14 November 1993

103. Euphemisme Tanpa Bingkai?

Dalam kesusasteraan lama biasa kita temui gaya simbolik untuk menghaIuskan ungkapan. Seperti misalnya dalam Kaba Cindue Mato dan dongeng Sangkuriang. Kaba adalah bentuk kesusateraan yang bergaya prosa berirama. Dalam prosa lirik Cindur Mata itu tersebutlah bahwa Bundo Kanduang, Ratu Pagarruyuang dan dayangnya diberi minum kelapa oleh sahaya istana. Keduanya lalu mengandung. Bunda Kandung melahirkan Dang Tuanku dan sang dayang melahirkan Cindur Mata. Ini adalah ungkapan penghalusan yaitu Dang Tuanku dengan Cindur Mata bersaudara tiri sebapak dengan yang sahaya istana. Keduanya masing-masing beribukan Ratu Kerajaan Pagarruyung dan dayang istana. Demikian pula dalam dongeng Sangkuriang tersebut seorang anak raja yang pergi berburu kencing di atas daun keladi, kemudian datang seekor babi ménjilat daun keladi yang basah dengan air kencing anak raja itu. Babi itu hamil, kemudian melahirkan Dayang Sumbi, ibu Sangkuriang. Ini adalah gaya penghalusan dilihat dan segi ukuran feodalisme. Anak raja yang berburu di hutan itu jatuh cinta kepada anak gadis orang utas, perambah hutan menurut istilah sekarang. Dari kacamata feodalisme, orang utas yang rakyat jelata itu dianggap hina disamakan dengan babi.

Kalau menyangkut kata, maka gaya penghalusan itu disebut euphemisme. Seperti misalnya ungkapan yang serba tuna, tuna wisma untuk gelandangan, tuna karya untuk penganggur, tuna daksa untuk cacat tubuh, tuna grahita untuk cacat mental, tuna rungu untuk bisu-tuli, tuna netra untuk buta, dan tuna susila atàu menurut H. Dg.Mangemba tunasila untuk pelacur. (Menurut H.Dg.M. su artinya baik, jadi susila artinya sila yang baik, jadi kalau digabung dengan tuna, maka su harus dihilangkan, lalu menjadilah Tunasila). Kelihatannya sudah menggejala euphemisme ini tanpa batas, sehingga sudah ada nada protes menyindir. Pemabuk disebut dengan sindiran tuna saqring. Ini bahasa daerah Makassar tu nasaqring, arti harfiahnya orang yang alergi. Nasaqringi doang artinya alergi terhadap udang, nasaqringi atau nabengoi ballo', artinya alergi terhadap tuak, mabuk karena tuak.

Terkadang euphemisme ini menjurus pada ketidak jujuran. Yaitu menyembunyikan sesuatu dengan label atau bungkusan. Bahkan perihal bungkus-membungkus yang mencerminkan sikap ketidak-jujuran ini sudah merambat ke wawasan yang formal. Apa yang dibungkus dibalik kata sumbangan dalam SDSB dan SPP? Bukankah istilah judi itu disembunyikan di balik kata sumbangan? Mengapa tidak sejara jujur saja dikatakan uang sekolah?

Seharusnya euphemisme ini ada batasnya. Yang jelek dalam hubungannya dengan kesusilaan tidak perlu gaya euphemisme. Pelacur, banci, tidak usah dihaluskan. Sebab kalau dihaluskan yang bersangkutan tidak akan merasa malu bertingkah demikian. Maka tetaplah dikatakan pelacur, tidak usah dihaluskan menjadi tuna susila atau tuna sila, kalau perlu yang vulgar, lonte, cabo. Tidak usalah dihaluskan menjadi hadam, eh wadam, waria, melainkan tetaplah banci, bencong, atau usahakanlah bahasa daerah calabai menjadi kosa kata bahasa Indonesia. Melanggar HAM? Yaitu melanggar hak untuk diperlakukan secara adil? Artinya kalau yang lain diperlakukan dengan penghalusan tuna, mengapa pelacur tidak boleh? Menurut saya gaya euphemisme yang menyangkut penyelewangan melanggar KAM, Kewajiban Asasi Manusia: Amar Ma'ruwf Nahie Munkar, menyuruh arif bijaksana, mencegah penyelewengan. Mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Tidak menyembunyikan yang salah itu dibalik bungkusan kebenaran yang semu. Mengatakan judi itu judi, tidak menyembunyikannya di balik label sumbangan berhadiah.

Walhasil euphemisme itu perlu diberi berbingkài dengan nilai bayan, kejelasan, clarity. Dengarlah Firman Allah dalam Al Quran, tentang Al Bayan:
-- Ya- Ayyuha Lladziyna A-manuw Innama lKhamru wa IMaysiru wa lAnshaabu wa lAzlaamu Rijsun Min 'Amali sySyaythaani fa Jtanibuwhu La'allkum Tuflihuwn (S. Al Maaidah, 90). Hai orang orang beriman, sesungguhnya minuman keras, judi, sesembahan untuk berhala, undian nasib, adalah kotor, termasuk hasil perbuatan setan, maka jauhilah akan dia. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 14 November 1993