26 September 1993

096. Taktik dan Strategi dalam Perjanjian Hudaybiyah

Pada zaman Jepang seorang serdadu Jepang membentak nakhoda perahu sambil meludahi kedua telapak tangannya: "Bagero, kunapa purahu kusituka?". Tentera Jepang kalau membentak dengan bagero disertai dengan meludahi telapak tangan itu berarti siap-siap untuk menempeleng. Ia marah besar kepada nakhoda perahu, oleh karena tujuan perahu menyimpang sekitar 45 derajat ke kiri dari arah pulau yang akan dituju, p.Jampea. Melihat gelagat tentera Jepang yang menyandang samurai itu, nakhoda perahu dengan tenang menatap mata heitai Jepang itu dengan sinar mata yang tajam dengan "pandangan berisi", yang mengandung pengaruh sirap. Hasilnya, Jepang itu tertunduk, sikapnya melemah, butir-butir keringat menyembul di keningnya. Dahulu para nakhoda perahu bukan hanya terampil melayarkan bahtera saja, melainkan harus pula menguasai ilmu "pandangan berisi" sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi nakhoda. "Tuan, kita menggergaji, kita mendapat angin sakal, bukan angin buritan", nakhoda itu menjelaskan. Sungguhpun serdadu Jepang itu kurang begitu mengerti penjelasan sang nakhoda, ia mangguk-mangguk saja, maklumlah hatinya sudah kecut oleh sinar mata sang nakhoda. Apa sesungguhnya yang terjadi ialah perahu itu harus menempuh lintasan seperti mata gergaji, zig zag, oleh karena angin tidak bertiup dari belakang perahu. Itu biasa dalam dunia pelayaran, yang belum difahami oleh serdadu Jepang itu.

Yang berikut ini bukan kejadian masa silam melainkan cerita yang sering terjadi di zaman modern ini. Seorang remaja berpapasan dengan temannya dalam arah berlawanan. Yang satu memberikan isyarat kepada yang lain, suatu isyarat yang cukup difahami oleh remaja lainnya, "ada sweeping". Remaja yang diberi isyarat membelokkan kendaraannya menyimpang 90 derajat dari arah semula memasuki jalan kecil.

Kejadian pada musim gugur 1973, saya naik trein dari Den Haag (tempat saya bermukim selama di negeri Belanda) ke Amsterdam. Dalam trein di depan tempat duduk saya duduk seorang nyonya. Hampir bersamaan menyapa, nyonya itu sekejap lebih dahulu: "Waar gaat U heen?" [tuan mau kemana]. "Naar Brussel, mevrouw" [ke Brussel, nyonya], sahut saya. Nyonya itu agak tertegun, kemudian berkata lagi: "Maar mijnheer, U bent in de verkeerde richting. Deze trein komt van Brussel [Tetapi tuan, tuan berada dalam arah yang salah, trein ini dari Brussel]. "Nee mevrouw ik ben niet in de verkeerde richting. Ik moet naar Schiphol gaan, en daarna ga ik met twinotter naar Brussel vliegen" [Tidak nyonya, saya tidak dalam arah yang salah, karena saya mesti ke Schiphol dahulu dan dari sana saya akan terbang dengan twinotter ke Brussel], jawab saya. Apa sesungguhnya yang terjadi, saya dalam perjalanan pulang ke tanah air. Pada hari keberangkatan yang saya rencanakan sudah kehabisan tiket GIA di Schiphol (lapangan terbang di Amsterdam). Ada keengganan yang tiba-tiba datang begitu saja dalam hati saya untuk terbang ke tanah air naik KLM (Koninkelijke Luchtvaart Maatshappij = GIA-nya Belanda). Menurut petunjuk dari brosur saya dapat menunggu GIA dari London di Brussel (ibu kota Belgia). Ternyata seat masih tersedia di Bussel keesokan harinya, maka saya belilah tiket untuk itu. Keesokan harinya pada hari keberangkatan itu saya naik trein dari Den Haag ke Amsterdam seperti yang saya ceritakan di atas itu. Kengganan saya untuk naik KLM itu didorong oleh firasat yang membawa hikmah. Saya baca di koran Jakarta setibanya di tanah air, justru KLM, yang nyaris saya tumpangi hari itu di Schiphol, dibajak.

Apa yang terjadi dalam ketiga cerita di atas itu, nakhoda, remaja dan saya sendiri itu, kalau diterjemahkan ke dalam ilmu manajemen adalah perencanaan taktis yang tujuannya menyimpang dari perencanaan strategis. Dalam hal nakhoda itu, arah perencanaan taktis menyimpang 45 derajat dari arah perencanaan strategis, berlayar ke p.Jampea. Adapun halnya dengan remaja kita itu yang menuju ke selatan kota dalam melaksanakan rencana strategisnya, arah perencanaan taktis menyimpang 90 derajat dari arah yang stategis. Sedangkan yang terjadi pada diri saya perencaan taktis ke Schiphol, menyimpang 180 derajat dari arah perencanaan strategis ke Brusel.

***

Dalam perundingan Hudaybiyah yang menghasilkan Perjanjian Hudaybiyah, dalam proses penandatanganan perjanjian itu kita dapat melihat RasuluLlah SAW sebagai diplomat dan strateg ulung. Bagaimana upaya taktis beliau dalam rangka mencapai tujuan strategis, tidak dapat difahami oleh para sahabat, bahkan Umar dan Ali radhiya Llahu 'anhuma menyatakan ketidak setujannyya kepada RasuluLlah. "Ya RasululaLlah, apakah kita ini tidak benar?" "Kita benar, ya Umar!" Tetapi RasuluLlah mengapa kita mesti mengalah demikian banyak?" Adapun yang diprotes Umar dan Ali radhiya Llahu 'anhuma ada empat butir. Yang pertama, BismiLla-hi rRahma-ni rRahiem disanggah oleh Suhail yang utusan kaum kafir Quraisy. Suhail menghendaki bismika Allahumma, alasan Suhail Allah mereka kenal, tetapi arRahma-n dan arRahiem tidak dikenalnya, dan itu diiyakan RasuluLlah. Yang kedua, Suhail menghendaki Muhammad RasuluLlah diganti dengan Muhammad ibn 'AbdulLah, alasan Suhail, justru karena Muhammad memaklumkan dirinya nabi, maka terjadi perang di antara kedua pihak. Lagi-lagi RasuluLlah mengiakan. Yang ketiga, apabila ada penduduk Makkah ke Madinah maka pihak Madinah harus mengembalikannya, jika diminta oleh pihak Makkah. Yang keempat, apabila ada penduduk Madinah ke Makkah, pihak Madinah tidak berhak menuntutnya kembali ke Madinah. Setelah Suhail pergi, maka RasuluLalah SAW mnjelaskan bahwa dengan Perrjanjain Hudaybiyah itu Madinah telah diakui sebagai negara oleh pihak Makkah dan itu sangat strategis. Perihal yang pertama, esensinya tidak berubah, bismika Allahumma dan Bismi Llahi rRahman rRahiem keduanya mengandung makna atas nama Allah. Yang kedua, Muhammad RasuluLlah dan Muhammad ibn AbduLlah keduanya mengandung nama Allah dan Muhammad. Yang ketiga, ummat Islam Madinah yang sudah mantap imannya dapat dikirim ke Makkah untuk berda'wah tentu secara bijaksana, dan kalaupun ada penduduk Madinah yang lari ke Makkah karena murtad, buat apa dia kembali ke Madinah lagi. Yang keempat, penduduk Makkah yang sudah Islam dan terpaksa melarikan diri dari Makkah, mereka tidak akan lari ke Madinah, melainkan akan membentuk kelompok ummat Islam di luar Madinah, yang tidak diikat oleh Perjanjian Hudaybiyah. Dikemudian hari kelompok tersebut mengganggu jalur kafilah dagang Abu Sufyan, dan tentu saja pihak Makkah tidak dapat menuntut apa-apa ke pihak Madinah. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 26 September 1993