25 Januari 2004

611. MUI vs Fiqh Lintas Agama

Setelah sekian lama ditunggu jawabannya, akhirnya pihak Paramadina memberikan jawaban menerima tantangan debat publik pada hari Kamis, 15 Januari 2004, di kampus UIN Jakarta, atas buku yang berjudul 'Fiqih Lintas Agama' terbitan Paramadina. Sayangnya, dalam debat publik itu, Nurcholis Madjid dan Komarudin Hidayat tidak bersedia hadir, demikian menurut Ketua Departemen Informasi dan Data Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Fauzan Al Anshori kepada eramuslim. Fauzan menyatakan kekecewaannya, karena MMI menginginkan untuk melakukan debat langsung dengan Nurcholis Madjid karena dialah yang dianggap icon Islam Liberal di Indonesia. Dikatakan Fauzan, pihak Paramadina akan diwakili oleh Dr. Zainun Kamal dan Juhairi Misrowi. Wakil Ketua Amir MMI dan Ketua Departemen Penegakan Syariah Islam MMI menilai ketidaksiapan Nurcholis Madjid, barangkali karena kekhawatiran akan mengalami nasib serupa ketika berdebat dengan Dr. Daud Rasyid di tahun 1992 di Taman Ismail Marzuki.(*)

***

Sampai kolom ini ditulis belum diperoleh publikasi secara resmi hasil debat publik itu. Untuk itu ada baiknya jika dikemukakan romantika debat di Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, Senin 26 Agustus 2002. Debat di Al-Azhar itu menampilkan Dr Zainun Kamal sebagai pembicara utama, Prof Dr Amin Suma mantan Dekan Fak Syari'ah IAIN Jakarta selaku pembanding, dengan Dr Surahman Hidayat alumni Fak Syari'ah Al-Azhar Mesir sebagai moderator. Sekitar dua puluh orang termasuk isteri Zainun Kamal hadir dalam diskusi dari pukul 10.45 sampai 15.20 itu. Dalam diskusi itu Zainun Kamal mempertahankan pendapatnya dalam hal bagian dari Fiqh Lintas Agama, bahwa larangan Muslimah diniikahi oleh lelaki Nasrani / Ahli Kitab itu adalah wilayah ijtihadi, tidak ada nash langsung yang melarangnya.

Argumentasi sederhana itu telah dibantah dengan Nash (Ayat dan Hadits). Ayat-Ayat tentang larangan lelaki non Muslim / kafir menikahi Muslimah dikemukakan DR Amin Suma. Di antaranya Ayat 10 Surah Al Mumtahanah. (Terlalu panjang ayat itu, hanya sebagiannya saja yang dikemukakan, itupun hanya terjemahannya saja -HMNA-). "Kalau kamu ketahui bahwa mereka Mukminat (yang hijrah), maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi laki-laki kafir, dan tidak pula laki-laki kafir halal bagi mereka." Terhadap ayat itu, Zainun Kamal berkata, itu maksudnya kafir musyrik, bukan Ahli Kitab, sebab di Makkah tidak ada Ahli Kitab. Ungkapan itu dijawab langsung oleh Dr Amin Suma, dan Dahlan Basri dari Dewan Dakwah, tidak benar kalau di Makkah tidak ada Ahli Kitab. Paman Khadijah bernama Naufal adalah pendeta Nasrani, dan itu di Makkah. Karena kafir itu ada jenis Ahli Kitab dan ada juga jenis musyrik sebagaimana di dalam Surat Al-Bayyinah.
-- LM YKN ALDZYN KFRWA MN AHL ALKTB WALMSYRKYN MNFKYN hTY TAaTYHM ALBYNt (S. ALBYNt, 1), dibaca: lam yakunil ladzi-na kafaru- min ahlil kita-bi walmusyriki-na munfakki-na hatta- ta'tiyahumul bayyinah (s. albayyinah), artinya: Orang-orang kafir di antara Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada mau meninggalkan agamanya, sehingga sampai kepada mereka keterangan [98:1].

Dari peserta diskusi ada yang menyatakan kecewa, karena Zainun Kamal ternyata tidak mampu mengemukakan duduk persoalannya secara hukum. Dia hanya mengutip ungkapan Rasyid Ridho dalam Tafsir Al-Manar dalam kasus menjawab pertanyaan tentang perempuan Cina yang diharapkan masuk Islam apakah boleh dinikahi. Terhadap keluhan kecewa itu, Zainun Kamal berterus terang tentang kondisi kemampuannya.

Di samping itu, setelah Zainun Kamal tampak tidak mampu mengemukakan Ayat atau Hadits tentang bolehnya Muslimah dinikahi lelaki Kristen, masih pula dari moderator Surahman Hidayat dan peserta Hartono Ahmad Jaiz menyampaikan hadits-hadits tentang larangan Muslimah dinikahi lelaki Ahli Kitab. Diskusi di Al-Azhar itu banyak mencecar Zainun Kamal. Terhadap cecaran itu, Zainun mengemukakan, semula hanya untuk mengemukakan pendapatnya bahwa masalah itu adalah ijtihadi, dan tidak ingin mempropagandakannya. Tetapi ungkapan itu dicecar terutama oleh Adian Husaini dari KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) bahwa apa yang diungkapkannya di sini berbeda dengan transkrip wawancaranya yang disebarkan di radio-radio, koran-koran dan internet. Zainun Kamal masih dicecar oleh sebagian peserta, kenapa kalau hanya ijtihadi, kok Zainun Kamal justru sudah berbicara yang disebarkan secara luas. Mestinya kalau baru pendapat yang masih mentah, cukup didiskusikan seperti di ruang ini, dan tidak memberikan keputusan hukum secara sendiri, lalu disebar-luaskan hingga meresahkan. Diskusi pun selesai tepat waktu ashar,

***

Selanjutnya akan dikemukakan pula Fatwa MUI tentang Perkawin Campuran, salah satu bagian dari Fiqh Lintas Agama, spb:

Bismillahirrhmanirrahim

Majelis Ulama Indonesia dalam musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H. bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980 M, setelah :

Mengingat : dsb.

MEMUTUSKAN
Menfatwakan :

Perkawinan Wanita Muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya Seorang laki-laki Muslim diharamkan menikahi wanita non-Muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.

Jakarta, 17 Rajab 1400 H / 1 Juni 1980 M.

DEWAN PIMPINAN/MUSYAWARAH NASIONAL II
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua,
ttd.
Prof.DR.HAMKA

Sekretaris,
ttd.
Drs. H. KAFRAWI


***

Demikianlah sambil menanti publikasi hasil debat publik pada 15 Januari 2004 tersbut. WaLla-hu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 25 Januari 2004
-------------------------------------------
(*) Tambahan yang tidak termuat dalam kolom Fajar, karena ruangan yang terbatas.
Nurcholis Madjid yang digembar-gemborkan sebagai icon yang menamakan dirinya Islam Liberal, tersungkur oleh Ustaz Daud Rasyid, MA yang saat itu belum bergelar Doktor. Debat terbuka di TIM itu bukan hanya memalukan dirinya sebagai "pendekar pembaruan" tapi juga ternyata berdampak buruk bagi kepercayaan beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa ilmunya masih di "level bawah" Daud Rasyid.

Ceramah lepas Nurcholis Madjid dan jawaban-jawabannya dalam tanya-jawab dalam rangkaian ceramah lepas itu biasa-biasa saja, tidak sebanding dengan tulisan-tulisannya. Memang dalam ceramah lepas "penguasaan" materi tentu tidak sebanding drngan menulis buku yang boleh mengambil rujukan sebanyak mungkin dari berbagai sumber. "Kekalahan" Nurcholis Madjid tatkala berdebat dengan Daud Rasyid tahun 1992 di Taman Ismail Marzuki, adalah hal yang wajar oleh karena Daud Rasyid memilih jalur Syariah, sedangkan Nurkholis Madjid di bidang Filsafat. Prof DR Hamka Haq dosen senior IAIN Alauddin Makassar menilai, bahwa buku Fiqh Lintas Agama, lebih menjurus pada filsafat ketimbang fiqh. Jadi lebih kena jika buku itu berjudul: Filsafat Lintas Agama.

Maka patut diduga bahwa penolakan Nurcholis Madjid menghadapi debat publik itu bukan karena ia merasa tidak perlu, melainkan tidak siap, atau tidak mampu, jadi takut menanggung malu. Dalam Seri 100 telah diceritakan sedikit ttg pengalaman dengan Nurcholis Madjid