Sebuah wawancara yang ditimba dari cyber space.
T (Toni Ervianto di Meulaboh, Aceh Barat)
J (Jubir ex-GAM di cyber space)
T: Apakah benar bahwa Pieter Feith adalah agen CIA?
J: Pieter Feith adalah ia berkebangsaan Belanda, belajar ilmu politik di Universitas Lausanne, Switzerland dan lulusan (1970) dari Fletcher School of Law and Diplomacy di Medford, Massachusetts, USA. Tahun 1970 ia bekerja di Kementrian Luar Negeri Belanda, dalam Departemen NATO. Antara tahun 1973-1975 ia diangkat sebagai Sekretaris Dua di Damaskus, Syria. Dari fakta yang ada, Pieter Feith bukan agen CIA, tetapi seorang diplomat Belanda, yang ditugaskan di PBB, sebagai Duta Besar, Wakil Utusan Tetap Misi Belanda untuk NATO dan WEU, sebagai Penasehat Politik untuk Commandan IFOR di Bosnia-Herzegovina. Dari bulan Agustus 1998 sampai oktober 2001 ia bekerja di Staf Internasional NATO sebagai Direktur the Crisis Management and Operations Directorate and Head of the Balkans Task Force. Dan sekarang ia diangkat sebagai Kepala Aceh Monitoring Mission di Aceh.
T: Menurut Anda, apakah yang akan menyebabkan MoU bisa gagal di Aceh ?
J: MoU akan gagal di Aceh:
Apabila tugas-tugas yang diembankan kepada Aceh Monitoring Mission tidak bisa dijalankan sebagaimana yang telah ditentukan sampai pada 31 Desember 2005. Seperti misalnya tidak berhasilnya melakukan demobilisasi ex-GAM yang jumlahnya 3000 pasukan militernya dan decomissioning persenjataannya yang berjumlah 840 buah senjata. Penarikan pasukan non-organik TNI dan Polri tidak sebagaimana yang dijanjikan pihak Pemerintah RI. Dan jumlah pasukan organik TNI melebihi 14.700 orang dan pasukan organik Polri melebih 9.100 orang.
Apabila pihak Pemerintah RI gagal melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun, seperti para milisi-milisi binaan TNI.
Apabila pihak DPR RI tidak berhasil menetapkan Undang-Undang yang mengacu kepada MoU untuk dipakai sebagai payung hukum Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, dan disahkan Pemerintah RI serta diundangkan paling lambat tanggal 31 Maret 2006.
Apabila orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM tidak dibebaskan sampai tanggal 31 Agustus 2005, begitu juga narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik tidak dibebaskan paling akhir tanggal 31 Agustus 2005.
Apabila semua mantan pasukan GAM, semua tahanan politik yang memperoleh amnesti, dan Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik tidak mendapatkan kompensasi yang dijanjikan, seperti alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak bagi yang tidak mampu bekerja. Dan apabila Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak segera dibentuk di Aceh.
T: Menurut Anda, bagaimana sebaiknya tujuan dan motivasi perjuangan organisasi sipil di Aceh pasca MoU ?
J: Tujuan perjuangan organisasi sipil di Aceh pasca MoU adalah mengajak semua rakyat di Aceh yang ada di Aceh untuk tetap memelihara perdamaian, dan secara bersama-sama medirikan Pemerintahan Aceh melalui jalur proses yang jujur, adil, bebas dan rahasia. Dimana Pemerintah Aceh bersama Lembaga Legislatif Aceh ini yang akan membangun negeri Aceh untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Aceh yang ada di Aceh. Pemerintah Aceh yang terbentuk nantinya bersama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca tsunami untuk membangun kembali Aceh dari kehancuran menuju kepada kemakmuran.
Motivasi perjuangan organisasi sipil di Aceh pasca MoU adalah terciptanya perdamaian yang berkelanjutan agar supaya tidak timbul kembali kekerasan dari pihak militer di Aceh, dan tidak kembali lagi TNI dan Polri non-organik ke negeri Aceh.
T: Menurut Anda, apakah ada kemungkinan Tim AMM menggagalkan MoU ?
J: Tim AMM adalah Tim yang diamanati untuk menjalankan pelaksanaan perdamaian di Aceh berdasarkan MoU RI-GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki. Dan adalah suatu pemikiran yang gila kalau ada yang berpikiran bahwa Tim AMM akan menggagalkan MoU di Aceh.
Tim AMM menaruhkan harga dan martabat Negara-Negara anggota Uni Eropa dan Negara-Negara anggota ASEAN. Berhasil perdamaian di Aceh, merupakan keberhasilan Negara-Negara anggota Uni Eropa dan Negara-Negara angggota ASEAN menciptakan perdamaian di Aceh.
T: Setelah MoU, apakah mungkin elit politik di Aceh bisa berdamai, termasuk kelompok civil societynya ?
J: Semua orang Aceh ingin damai di Aceh, tidak ada yang ingin terus berperang di Aceh. Seluruh rakyat di Aceh yang akan menentukan masa depan Aceh. Pemerintah Aceh, Legislatif Aceh, dan disokong penuh oleh seluruh rakyat di Aceh yang akan menjalankan roda pemerintahan Aceh untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan di Aceh.
Dan inilah saatnya bagi seluruh komponen di Aceh, baik itu ex-GAM dan kelompok civil society lainnya diuji, apakah memang mereka mampu dan berhasil membangun perdamaian, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh Aceh atau tidak ?
Membangun negeri adalah lebih sulit dan sangat sulit dibandingkan dengan menghancurkan negeri. Dan justru saat sekarang adalah kesempatan yang terbaik untuk membuka Aceh menjadi negeri yang bebas, yang aman bagi seluruh rakyat di Aceh dan bagi siapapun yang ingin masuk ke Aceh. Negeri Aceh akan menjadi negeri yang terbuka, yang akan mampu bersaing dengan negeri-negeri tetangga lainnya. Hubungan perdagangan dengan semua negara terbuka. Tinggalah, mampukah rakyat di Aceh membangun negeri Aceh ? Kesempatan telah terbuka, jalan telah terbentang didepan.
Iyyaaka Na'budu waIyyaaka Nasta'iyn (Hanya kepadaMu, [ya Allah] kita mengabdi dan hanya kepadaMu [ya Allah] kita mohon pertolongan), amin.
WaLlahu a'lamu bisshawab
*** Makassar, 28 Agustus 2005
28 Agustus 2005
[+/-] |
691. Komitmen ex-GAM Untuk Perdamaian yang Berkelanjutan |
21 Agustus 2005
[+/-] |
690. Hati Nurani vs Sikap Politik |
Firman Allah SWT:
ANMA ALMWaMNWN AKHWt FASHLhWA BYN AKHWYKM WATQWA ALLH L'ALKM TRhMWN (S. ALhJRAT, 49:10), dibaca: innamal mu'muinu-na ikhwatun faslihu- baina akhawaikum wattaquLla-h la'allakum turhamu-m (s. alhujura-t), aerinya: Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka perdamaikanlah di antara dua pihak saudaramau dan taqwalah kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat rahmat.
Dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU), maka itu berarti baik pemerintah RI maupun GAM, telah mampu menerapkan win-win solution di tengah konflik kepentingan, termasuk konflik bersenjata, sosial, politik, atau lainnya. MoU adalah hadiah yang terpenting bagi Ulang Tahun ke-60 Negara Kesatuan Repiblik Indonesia. Namun dari kedua belah pihak ada yang tersendat, ibarat gangguan batu kerikil di dalam sepatu. Dari pihak ex-GAM batu kerikil itu berupa Komite Penyelamat Revolusi, sedangkan dari pihak kita batu kerikil itu brupa "ancaman" dari PDIP yang akan mengajukan Judicial Review MoU ke Mahkamah Konstitusi.
Fraksi yang membentuk Komite itu yang dijuru-bicarai oleh Razali yang kini berada di Malaysia untuk berobat, mengemukakan alasan penolakannya terhadap MoU, yaitu Teungku Hasan di Tiro tidak terlibat langsung dalam perundingan di Helsinki. Itu katanya hanya ulah beberapa perunding GAM saja yang tidak menyampaikan hal yang sebenarnya kepada Teungku Hasan di Tiro yang sedang sakit-sakitan. Namun sinyalemen Komite Penyelamat Revolusi itu dibantah oleh Reyza Zain Sekjen Aceh Center yang juga salah seorang perunding GAM. Menurut Reyza dalam surat elektroniknya pada tgl 18 Agustus kepada Fajar, bahwa sebelum mereka berangkat ke Helsinki mereka ke rumah Wali (maksudnya Teungku Hasan di Tiro-HMNA-), demikian pula sepulang mereka dari Helsinki.
Adapun halnya batu kerikil dari pihak kita, alasan utamanya PDIP katanya banyak yang menabrak undang-undang, utamanya mengenai bendera sebagai simbol wilayah, itu katanya merupakan negara dalam negara. Baiklah, mari kita adakan face to face antara UUD vs MoU dalam konteks bendera ini.
UUD Pasal 18B [Amandemen 3]:
- Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifar khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
- Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
1.1.5 Aceh has the right to use regional symbols including a flag, a crest and a hymn.
1.1.6 Kanun Aceh will be re-established for Aceh respecting the historical traditions
Terjemahan resminya:
1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.
1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.
Apabila apa yang termaktub di atas itu diapresiasi dengan hati nurani dalam suasana kebatinan merasakan penderitaan saudara-saudara kita di tanah Aceh yang dirajam penderitaan puluhan tahun, yang bagaimanapun juga kedamaian adalah keinginan dan cita-cita setiap manusia yang memiliki hati nurani dan iman, maka MoU itu tidaklah melabrak UUD. Akan tetapi jika itu dilihat dengan kaca-mata kesombongan nasionalisme sempit di atas segala-galanya, bahwa simbol wilayah berupa bendera itu merupakan negara dalam negara yang mencederai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibumbui pula dengan sikap politik beroposisi terhadap apa saja yang dibuat oleh SBY+JK maka niscaya terjadi distorsi pandangan yang miring, yaitu MoU itu melabrak UUD.
Semoga Allah memenangkanlah hati nurani, meredam kesombongan nasionalisme sempit serta sikap politik yang menyebabkan terjadinya distorsi. Semoga Allah menurunkan RahmatNya, sehingga damailah di Nanggroe Aceh Darusalam, amin. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 21 Agustus 2005
14 Agustus 2005
[+/-] |
689. Memorandum of Understanding |
The Memorandum of Understanding covers the following topics: governing of Aceh (including a law on the governing of Aceh, political participation, economy, and rule of law), human rights, amnesty and reintegration into society, security arrangements, establishment of the Aceh Monitoring Mission, and dispute settlement. The Government of Indonesia has invited the European Union and a number of ASEAN countries to carry out the tasks of the Aceh Monitoring Mission." (Press Release, Joint statement by the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement (GAM), Helsinki, 17 July 2005)
Besok, tanggal 15 Agustus 2005, insya Allah, draft Memorandum of Understanding (MoU) akan ditandatangani di Helsinki. Sejak 27 Januari 2005 dimulailah perundingan informal antara NKRI dengan GAM sampai lima babak yang diakhiri pada tanggal 17 Juli 2005 di Helsinki. Pada hari itu telah diparaf draft MoU oleh ketua Juru Runding RI dan Ketua Juru Runding GAM.
Dengan adanya tsunami 26 Desember 2005, ternyata telah membuka pintu bagi penyelesaian konflik di Aheh. Baiklah kita kutip paragraf terakhir Seri 657, berjudul "Gempa Diikuti Tsunami, Isyarat Allah", bertanggal 2 Januari 2005, seperti berikut:
"Aceh perlu dibangun dari reruntuhan. Sejarah pertikaian politik dan senjata perlu dilupakan. Blok-blok psikologis ditepis, semuanya memfokuskan perhatian pada kerja berat, dan dana yang tidak sedikit sekitar Rp.10 triliun, serta makan waktu yang panjang untuk membangun Aceh kembali. Ya, semuanya, bukan orang Aceh saja tetapi seluruh rakyat Indonesia, rakyat sipil, birokrat, Polri, ABRI dan GAM. Darurat sipil dicabut disertai amnesti umum dan GAM mundur selangkah, menerima kenyataan Otonomi Khusus "Syari'at Islam" di Nanggroe Aceh Darussalam dalam pangkuan Republik Indonesia. Semoga isyarat Allah berupa tsunami itu dapat dihayati dengan baik, sehingga terciptalah damai di Aceh."
AlhamduliLlah, hal yang penting yang patut disyukuri dalam MoU itu ternyata GAM telah mundur selangkah, yaitu menerima kenyataan Otonomi Khusus "Syari'at Islam" di Nanggroe Aceh Darussalam dalam pangkuan Republik Indonesia.
Wakil Presiden HM Jusuf Kalla, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat 22 Juli 2005 berkata: Kalau yang menolak MoU Helsinki hanya satu partai artinya 80 persen suara sudah menerima. Jadi selesai. Dan siapa yang tidak ingin damai, silakan ke Aceh sendiri untuk angkat senjata. Wapres rupanya mencium bau-bau tidak enak dari sementara golongan yang tidak senang terhadap MoU yang telah disepakati/diparaf itu.
Dan bau tidak enak itu memperlihatkan wajahnya, tatkala Ketua Umum DPP PDIP Megawati menunjukkan sikap negatifnya terhadap Kesepakatan Helsinki yang tertuang dalam MoU tersebut. Hal itu terbongkar ketika Megawati di hadapan peserta kursus reguler Lemhanas angkatan 38 di Gedung Lemhanas, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis, 28 juli 2005 telah melambungkan salto penentangannya terhadap MoU yang akan ditanda-tangani besok, insya-Allah, 15 Agusutus 2005 tersebut.
Penentangan PDIP terhadap MoU itu apapun alasannya mengingatkan kita pada waktu mulai diproses UU tentang otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Baiklah kita kutip dari Seri 474, bertanggal 13 Mei 2001. "PDIP menolak pemberlakuan Syari'at Islam dalam RUU Nanggroe Aceh Darusslam yang kini sedang dibahas dalam Pansus DPR. Demikian ditegaskan Sutjipto, Sekjen yang juga ketua fraksi PDIP di MPR, setelah menghadiri rapat tertutup PDIP yang dipimpin Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. RUU Nanggroe Aceh merupakan salah satu fokus utama pembahasan dalam rapat tertutup itu. Syari'at Islam di bumi Serambi Mekah itu katanya tidak sesuai dengan Pancasila dasar negara dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)." Ada apa sebenarnya antara PDIP dengan Aceh?
***
Walaupun MoU itu belum diumumkan apa isinya, namum tidak dapat tidak dalam hasil kesepakatan Helsinki itu patut diduga tentu ada yang menyangkut masalah amandemen Undang Undang No.18/2001 atau Undang Undang No.31/2002, yaitu tentang hak partisipasi politik secara adil yang salah satunya melalui partai politik lokal di Aceh, maka mau tidak mau pihak DPR harus melakukan amandemen Undang Undang tersebut.
Tampaknya ada kartu kuat yang dimiliki oleh pihak Eksekutif dibanding kartu yang dimiliki pihak Legislatif terutama dari kelompok PDI-P yang menguasai sekitar 109 kursi di DPR ditambah dengan kolaborasinya dari PKB yang menduduki 52 kursi. Apabila harus terjadi sampai pemungutan suara untuk meratifikasi MoU yang ditandatangani 15 Agustus 2005, dan amandemen Undang Undang No.18/2001 atau Undang Undang No.31/2002, maka melihat secara teoritis pihak PDI-P dan PKB akan kalah dalam pemungutan suara. Dan hal ini telah diperhitungkan pihak Eksekutif, sehingga Jusuf Kalla berani menyatakan: Kalau yang menolak hanya satu partai artinya 80 persen suara sudah menerima. Jadi selesai. Dan siapa yang tidak ingin damai, silakan ke Aceh sendiri untuk angkat senjata, seperti yang telah ditulis di atas itu.
Firman Allah:
-- FAaDzA FRGhT FAaNShB . WALY RBK FARGhB (S. ALANSyRAh, 94:7,8), dibaca: faidza- faraghta fanshab . waila- rabbika faraghab, artinya: apabila engkau telah selesai (satu tahap), berupayalah (melanjutkannya) . Dan kepada Maha Pengaturmu berharaplah. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 14 Agustus 2005
8 Agustus 2005
[+/-] |
688. Namanya Ahmad dan Wahyu yang Akan Datang |
Seri 688 ini masih merupakan lanjutan dari Seri 686 yang berjudul Khaatmun Nabiyyin. Sebelum membahas judul di atas, ada dua catatan yang akan dikemukakan.
Pertama, pada malam akhir pekan yang lalu Metro TV mengadakan acara Talkshow, membahas Ahmadiyah, dengan Sandrina Malakiano selaku moderator. Tampaknya pengetahuan Sandrina tentang Ahmadiyah sangatlah sedikit untuk dapat becus menjadi moderator dalam Talkshow itu. Ditambah pula hembusan angin Liberalisme di belakang layar yang menyebabkan Sandrina tidak netral dalam membawakan acara tersebut, yaitu menyudutkan pihak MUI serta pemerintah.
Kedua, dalam rubrik Surat dari Pembaca Harian Fajar, edisi Kamis 4 Agustus 2005, Wahid Rijal HN menuliskan keinginannya agar IMMIM menjadi mediasi dalam kasus Ahmadiyah, dan supaya DPP IMMIM cq Panitia Diskusi mengagendakan Ahmadiyah dalam diskusi bulanan akhir pekan yang rutin diselenggarakan di Aula-kecil Islamic Centre. Dalam tulisannya itu Wahid Rijal HN mendeskreditkan Allahu Yarham KH Fadli Luran karena sikap tegas beliau dalam kepemimpinannya di DPP IMMIM menolak faham Ahmadiyah, lalu mencoba memprovokasi supaya DPP IMMIM yang sekarang ini bersifat netral terhadap Ahmadiyah. IMMIM tidak pernah bergeser dari sikap semula tentang penolakan Ahmadiyah Qadiyan. Dalam pembicaraan dengan Prof DR Ahmad Sewang MA, penanggung-jawab diskusi bulanan di IMMIM, saya sebagai anggota Dewan Penasihat DPP IMMIM menyarankan tidak ada gunanya mengagendakan Ahmadiyah Qadiyan dalam diskusi bulanan IMMIM.
Setelah Ghulam Ahmad meninggal dunia, maka pengikut-pengikutnya terpecah dalam dua kelompok. Ada yang berpusat di Qadiyan menyandang nama Akmadiyah Qadiyan, dan yang satu Akmadiyah Lahore yang berpusat di Lahore. Ahmadiyah Qadiyan di bawah pimpinan Bashiruddin Mahmud Ahmad mengubah Dua Kalimah Syahadat menjadi tiga, yaitu ditambah dengan pengakuan Ghulam Ahmad sebagai nabi, sedangkan Ahmadiyah Lahore di bawah pimpinan Mawli Muhammad Ali tidak mengakui Ghulam Ahmad sebagai nabi hanya sebagai mujaddid saja. Dengan demikian Ahmadiyah Lahore tidak akan dibahas, karena aqidahnya tetap, yaitu tetap Dua Kalimah Syahadat.
Ahmadiyah Qadiyan, yang selanjutnya disebut Qadianisme karena menambah-nambah Dua Kalimah Syahadat menjadi tiga, yaitu pengakuan Ghulam Ahmad sebagai nabi, maka rusaklah aqidahnya, syahadatnya Qadiyanisme batal. Karena batal syahadatnya, Rukun Islam Pertama batal, maka Qadianism bukan Islam. Qadianisme mempergunakan tiga ayat dalam Al Quran sebagai pembenaran Tiga Kalimah Syahadat, yaitu: Khatamun Nabiyyin (sudah dibahas dalam Seri 686), namanya Ahmad dan wahyu yang akan datang.
-- WADz QAL 'AYSY ABN MRYM YBNY ASRAaYL ANY RSWL ALLH ALYKM MShDQA LMA BYN YDY MN ALRWRAt WMBShRA BRSWL YAaTY MN B'ADY ASMH AhMD (S. ALShF, 61:6), dibaca: waidz qa-la 'i-sa bnu maryama ya- bani- isra-i-la inni- rasu-lu Lla-hi ilaikum mushaddiqal lima- baina yadayya minat tawra-ti wamubasysyuram birasu-liy ya'ti- ismuhu- ahmad, artinya: Ingatlah tatkala 'Isa anak Maryam berkata: Hai Bani Israil, sesungguhnya saya Rasul Allah (yang diutus) kepada kamu sekalian, serta membenarkan apa yang sebelumku yaitu Tawrah dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul, yang akan datang sesudahku namanya Ahmad. Qadianisme ngotot betul bahwa yang bernama Ahmad dalam ayat [61:6] itu ialah Ghulam Ahmad. Dikatakan ngotot, karena Ahmad itu adalah nama lain dari Muhammad SAW. Qadianisme dengan lancang "melompati" Nabi Muhammmad SAW, suatu pembenaran secara lancang bagi Ghulam Ahmad.
Khatamun Nabiyin dan namanya Ahmad, sangat getol dikampanyekan misionaris Qadianisme sebagai pembenaran Tiga Kalimah syahadat mereka. Dan juga sangat sengit dibantah oleh ummat Islam. Mengenai wahyu yang akan datang, sepanjang pembacaan saya tidak pernah dikemukakan oleh para misionaris Qadiyanisme. Ini saya dapatkan dalam "Tafsir" Bashiruddin Mahmud Ahmad, yang kitabnya itu ada dalam perpustakaan pribadi saya.
-- WALDzYN YUaWMNWN BMA ANZL ALYK WMA ANZL MN QBLK WBALAKhRt HM YWQNWN (S. ALBQRt, 2:4), dibaca: walladzi-na yu'minu-na bima- unzila ilaika wama- unzila min qablika wabil a-khirati hum yu-qinu-n, artinya: Dan orang-orang yang beriman kepada (Kitab) yang diturunkan kepada engkau (hai Muhammad) dan (Kitab-Kitab) yang diturunkan sebelum engkau dan dengan (hari) akhirat mereka itu yakin.
Dalam "Tafsir" Bashiruddin Mahmud Ahmad potongan ayat wabil a-khirati hum yu-qinu-n diterjemahkan:
-- and they have firm faith in what is yet to come (dan mereka yang teguh keyakinannya tentang apa yang akan datang). Ini ditafsirkan spb: The word ALAKhRt (what is yet to come) means either "the message or revelation which is to follow" or "the Last Abode", i.e., the next life. Of these two meanings the first is more applicable here (Kata ALAKhRt-mereka yang teguh keyakinannya tentang apa yang akan datang- berarti salah satu di antaranya, risalah atau wahyu yang akan menyusul, ataukah tempat berteduh terakhir, yaitu kehidupan yang akan datang. Dari kedua makna ini, makna yang pertamalah yang lebih tepat dipergunakan di sini).
Kita ulangi mengutip ayat [2:4]:
-- WALDzYN YUaWMNWN BMA ANZL ALYK WMA ANZL MN QBLK WBALAKhRt HM YWQNWN.
Perhatikanlah potongan ayat sebelum WBALAKhRt HM YWQNWN, yaitu:
-- ANZL MN QBLK (diturunkan sebelum engkau), yang ada ialah kata QBL (qabla = sebelum). Maka di sini Qadianisme membuat kesalahan yang fatal, karena kata ALAKhRt (kata benda) dijadikannya lawan dari kata QBL (preposisi), padahal lawan QBL adalah B'AD (ba'da). Dengan demikian pemaknaan ALAKhRt = risalah atau wahyu yang akan menyusul oleh Qadiyanisme sangatlah diakal-akali, amat dipaksakan. Jadi jelas, Qadiyanisme memperalat ayat [2:4] sebagai pembenaran akan turunnya wahyu ataupun datangnya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Dalam ayat [2:4] kata ALAKhRt bermakna hari akhirat atau hari kemudian. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 8 Agustus 2005