14 Februari 1993

067. Sumberdaya Manusia yang Berkwalitas

Marilah kita buka tulisan ini dengan dialog antara Allah dengan para malikat. Pada waktu Allah SWT akan menjadikan khalifah di muka bumi ini, maka para malaikat mempermasalahkannya, seperti dapat kita baca dalam S. Al Baqarah, 30:

ataj'alu fieha man yufsidu fieha wa yasfiqu ddima-a....,apakah Engkau akan menjadikan di atasnya (bumi) yang akan merusak di atasnya dan menumpahkan darah? Para malaikat itu hanya melihat kepada naluri manusia, yaitu naluri mempertahankan hidup. Mencari makan kalau lapar, air kalau haus, melawan atau melarikan diri kalau diserang, nafsu syahwat untuk kelangsungan jenisnya. Dan untuk itu semua, kalau perlu akan merusak dan menumpahkan darah. Malaikat mempunyai penilain yang negatif tentang diri Adam yang akan diangkat menjadi khalifah, karena hanya melihat secara parsial, malaikat tidak dapat membedakan antara mnusia dengan binatang. Karena memang dari segi naluri mempertahankan hidup ini tidak ada perbedaan antara manusia dengan binatang. Makhluk "manusia" pra-Adam yang telah disaksikan malaikat selama itu, sesungguhnya tidaklah sama dengan Adam yang akan diangkat menjadi khalifa itu. Kita akan membahas "manusia" pra-Adam atau manusia purba ini insya Allah dalam kesempatan yang akan datang. Maka Allah menujukkan kepada malaikat akan pandangan malaikat yang hanya mengandung separuh dari kebenaran itu. Dalam ayat yang berikutnya dapat kita baca:

Wa 'allama adama l-asma-a kullaha, .... Dan Allah mengajarkan setiap nama kepada Adam. Nama-nama yang diajarkan Allah kepada Adam ialah dalam arti identifikasi benda-benda beserta dengan fungsinya untuk dapat dimanfaatkan, dan yang terpentng bagaimana memelihara dan memodifikasi benda-benda iutu. Dan untuk itu perlu adanya perlengkapan pada manusia yang lebih tinggi dari naluri yaitu akal. Adapun manusia purba dan binatang hanya dapat mengenal benda-benda berdasarkan atas naluri saja. Manusia purba dan binatang tidak dapat memelihara apalagi untuk memodifikasi benda-benda itu. Dan di sinilah kelebihan manusia itu. Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang dan manusia purba yang telah disaksikan oleh malaikat selama itu. Dengan akal manusia dapat belajar, utamanya berzikir dan berpikir.

Supaya akal dapat berpikir, maka perlu informasi. Kwalitas produk akal yaitu hasil pemikiran tergantung pada banyaknya informasi yang didapatkan. Makin banyak informasi yang diperoleh, makin tinggi kwalitas hasil pemikiran. Kesanggupan manusia untuk dapat mengumpul informasi hanya sebatas apa yang dapat ditangkap oleh pancainderanya, jadi hanya sebatas alam syahadah (physical world). Itupun hanya sebatas bumi dan sekelilingnya, yang jauh-jauh tentu sangat terbatas, hanya secuil, paling-paling pancaindera dapat dibantu dengan telescoop. Maka dengan terbatasnya informasi yang mampu dikumpul manusia, berarti sangat terbatasnya pula daya pikir akalnya. Itupun baru dalam ruang lingkup alam syahadah, yang dapat ditangkap oleh pancainderanya. Lalu bagaimana dengan alam ghaib, yang tidak dapat dideteksi oleh pancaindera?

Allah SWT sebagai Ar Rabb, Maha Pengatur, Yang telah memberikan tugas kekhalifaan kepada manusia di atas bumi, menurunkan wahyu kepada para Rasul. Dimulai dari Nabi Adam AS dan berakhir pada Nabi Muhammad SAW. Dengan wahyu itu manusia mendapatkan informasi yang tidak mungkin dapat diperolehnya dengan usahanya sendiri. Maka demikianlah adanya. Manusia punya naluri, yang dalam hal ini ia sama dengan binatang. Lalu Allah membrikan akal dan inilah yang membedakan antara manusia dengan manusia purba dan binatang. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada para manusia pilihan. Dan dengan wahyu inilah yang membedakan antara manusia beriman dengan manusia yang bersikap sekuler. Manusia beriman akalnya dituntun oleh wahyu, manusia sekuler bertuan kepada akalnya, menjadikan akalnya sebagai berhala.

Di dalam Isra, Rasulullah SAW mengendarai Buraq, lalu dituntun oleh Jibril. Kalau kita simak, inilah konfigurasi atau tata-letak naluri, akal dan wahyu. Akal mengendarai naluri, wahyu menuntun akal. Konfigurasi akal dituntun wahyu dan akal mengendalikan naluri sangat penting artinya dalam pembangunan bangsa maupun pembangunan kebudayaan ummat manusia pada umumnya. Perencanaan yang berkwalitas berasal dari pemikiran yang berkwalitas. Dan pemikiran yang berkwalitas baru tercapai jika pemikir itu tidak semata-mata mengandalkan akal belaka. Harus mengikuti konfigurasi atau tata-letak tersebut tadi, yaitu akal dituntun oleh wahyu. Tidak kurang hasil perencanaan yang tidak berkwalitas karena dihasilkan oleh pemikir yang akalnya tidak dituntun oleh wahyu. Nilai-nilai wahyu dicuekkan olehnya.

Sekadar contoh yang sederhana. Perencanaan tentang SDSB lahir dari pemikir yang akalnya tidak mengindahkan nilai wahyu. Demikian pula selanjutnya, perencanaan baru ada artinya jika pelaksanaannya sesuai dengan perencanaan. Inipun harus mengikui konfigurasi tadi, akal harus mengendalikan naluri. Betapa banyaknya pelaksanaan yang tidak berhasil dengan baik dalam arti
sesuai dengan perencanaan, oleh karena para pelaksananya meletakkan nalurinya di atas akalnya. Betapa tidak kurangnya yang profesional dan terampil dalam bidang ilmunya tidak berhasil dalam pelaksanaan perencanaan, karena naluri kebinatangannya mengendarai akal kemanusiaannya, yaitu melanggar konfigurasi yang di atas itu.

Maka demikianlah adanya. Sumberdaya manusia yang berwalitas bukan hanya sekadar manusia yang profesioanl dan terampil dalam bidang ilmunya, yang sekarang ini namapaknya bobotnya dikhususkan pada penguasaan sains dan teknologi. Sekali lagi, sumberdaya manusia yang berkwalitas bukan sekadar penguasaan ilmu dan teknologi belaka. Sumber daya manusia yang berkwalitas adalah para manusia yang tunduk pada konfigurasi, wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri. Penguasaan ilmu dan teknologi adalah urutan kedua. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 14 Februari 1993