwa NKRI ini bukanlah negara yang murni sekuler. Negara wajib mengatur/ mengurus ummat beragama oleh Departemen Agama. Bahkan sudah lahir Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan baru sah, apabila sah menurut agamanya masing-masing. Ada Undang-Undang Peradilan Agama, ada Undang-Undang Zakat. Itu semua menunjukkan bahwa Pemerintah diwajibkan oleh undang-undang untuk mengatur / mengurus ummat beragama. Apakah ada landasan historisnya mengapa Negara boleh "memproduksi" undang-undang yang mengatur / mengurus ummat beragama?

***

Firman Allah:
-- WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD (S. ALHSYR, 59:18), dibaca: waltanzhur nafsum ma- qaddamat lighadin (s. alhasyr), artinya: dan mestilah orang mengkaji masa lalu untuk masa depan.

Marilah kita lihat masa lalu. Mengapa negara kita ini dapat mempunyai Undang-Undang Dasar? Itu karena Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mengapa kita bisa kembali ke UUD-1945? Karena Dekrit 5 Juli 1959. Baik Proklamasi, maupun Dekrit 5 Juli, keduanya terkait pada Piagam Jakarta.

Yang pertama, Piagam Jakarta dibuat untuk dijadikan Muqaddimah UUD, yang juga sekaligus dipersiapkan untuk dibacakan sebagai maklumat (proklamasi) kemerdekaan Indonesia. Disebut Piagam Jakarta, karena piagam itu dibuat di Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan. Piagam Jakarta urung dibacakan sebagai maklumat kemerdekaan Indonesia, karena Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945 larut malam diciduk oleh pemuda Marxist-Trotzkist (Murba) ke Rengas Dengklok dan di sana didesak untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kedua pemimpin itu bertahan untuk membacakan proklamasi di Jakarta, sehingga atas jaminan Mr Ahmad Soebardjo keduanya dikembalikan ke Jakarta pada 16 Agustus 1945 malam. Karena naskah Piagam Jakarta tidak ditemukan malam itu, berhubung keberangkatan yang tergesa-gesa, karena diciduk pada larut malam 15 Agustus itu, maka dibuatlah teks proklamasi berdasarkan ingatan bagian akhir dari alinea ketiga, yaitu "rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdeka-annya". "Rakyat Indonesia" diganti dengan "kami bangsa Indonesia". Inilah yang dijadikan bagian pertama dari teks proklamasi. Bung Hatta kemudian mengusulkan tambahan untuk menegaskan status hukum peralihan kekuasaan dan itulah yang menjadi bagian kedua dari teks proklamasi. Teks inilah yang dibacakan pada pagi-pagi 17 Agustus 1945.

Karena bukan Piagam Jakarta yang dibaca pada waktu proklamasi kemerdekaan, maka berakibat dua hal: Pertama, Republik Indonesia diproklamasikan tanpa Muqaddimah Undang-Undang Dasar, sehingga terjadi kevakuman konstitusi selama satu hari, karena UUD baru disahkan pada 18 Agusutus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kedua, terbuka kesempatan untuk mencoret Syari'at Islam, sebab jika Piagam Jakarta yang dibacakan sebagai teks proklamasi, maka itu sudah sah sebagai Muqaddimah UUD, sehingga PPKI tidak berhak mencoret sepatah katapun, dan yang dibicarakan dalam sidang PPKI hanyalah fasal-fasalnya saja.

Pencoretan Syari'at Islam dibayar dengan harga mahal. Ummat Islam yang "sadar politik" dengan ideologi Islam yang "beraliran keras" mengadakan perlawanan bersenjata. Itulah latar belakang timbulnya Darul Islam dengan angkatan perangnya, Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Perlawanan DI/TII itu berlangsung bertahun-tahun. Di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang dilanjutkan oleh Tengku Hasan di Tiro, di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar dan di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar. Di Aceh perlawanan itu masih berlanjut terus hingga sekarang ini dengan baju baru yaitu Gerakan Aceh Merdeka, yang masih dipimpin dari Swedia oleh Tengku Hasan di Tiro.

Yang kedua, Dekrit 5 Juli 1959 mengandung sebuah diktum: "Bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD-1945.

Maka wajarlah apabila Negara "memproduksi" sejumlah undang-undang yang mengatur ummat beragama, itu semuanya dijiwai oleh Piagam Jakarta.

***

Oleh sebab itu sangatlah tidak perlu mempertajam tentang Negara boleh atau tidak boleh mengatur ummat beragama, karena ini akan cenderung menjurus kepada yang sensitif. Dan ini bukanlah wishful thinking, bagaimana membanjirnya lautan manusia pada 10 Juni 2003 ybl. Adapun diktum Pasal 13 RUU Sisdiknas berbunyi: "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama," yang menjadi isu kontroversial pada talkshow di media elektronika, sekali lagi tidaklah perlu dipertajam. Itu akan mengundang lagi timbulnya radikalisme. Lihatlah itu GAM di Aceh, yang akar penyebabnya pada pencoretan 7 kata pada Piagam Jakarta. UU Nangroe Aceh Darus Salam dibuat setelah "nasi menjadi bubur".

Maka marilah kita berpikir positif. Diktum Pasal 13 RUU Sisdiknas, sebenarnya dalam nilai praxis, membuka lebar kesempatan berkomunikasi antara Lembaga Pendidikan Katholik / Protestan dengan Pesantren. Departemen agama hanya menyediakan guru-guru agama Islam yang tak dapat dipenuhi oleh Pesantren. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 15 Juni 2003