10 Juni 2007

782. Dampak Negatif Pembangunan Fisik dan Teknologi Terhadap Lingkungan

Tanggal 5 Juni ybl. adalah Hari Lingkungan Hidup. Penulis ingin pula berpartisipasi mengingatkan kita semua untuk sadar lingkungan, terkhusus untuk kerusakan lingkungan oleh karena pencemaran. Demikianlah situasi global dewasa ini. Selain emisi gas-gas beracun yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik ada pula gas-gas yang sebenarnya tidak beracun tetapi berbahaya, yaitu yang disebut dengan gas-gas rumah kaca (green house gases), utamanya gas CO2. Disebutkan demikian oleh karena gas-gas tersebut menjadi penyebab efek rumah kaca. Apa itu efek rumah kaca?

Di daerah yang beriklim dingin, sayur-sayuran ataupun buah-buahan yang menghendaki suhu yang lebih tinggi dari udara sekeliling, ditanam di dalam rumah kaca. Fungsi rumah kaca sesungguhnya adalah perangkap panas. Kaca adalah zat bening, tembus cahaya. Radiasi matahari gampang menerobos masuk memukul molekul-molekul udara dalam rumah kaca. Akibatnya suhu udara naik dalam rumah kaca, udarapun bertambah panas. Kaca adalah pengantar panas yang jelek, sehingga panas yang timbul itu tidak gampang keluar menerobos atap maupun dinding kaca. Maka terperangkaplah panas itu dalam rumah kaca. Inilah efek rumah kaca. Dengan tingginya kadar CO2 yang dimuntahkan oleh pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor, maka permukaan bumi merupakan rumah kaca dalam skala global. Ruang antara lapisan CO2 dengan permukaan bumi tak ubahnya ibarat ruang dalam rumah kaca, menjadi perangkap panas, oleh karena sifat gas CO2 sama dengan kaca, gampang ditembus cahaya, tetapi sukar ditembus panas. Maka terjadilah pemanasan global atau pencemaran thermal (panas), yang mengakibatkan es pada kedua kutub mencair, permukaan laut secara perlahan tetapi pasti, insya Allah, akan naik terus.

Kalau dibiarkan terus pemanasan global itu, insya Allah sekitar 110 juta penduduk Indonesia harus dipindahkan akibat kenaikan air laut sebagai dampak pemanasan global. Areal-areal pertanian dan persawahan di dataran rendah diperkirakan akan digenangi air laut. Menurut catatan dalam beberapa dasawarsa terakhir telah terjadi kenaikan suhu permukaan bumi secara rata-rata (0.3 - 0.6) oC serta kenaikan permukaan air laut sekitar (1 - 2) mm per tahun, yang diakibatkan oleh emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer bumi oleh ulah manusia membakar bahan bakar fosil (minyak, gas bumi dan batu-bara). Dari kajian ilmiyah itu diperdiksi insya Allah suhu permukaan bumi akan bertambah (2.5 - 4.5)oC pada tahun 2100.

***

Dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengultimatum para kepala daerah agar dalam melaksanakan pembangunan memperhatikan lingkungan hidup. Pemerintah daerah, harus bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan lingkungan karena efek pembangunan. “Pemerintah pusat tidak akan bertanggung jawab bila kepala daerah tidak memperhatikan dampak lingkungan dalam melaksanakan pembangunan,” tegas SBY saat memberikan sambutan dalam acara peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia di Istana Negara, pada 6 Juni 2007. Ultimatum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mengingatkan kita akan tragedi Teluk Buyat.

Pada 1996, PT Newmont Minahasa Raya (NMR) mulai melakukan operasi penambangan emas pada areal sekitar 600 hektare di Bukit Mesel. Aktivitas tambang PT NMR menjadi sangat bersentuhan dengan warga Buyat Pantai. Pasalnya, dari tambang perusahaan Amerika ini, menjulur pipa sepanjang 9,5 km ke dasar Teluk Buyat. Berubahlah perairan ini sebagai "bak sampah raksasa" untuk limbah tambang yang disebut tailing (lumpur sisa proses pemisahan bijih tambang). Stasiun katup buang dari pipa tailing itu jaraknya hanya 50 meter dari pintu masuk Kampung Buyat Pantai. Warga Buyat Pantai akhirnya hidup dekat kubangan sampah tailing yang mengandung zat kimia arsen, antimon, dan merkuri.

Setelah melalui persidangan tertutup yang berlarut-larut akhirnya terkuak skenario dibalik negosiasi pemerintah Indonesia dan PT Newmont Minahasa Raya dalam perkara perdata pencemaran lingkungan di Teluk Buyat. Newmont dan Pemerintah akhirnya mengumumkan evil agreement (kesepakatan mungkar) senilai 30 juta USD yang mengharuskan pemerintah mencabut Gugatan Perdata senilai 135 juta USD di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mengapa disebut kesepakatan mungkar? Pmbayaran kompensasi senilai 30 juta USD dari Newmont kepada Pemerintah jelas-jelas mengalihkan masalah utama penuntutan kejahatan lingkungan menjadi sekedar persoalan ganti rugi biasa. Pemerintah telah mengabaikan tugas utamanya untuk melindungi rakyat yang menjadi korban pencemaran oleh perusahaan tambang. Bukannya menuntut si pelaku ke pengadilan, pemerintah malah membuat kompromi-kompromi yang justru melemahkan posisi negara dihadapan korporasi.

Indonesia belakangan ini dirundung bencana, bencana alam maupun bencana yang dipicu oleh kelakuan manusia dalam usahanya untuk memodernisasikan negara Indonesia. Munculnya semburan lumpur panas di Sidoardjo dipicu oleh pemboran explorasi sumur Banjar Panji oleh PT Lapindo Brantas dalam usaha pencaharian minyak dan gas bumi di daerah.

Firman Allah:
-- ZHR ALFSAD FY ALBR WALBhR BMA KSBAT AYD ALNAS LYDZYQHUM B'ADH ALDZY 'AMLWA L'ALHUM YRJ'AWN (A. ALRWM, 30:41), dibaca:
-- zhaharal fasa-du fil barri wal bahri bima- kasabat aydin na-si liyudzi-qahum ba'dhal ladzi- 'amilu- la'allhum yarji'i-n (s. arru-m), artinya:
-- Muncullah kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan-tangan manusia, maka dirasakan mereka itu sebagian dari (akibat) perbuatan yang mereka lakukan, supaya mereka kembali (dari keterlanjuran perbuatan mereka).

WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 10 Juni 2007