21 Agustus 2005

690. Hati Nurani vs Sikap Politik

Firman Allah SWT:
ANMA ALMWaMNWN AKHWt FASHLhWA BYN AKHWYKM WATQWA ALLH L'ALKM TRhMWN (S. ALhJRAT, 49:10), dibaca: innamal mu'muinu-na ikhwatun faslihu- baina akhawaikum wattaquLla-h la'allakum turhamu-m (s. alhujura-t), aerinya: Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka perdamaikanlah di antara dua pihak saudaramau dan taqwalah kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat rahmat.

Dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU), maka itu berarti baik pemerintah RI maupun GAM, telah mampu menerapkan win-win solution di tengah konflik kepentingan, termasuk konflik bersenjata, sosial, politik, atau lainnya. MoU adalah hadiah yang terpenting bagi Ulang Tahun ke-60 Negara Kesatuan Repiblik Indonesia. Namun dari kedua belah pihak ada yang tersendat, ibarat gangguan batu kerikil di dalam sepatu. Dari pihak ex-GAM batu kerikil itu berupa Komite Penyelamat Revolusi, sedangkan dari pihak kita batu kerikil itu brupa "ancaman" dari PDIP yang akan mengajukan Judicial Review MoU ke Mahkamah Konstitusi.

Fraksi yang membentuk Komite itu yang dijuru-bicarai oleh Razali yang kini berada di Malaysia untuk berobat, mengemukakan alasan penolakannya terhadap MoU, yaitu Teungku Hasan di Tiro tidak terlibat langsung dalam perundingan di Helsinki. Itu katanya hanya ulah beberapa perunding GAM saja yang tidak menyampaikan hal yang sebenarnya kepada Teungku Hasan di Tiro yang sedang sakit-sakitan. Namun sinyalemen Komite Penyelamat Revolusi itu dibantah oleh Reyza Zain Sekjen Aceh Center yang juga salah seorang perunding GAM. Menurut Reyza dalam surat elektroniknya pada tgl 18 Agustus kepada Fajar, bahwa sebelum mereka berangkat ke Helsinki mereka ke rumah Wali (maksudnya Teungku Hasan di Tiro-HMNA-), demikian pula sepulang mereka dari Helsinki.

Adapun halnya batu kerikil dari pihak kita, alasan utamanya PDIP katanya banyak yang menabrak undang-undang, utamanya mengenai bendera sebagai simbol wilayah, itu katanya merupakan negara dalam negara. Baiklah, mari kita adakan face to face antara UUD vs MoU dalam konteks bendera ini.

UUD Pasal 18B [Amandemen 3]:

  1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifar khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
  2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
MoU:
1.1.5 Aceh has the right to use regional symbols including a flag, a crest and a hymn.
1.1.6 Kanun Aceh will be re-established for Aceh respecting the historical traditions
Terjemahan resminya:
1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.
1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.

Apabila apa yang termaktub di atas itu diapresiasi dengan hati nurani dalam suasana kebatinan merasakan penderitaan saudara-saudara kita di tanah Aceh yang dirajam penderitaan puluhan tahun, yang bagaimanapun juga kedamaian adalah keinginan dan cita-cita setiap manusia yang memiliki hati nurani dan iman, maka MoU itu tidaklah melabrak UUD. Akan tetapi jika itu dilihat dengan kaca-mata kesombongan nasionalisme sempit di atas segala-galanya, bahwa simbol wilayah berupa bendera itu merupakan negara dalam negara yang mencederai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibumbui pula dengan sikap politik beroposisi terhadap apa saja yang dibuat oleh SBY+JK maka niscaya terjadi distorsi pandangan yang miring, yaitu MoU itu melabrak UUD.

Semoga Allah memenangkanlah hati nurani, meredam kesombongan nasionalisme sempit serta sikap politik yang menyebabkan terjadinya distorsi. Semoga Allah menurunkan RahmatNya, sehingga damailah di Nanggroe Aceh Darusalam, amin. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 21 Agustus 2005