Kongres Ummat Islam III telah sepekan berlalu. Banyak oleh-oleh yang dapat disajikan, namun oleh-oleh ini difokuskan kepada substansi yang ditimba dari Pidato dalam Upacara Pembukaan Kongres III Ummat Islam. Yaitu Pidato Sambutan Gubernur Sulsel yang dibacakan oleh Wakil Gubernur Sulsel, H.M. Syahrul Yasin Limpo. Sebelum membacakan Pidato Sambutan tersebut, tanpa teks Wagub Sulsel mengemukakan antara lain bahwa "yang namanya Syari'at Islam itu tidak harus kita paksakan." Walaupun itu tanpa teks di luar sambutan resmi dari Gubernur Sulsel, maka itu tidaklah dapat dipandang sebagai pendapat pribadi H.M. Syahrul Yasin Limpo, melainkan itu tidak dapat tidak adalah merupakan juga pendapat resmi dari Lembaga Pemerintah. Sedangkan pernyataan "yang namanya Syari'at Islam itu tidak harus kita paksakan," adalah keniscayaan ditujukan kepada KPPSI Sulsel dan Forum Ummat Islam (FUI) Sulsel, karena itu adalah sambutan resmi yang diucapkan dalam Upacara Pembukaan Kongres Ummat Islam III yang diselenggarakan oleh kedua Lembaga Da'wah tersebut.
Menilik pernyataan Wakil Gubernur Sulsel itu, yang ditujukan kepada KPPSI dan FUI maka sungguh-sungguh sangat perlu lebih intenssif ditingkatkan sosialisai Penegakan Syariat Islam yang diupayakan oleh KPPSI Sulsel sebagai pemegang amanah Kongres Ummat Islam Sulawesi Selatan. Mengapa? Karena sedangkan seorang Muslim terpelajar seperti Wagub itu mempunyai semacam "kecurigaan", atau sekurang-kurangnya mempunyai "kekuatiran", apatah pula bagi para Muslim awwam, lebih-lebih lagi bagi yang non-Muslim. Berupa apakah itu kecurigaan ataupun krkuatiran tersebut? Yaitu Wagub mempunyai kecurigaan atau kekuatiran bahwa jangan-jangan KPPSI itu akan memaksakan penegakan Syari'at Islam itu.
Maka jawabannya singkat saja. Tidak ada alasan utuk curiga ataupun kuatir terhadap KPPSI Sulsel. KPPSI mempunyai goal, atau tujuan strategis yaitu suatu "rumah politik" yang berwujud Otonomi Khusus bagi Provinsi Sulsel dengan ciri Syari'at Islam sesuai dengan UUD-1945 yang telah diamandemen. Sementara tujuan strategis itu belum tercapai, maka objectivenya berupa tujuan taktis, memanfaatkan kondisi yang ada, yaitu ikut aktif memberikan masukan dalam Perda-Perda yang bernuansa Syari'at Islam, contohnya seperti apa yang telah sementara terwujud di Kabupaten Bulukumba berupa 4 Perda, yaitu Perda ttg: 1. Miras, 2. Zakat, Infaq dan Sadaqah, 3. Busana Muslim dan Muslimah, 4. Pandai Baca Al Quran.
***
Terlepas dari kecurigaan ataupun kekuatiran itu, maka secara substansial akademis apakah Syari'at Islam itu sama sekali tidak boleh dipaksakan? Jawabannya tidak, juga bisa dijawab ya dalam konteks yang berbeda. Syari'at Islam yang bermuatan: aqidah, jalannya hukum dan akhlaq, meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan nafsi-nafsi (individu), maupun kehidupan kolektif dengan substansi yang bervariasi seperti keimanan, ibadah ritual, karakter perorangan, akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq.
Seperti yang telah ditulis oleh Wakil Ketua I Majelis Syura KPPSI Sulsel dalam rubrik Opini, Harian Fajar, edisi Jum'at, 25 Maret 2005, berjudul "Kultural dan Struktural", dapat kita baca:
Maka simaklah ayat yang berikut:
-- WLTKN MNKM AMt YD'AWN ALY ALKHYR WYAaMRWN BALM'ARWF WYNHWN 'AN ALMNKR WAWLaK HM ALMFLhWN (S. AL 'AMRAN, 3:104) dibaca: waltakum mingkum ummatuy yad'uwna ilal khayri waya'muruwna bilma'ruwfi wayanhawna 'anil mungkari waula-ika humul muflihu-n (s. ali 'Imra-n), artinya: Wajiblah ada di antara kamu kelompok yang menghimbau kepada nilai-nilai kebajikan dan memerintahkan berbuat baik, mencegah kemungkaran, serta mereka itulah orang-orang yang menang.
Waltakun, di dalamnya ada lam al amar, lam yang menyatakan perintah, jadi Allah memerintahkan mesti ada tiga kelompok, yaitu
-- pertama, organisasi yang menghimbau, seperti MUI, FUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM, KPPSI dll. Organisas-organisasi keagamaan ini berda'wah secara kultural menanamkan nilai-nilai Al Furqan dalam masyarakat.
-- kedua, organisasi yang memerintahkan, yang beroperasi di bidang da'wah politik / struktural, yaitu birokrasi yang memerintah dengan peraturan perundang-undangan yang ditimba dari Nilai Mutlak Al Furqan.
-- ketiga, organisasi yang mencegah, yaitu pranata hukum yang mencegah kejahatan. Dalam mekanisme kenegaraan di Indonesia adalah polisi, jaksa dan hakim.
Maka Syari'at Islam tidak boleh dipaksakan dalam konteks kaki yang pertama, yaitu Syari'at Islam ditanamkan dalam masyarakat secara kultural oleh mekanisme organisasi Da'wah. Namun apabila nilai-nilai Syari'ah telah ditimba dan diwujudkan dalam Peraturan Perundang-undangan, maka dalam konteks kaki yang kedua dan kaki yang ketiga oleh mekanisme birokrasi dan pranata hukum, dipaksakanlah Syari'ah itu berupa "law enforcement". WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 3 April 2005