Saya menerima deringan telepon bertanyakan: "Ustadz, apakah semua ayat perlu dikaji secara tekstual, ta'wil dan isyarat?" Menurut hemat saya penjelasan kepada penanya itu, elok juga kiranya saya bentangkan dalam media grafika ini.
Tentulah tidak semua ayat dapat diberlakukan seperti itu ketiga-tiganya. Namun yang perlu diperhatikan ialah berjenjang naik ibarat anak tangga, anak tangga pertama tekstual, anak tangga kedua ta'wil dan anak tangga ketiga isyarat. Dalam memahamkan Al Quran maupun Al Hadits (Nash) tidaklah boleh mempertentangkan ketiga hal itu. Pemahaman tekstual adalah inti (core)-nya, tidak boleh mengabaikannya lalu sekonyong-konyong meloncat ke ta'wil dan isyarat secara kontekstual.
Al Quran telah menunjukkan cara khusus untuk menangani koruptor kelas kakap. Berfirman Allah dalam Al Quran:
-- WALSARQ WALSARQt FAQTH'AWA AYDYHMA JZAa BMA KSBA TKALA MN ALLH WALLH 'AZYZ hKYM (S. ALMAaDt, 38), dibaca: wassa-riqu wassa-riqatu faqtha'u- aydiyahuma- jaza-an bima- kasaba- taka-lam minaLla-hi waLla-hu 'azi-zun haki-m (s. al ma-idah 38), artinya: Terhadap pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan pekerjaan keduanya, dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (5:38).
Atas diri pencuri laki-laki dan pencuri perempuan kelas kakap yang sangat merugikan orang banyak, sanksi hukuman atas mereka bukanlah untuk menyadarkan, akan tetapi untuk sebagai balasan atas perbuatannya, sebagai siksaan dari Allah SWT. Yang tampil di sini bukanlah Allah Yang bersifat Maha Pemurah dan Maha Penyayang (AlRahman AlRahiym), melainkan Allah dengan sifatNya Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (al'Aziz alHakim). Terhadap pencuri kelas kakap itu perlu sanksi yang keras: potong tangan. Jadi pemahaman tekstual, itulah intinya. Dengan tetap tidak melepaskan pemahaman tekstual, dilanjutkanlah ke anak tangga kedua yaitu ta'wil, yaitu potong tangan dita'wilkan sebagai mencopot kekuasaan atapun fasilitasnya. Seterusnya ke anak tangga ketiga yaitu isyarat, membentuk mekanisme yang efektif yang berhubungan dengan pelaksanaan sanksi itu oleh pranata hukum dalam dua hal, yaitu: Pertama melaksanakan sanksi itu tanpa pandang bulu, kecuali dan ini yang kedua dalam keadaan pacelik orang yang mencuri sekadar untuk dimakan karena kelaparan, maka mengikuti jurisprudensi yang telah dilakukan oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab, sanksi potong tangan itu dalam kasus spesifik itu dimaafkan. Artinya pemahaman tektual tetap dipegang, namun dalam kondisi darurat tidak diaktulisasikan.
***
Contoh kedua, Allah SWR berfirman
-- SBhN ALDZY ASRY B'ABDH LYLA MN ALMSJD ALhRAM ALY ALMSJD AL AQSHA ALDZY BRKNA hWLH LNRYH MN AYTNA ANH HW ALSMY'A ALBSHYR (S. BNY ASRAaYL, 1), dibaca: subha-nal ladzi- asra- bi'abdihi- laylam minal masjidil hara-mi ilal masjidil aqshal ladzi- ba-rakna- haulahu- linuriyahu- min a-ya-tina- innahu- huwas sami-'ul bashi-r (s. bani- isra-i-l), artinya: Maha Suci Yang mengisrakan hambaNya malam hari dari al Masjid al Haram ke al Masjid al Aqsha, yang Kami telah berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan (sebagian) dari ayat-ayat Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat (17:1).
Menurut Hadits pada waktu Rasulullah diisrakan, beliau menunggang buraq dituntun oleh Jibril.
-- "Utiyat bilBura-qi faHumiltu 'Alayhi Hattay Utiyat Baita lMaqdis," artinya: didatangkan kepadaku Buraq dinaikkan aku berkendara di atasnya hingga tiba di Bayt al Maqdis.
Secara tekstual itu benar-benar seperti demikian, RasuluLlah SAW isra betul-betul berkendaraan buraq diuntun oleh Jibril.
Dengan tetap memahamkan isra secara tekstual itu, pemahaman dilanjutkan ke anak tangga kedua, yaitu menta'wilkan konfigurasi Jibril menuntun Rasulullah yang mengendarai buraq itu dalam konteks konfigurasi antara wahyu, akal dengan naluri. Dengan demikian konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq itu dapat dita'wilkan sebagai wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri.
Dilanjutkan ke anak tangga ketiga, yaitu isyarat. Bahwa itu akan diproyeksikan dalam kenyataan sejarah, satu setengah tahun kemudian setelah isra, yaitu peristiwa hijrah: Rasulullah menunggang unta dituntun oleh Abu Bakar Ashshidiq RA. Jibril adalah malaikat pembawa kebenaran dan Abu Bakar memperoleh gelar Ashshidiq. Baik Jibril, maupun Abu Bakar mendapat predikat "benar". Predikat Asshshiddiq bagi Abu Bakar RA diperoleh beliau, karena sikap beliau terhadap peristiwa Isra-Mi'raj. Tatkala provokator Abu Jahl yang pembenci RasuluLlah SAW, berkampanye anti Islam, ia bercerita kepada Abu Bakar RA apa yang telah didengarnya tentang Isra-Mi'raj, kemudian menghasut Abu Bakar RA: "Hai Abu Bakar masihkah juga engkau percaya kepada Muhammad?" Maka menjawablah Abu Bakar RA: "Lebih dari itu saya percaya, karena Muhammad sejak sebelum menjadi Nabi belum pernah berbohong, lebih-lebih setelah diutus Allah". Sejak itu Abu Bakar mendapatkan gelar Ashshiddiq (yang membenarkan). MN ALMSJD ALhRAM ALY ALMSJD AL AQSHA (minal masjidil hara-mi ilal masjidil aqsha-), isra dari masjid ke masjid diproyeksikan dalam sejarah hijrah Nabi SAW. Unta yang dikendarai RasuluLlah SAW berhenti ditempat, di mana pada tempat itu dibangun Masjid Nabawi. Dalam isra dari al Masjid al Haram ke alMasjid al Aqsha-, diproyeksikan dalam sejarah dari al Masjid al Haram ke al Masjid Nabawi. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 16 Mei 2004