Firman Allah:
-- ZHHR ALFSD FY ALBR WALBhR BMA KSBT AYD ALNAS (S. ALRWM, 20:41), dibaca: zhaharal fasa-du fil barri walbahri bima- kasabat aydin na-si (s. arru-m), artinya: Muncullah kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan-tangan manusia.
Boleh jadi pembaca masih lupa-lupa ingat talkshow pada 9 Agustus 2004 di TVRI. Menteri Kesehatan mencoba untuk "mengaburkan" kandungan merkuri dalam darah keempat orang itu dengan "membelokkannya" kepada penyakit Minamata dan dengan susah payah Salim Said "menjuruskannya" kembali kepada kandungan merkuri (Hg) dalam darah keempat orang itu. Bahkan Menteri Kesehatan tidak tanggung-tanggung "membelokkan" kandungan Hg dalam darah itu ke penyakit Minamata, karena setelah talkshow didatangkannya dari Dai Nippong para pakar penyakit Minamata dari Japan's National Institute for Minamata Disease, untuk meneliti penduduk Buyat.
Dalam Jakarta Post edisi 4 October 2004 dapat kita baca hasil temuan dari Japan's National Institute for Minamata Disease, sebagaimana dikemukakan oleh Umar Fahmi:
Director general of communicable disease Umar Fahmi said the level of mercury in the residents' hair was 2.65 micro grams per gram (ug/g) or around one-twentieth of the dangerous level of 50 ug/g set by WHO. (Dirjen Penyakit Menular mengatakan bahwa kadar Hg dari rambut penduduk sebesar 2.65 mikrogram per gram (ug/g), yaitu sekitar seperdua puluh dari kadar berbahaya yaitu 50ug/g menurut WHO).
Sayang sekali Umar Fahmi tidak mengemukakan kadar Hg dalam darah penduduk yang diteliti itu, supaya dapat dibandingkan dengan hasil penelitian dalam negeri. Namun dapat kita lihat politikking dibalik keterangan Umar Fahmi tersebut, dengan mengatakan the dangerous level of 50 ug/g set by WHO. Mengapa saya katakan politikking, karena seperti diketahui orang yang berpenyakit Minamata itu dalam cairan darahnya bersemayam Hg 200-500 ug/l, atau pada rambutnya ada 50-125 ug/g, artinya Umar Fahmi "membelokkan" keracunan Hg dalam konteks penyakit Minamata.
Marilah kita lihat hasil-hasil penelitian dalam negeri:
Dari hasil test lab. Jawatan Kesehatan Jakarta pada 28 Juli 2004 diperoleh kadar Hg dalam darah warga yang sama (Buyat Pantai) berkisar antara 33.75 ug/l hingga 52.50 g/l.¨
Dalam pada itu, Yayasan Sahabat Perempuan, Yayasan Nurani, Kelola, dan Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan (LBHK), membawa empat warga Buyat Pantai ke Jakarta. Hasil analisa sampel darah mereka yang dilakukan Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan (Puska RKL) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI) bekerja sama dengan Laboratorium Departemen Kimia FMIPA UI. Hasil analisa dipaparkan Direktur Puska RKL Dr Budiawan kepada wartawan di Kampus UI Depok, Kamis (29/7-2004). Dengan menggunakan instrumen Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS), ditemukan kandungan total merkuri pada darah Rasyid Rahmat: 23,90 ug/l (45 tahun), Masnah Striman: 14,90 ug/l (41 tahun), Juhria Ratumbahe: 22,50 ug/l (45 tahun), dan Sri Prika Modeong: 9,51 ug/l (2 tahun).
Para warga Buyat Pantai yang diperiksa di Jakarta tersebut, ternyata terbukti tercemar logam berat merkuri (Hg), yaitu kadar Hg dalam darah mereka telah melebihi kadar Nilai Ambang Batas (NAB) dalam darah, menurut standar International Programme on Chemical Safety (IPCS), yaitu rata-rata 8 ug/l.
Maka tentu saja para peneliti Dai Nippong dari Japan's National Institute for Minamata Disease memfokuskan penelitiannya pada penyakit Minamata, dan tentu saja mereka mengatakan bahwa warga yang ditelitinya itu tidak, atau lebih tepat dikatakan belum mencapai dosis yang dapat menimbulkan gejala penyakit Minamata.
Jadi ada dua versi keracunan, pertama versi politikking Umar Fahmi, yaitu keracunan dalam konteks penyakit Minamata dan versi non-politikking masyarakat yang bersimpati kepada warga Buyat Pantai, yaitu keracunan dalam konteks kadar Hg dalam darah warga yang diteliti darahnya telah meliwati Nilai Ambang Batas menurut standar International Programme on Chemical Safety (IPCS), yaitu Hg rata-rata 8 ug/l (mikrogram per liter).
Sedikit ilustrasi mengenai kampung Buyat Pantai, kiranya pembaca dapat merasakan nasib malang warga desa tersebut. Kampung Buyat Pantai terletak di sisi barat Teluk Buyat. Stasiun katup buang dari pipa tailing tambang emas Newmont jaraknya hanya 50 meter dari pintu masuk kampung itu. Warga Buyat Pantai hidup dekat kubangan sampah tailing yang mengandung zat kimia arsen, antimon, dan Hg. Tambang Newmont membuang 2.000 ton limbah tailing ke dasar perairan Teluk Buyat setiap harinya.
Rumah-rumah di kampung Buyat Pantai sederhana yang kebanyakan terbuat dari kayu dan beratap rumbia atau seng, berderet mengikuti alur garis pantai sepanjang 200 meter, dalam dua baris yang dibelah jalan tanah selebar tiga meter. Kampung ini berada pada tapal batas Kabupaten Bolaang Mongondow dan Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Di dalamnya bermukim 78 kepala keluarga (KK) atau hampir 300 orang. Letaknya terpencil alias jauh dari keramaian kota. Lebih terisolasi lagi karena belum terjangkau jaringan listrik apalagi telepon. Keempat orang yang dibawa ke Jakarta itu, yang keracunan Hg itu, yang penduduk menamakannya dengan "penyakit aneh", berasal dari Kampung Buyat Pantai ini. Republika mencatat, dari 75 warga setempat yang sempat ditemui dari rumah ke rumah, tak satu pun yang tubuhnya bebas dari "penyakit aneh" itu, berupa benjolan, kulit lecet, keluhan pusing-pusing, dan sering keram.
Ala kulli hal, apabila penduduk yang malang itu dibiarkan tetap dimangsa pencemaran tanpa intervensi, kalau itu tidak dicegah dari sekarang, Newmont dibiarkan terus mencemari lingkungan, maka ujung-ujungnya dalam jangka panjang Hg akan terakumulasi menjadi penyakit Minamata dalam tubuh warga Buyat Pantai yang malang itu. AlhamduliLlah sumber di Mabes Polri mengatakan bahwa dalam kasus Buyat ini, polisi tidak hanya menetapkan hanya individu saja yang jumlahnya 6 orang itu yang telah dijadikan tersangka, akan tetapi PT Newmont Minahasa Raya juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Maka baguslah itu, para individu tersangka di Pengadilan diberi sanksi hukuman dan PT NMR ditutup dengan ketokan palu Hakim. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 10 Oktober 2004