21 November 1993

104. Tawhied, Nativisme dan Kepariwisataan

Sudah sering didengar bahwa kita perlu selektif terhadap wisatawan manca negara jangan sampai mencemari lingkungan budaya dan fisik. Namun masih jarang diperdengarkan betapa perlunya pula selektif terhadap kebudayaan lama yang dipromosikan untuk menarik wisatawan, jangan sampai menjurus pada nativisme yang bententangan dengan nilai tawhied.

Dahulu kala orang mempertuhankan hantu penguasa hutan, bukit, lembah, rawa, sungai, danau yang disebutnya dengan Patanna Butta, yang empunya daerah. Menurut informasi yang pernah saya dengar dan E.A.Mokodompit konon menurut penduduk pedalaman di Sultra, hutan di sana dijaga oleh hantu yang bergelar Songko' Toroki. Tuhan kalau dibaca terbalik secara syllabic akan berubah bacaannya menjadi hantu, artinya hantu adalah lawan dari Tuhan. Jadi dilihat dan segi bahasa saja perbuatan mempertuhanl hantu ini adalah perbuatan yang kontradiktif. Perbegu, kepercayaan menyembah hantu ini melahirkan budaya sesembahan yang dianggap sakral. Hantu penguasa itu disuguhi sesembahan dalam upacara yang disebut accera', maccera', mendarah, yaitu menyembelih binatang, mengoleskan darah binatang itu, kepalanya ditanam, untuk persembahan yang sakral, yang dalam bahasa Inggeris disebut offering dan sacrifice (persembahan yang sakral). Dalam masyarakat tidak jarang binatang sesembahan itu dirancukan dengan istilah kurban. Maka kerancuan mi perlu dicerahkan.

Berfirman Allah dalam Al Quran S. Al Hajj 36,37 yang artinya:
-- Apabila gugur sembelihan-sembelihan itu makanlah sebagiannya dan selebihnya berilah makan kepada orang-orang miskin yang tidak meminta dan yang meminta. Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak pula darah-darahnya, akan tetapi yang sampai kepadaNya ialah ketaqwaan kamu. Jadi ajaran Islam menolak pemahaman kurban sebagai sesembahan yang sakral. Kurban bukanlah offering, bukan pula sacrifice. Kurban dipungut dari bahasa Al Quran, yaitu "Qurban", yang dibentuk oleh akar kata yang terdiri dan 3 huruf: qaf, ra, ba, artinya dekat. Menyembelih binatang kurban, dagingnya untuk dimakan sendiri dan untuk dimakan fakir miskin sebagai fungsi sosial. Darahnya dibu?ng, karena haram dimakan. Dan arti spiritualnya mendekatkan din, taqarrub kepàth Allah SWT sebagai tanda berbakti kepadaNya melaksanakan perintahNya dengan semangat taqwa.

Dalam wawasan yang Mu'amalah berlaku qaidah: "semua boleh kecuali yang dilarang. Artinya segala produk budaya pada dasarnya semuanya boleh, kecuali yang bertentangan nilai tawhied. Semua produk budaya yang dibangun di atas landasan kepercayaan yang menyimpang dari nilai tawhied disebut khurafat. Jadi kebudayaan boleh berkembang secara selektif: yang khurafat harus dihentikan. Dalam hubungannya dengan khurafat dan kemungkaran lain pada umumnya, Allah berfirman
-- Fa Dzakkir in Nafa'ati dzDzikra-, maka berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat (S. Al A'la- 9). Dan RasuluLlah bersabda: Jikalau melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangan, kalau tidak mampu ubahlah dengan mulut, dan kalau itupun tidak mampu juga, jagalah qalbu. Namun yang terakhir mi adalah sikap beriman yang selemah-lemahnya. Ayat dan Hadits di atas itu dinyatakan dalam ungkapan yang lebih pendek: Amar Ma'ruwf Nahie Munkar, menyuruh anif bijaksana mencegah penyelewengan, yang menjadi inti dan Kewajiban Asasi Manusia. Apabila dalam rangka promosi kepariwisataan disuguhkan tradisi yang bertentangan dengan nilai tawhied, maka penyelenggara hendaklah dengan niat menyuguhkannya hanya sekadar sebagai tayangan saja, supaya terhindar dan dosa karena mengerjakan yang khurafat itu. Dan sebelum ditayangkan kepada khalayak, hendaklah diinformasikan baik secara tertulis maupun secara lisan bahwa: Demikianlah konon kepercayaan nenek moyang kami dahulu yang masih memuja hantu yang dianggap penguasa. Apa yang ditayangkan ini cuma sekadar untuk dilihat-lihat, bukan untuk ditiru atas dasar meyakini kebenarannya. Takusahlah pula diberi justifikasi dengan memberikan arti yang kelihatannya filosofis tentang makna kepala binatang sesembahan itu, seperti misal otak, telinga, mata, hidung, lidah, makna ini, kemini (ke ini + mengini), itu, kemitu. Hindarkanlah itu nativisme yang bertentangan dengan nilai tawhied.

Tentang sesembahan ini dengarlah Firman Allah:
-- Ya- Ayyuha Lladziena A-manuw Innama lKhamru wa lMaysiru wa lAnshaabu wa lAzlaamu Rijsun Min 'Amali sySyaythaani fa Jtanibuwhu La'allkum Tuflihuwn (S. Al Ma idah, 9O).Hai orang-onangberiman, sesungguhnya minuman keras, judi, sesembahan untuk berhala, undian nasib, adalah kotor, termasuk hasil perbuatan setan, maka jauhilah akan dia, agar kamu mendapat keberuntungan.

Kalau pada hari Ahad yang lalu ayat ini dikutip untuk disorotkan pada al maysir + al azlam, judi + undian, yang diberi label sumbangan dalam SDSB, maka hari ini disorotkan pada al anshaab, sesembahan, yang dibeberapa daerah ditayangkan untuk promosi menarik wisatawan, yang antara lain seperti misalnya maccera' tappareng. WaLlahu a'almu bisshawab.

*** Makassar, 21 November 1993