19 Agustus 2007

792. An-Na'im Setali Tiga Uang Dengan Abu Zayd

Dalam rangka mengemban missi/diplomasi sekularisme yang dikirim oleh Amerika ke Indonesia, sudah lebih sepekan Abdullah an-Na’im melakukan roadshow di Indonesia. Abdullah an-Na’im sebagai duta sekularisme yang dikirim Amerika berupaya "menjual" dagangannya yang tertuang dalam bukunya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: “Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah.”An Na’im menyempatkan diri bertandang ke redaksi Fajar, pada hari Selasa 7 Agustus 2007, sehari sebelum bukunya itu dibedah di UIM (mantan IAIN) Alauddin Makassar. Dalam kolom ini saya kemukakan yang belum sempat muncul dlam bedah buku di UIM tersebut, yaitu seperti judul di atas "Abdullah an-Naim Setali Tiga Uang Dengan Nasr Hamid Abu Zayd". (Saya potong nama lengkap keduanya, supaya judul itu tidak terlalu panjang).

"Idealnya negara harus berbentuk sekuler, semua warga negara diuntungkan. Negara sekular bukan untuk ditakuti umat Islam. Agama mesti dipisahkan dari otoritas negara. Tidak ada institusi yang bisa mengatur urusan keagamaan masyarakat, karena itu adalah hak personal yang tidak bisa diintervensi. Syariah adalah produk penafsiran, produk pemikiran dan produk pengalaman manusia. Jadi syari'ah bukanlah produk Tuhan, tidak abadi dan tidak mengikat,” demikian menurut an- Na’im.

***

An-Na'im terlalu menyederhanakan negara sekuler dan syari'ah. Negara sekuler tidak ada yang polos. Negara sekuler Perancis berdasarkan sinergi humanisme-liberalisme. Negara sekuler Turki berdasarkan Kemalist yang anti agama. Realitas di Perancis dan Turki tidak menguntungkan ummat Islam, semua yang suka membaca berita kontemporer tahu akan hal itu. Ratu Inggris Elizabeth II memberikan gelar bangsawan "Sir" buat Salman Rushdie penulis buku “The Satanic Verses”. Bahkan Tom Trancendo kandidat presiden AS dari Partai Republik, yang partainya Geoge War Bush, mau membom nuklir Makkah dan Madinah.

Pandangan An-Naim tentang syari’ah di atas itu menunjukkan dia itu merelatifkan syari'ah. An-Na'im yang merelatifkan syari’ah tersebut, sama sekali tidak na'im (nyaman), karena dia berusaha memperkecil peran dan pengaruh hukum syariah dalam kehidupan publik ummat Islam. Bahkan lebih dari itu, Islam dan hukum syariah tidak bisa berperan sama sekali dalam ranah publik. Kalau idenya ini direalisasikan di Indonesia, maka semua institusi yang berlebelkan Islam harus dihapus, UU yang menjadi dasar pembentukan Nanggroe Aceh Darussalam harus diganti, GAM lalu berontak lagi, semua upaya perdamaian yang dengan susah payah dicapai, akan menjadi sia-sia, seluruh keadaan di Indonesia menjadi amburadul, karena Departemen Agama, Peradilan Syari'ah, Majelis Ulama Indonesia di pusat dan di daerah-daerah harus dihapus total.

Merelatifkan syari'ah itu sangat keterlaluan liberalnya. Firman Allah:
-- W aATYNHM BYNT MN ALAMR (S. ALJATsYt, 45:17), dibaca:
-- wa a-tayna-hum bayyina-tin minal amri, arinya:
-- dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan;

-- TsM J’ALNK ‘ALY SyRY’At MN ALAMR FATB’AHA WLA TTB’A AHWAa ALDzYN LA Y’LMWN (45:18), dibaca:
-- tsumma ja’alna-ka ‘ala- syari’atim minal amri fattab’ha- wa la- tattabi’ ahwa-al ladziyna la- ya’lamu-n, artinya:
-- Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariah dari urusan, maka ikutilah syariah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Kemudian dilanjutkan pada ayat (45:19) bahwa orang-orang zhalim yang menolak syari'ah dalam hal urusan, mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
-- WAN ALZhLMYN B’ADhHM AWLYAa B’ADh dibaca:
-- wa innzha-limi-na ba’dhuhum awliya-u ba’dhin.
artinya:
-- dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.

Apa yang dimaksud dengan al-amr (urusan) dalam ayat-ayat di atas itu?
-- WAMRHM SyWRY BYNHM (S. ALSyWRY, 42:38), dibaca:
-- wa amruhum syu-ra- baynahum, artinya:
-- dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.

Jadi urusan dalam syari'ah dalam ayat-ayat di atas itu adalah mengenai urusan kenegaraan.

Rasulullah SAW bersabda:
Umat ini senantiasa tetap pada syariah, selama belum nampak tiga perkara:

  1. Belum dilenyapkannya ilmu (agama) dari mereka,
  2. Belum banyaknya anak-anak dari hasil perzinaan,
  3. dan belum nampak Shaffarun.
Mu'adz bertanya, apakah Shaffarun atau Shaffalawun itu ya Rasulullah? Beliau bersabda: Mereka itu adalah manusia yang muncul di akhir zaman, di mana ucapan selamat atau pujian (tahiyyah) di kalangan mereka adalah pelaknatan"(HR. Ahmad).

Jika Nasr Hamid Abu Zayd mengemukakan paham relativisme dalam hal wahyu dan aqidah, maka an-Naim mengemukakan relativisme itu dalam tataran hukum syariah vs negara. Ini tidak aneh, sebab sesama kalangan liberal adalah ba’dhuhum awliya-u ba’dhin, seperti disebutkan dalam ayat (45:19) yang dikutip di atas itu.

Menurut Dr.M. Emarah, dari sudut latarbelakang pemikiran, Abu Zayd merupakan seorang kader "Sosialis"-"Marxis" Arab muda, sehingga kunci untuk memahami pemikiran Nasr ada pada methodologi dialektika Marxisme: "Historische-Materialisme." Bagi Nasr aqidah dibangun diatas landasan persepsi-persepsi "mitos", dalam kebudayaan komunitas manusia, sehingga aqidah sifatnya relatif. Menurut An-Naim, negara adalah benda mati, jadi negara tidak bisa menjadi atau disebut Islami. Kalau diperturutkan logika An-Naim bahwa negara adalah benda mati, sehingga An-Naim bilang tidak boleh ada negara Islam, maka negara sekulerpun tidak boleh ada juga, dan kalau logika ini seterusnya diperturutkan, maka menuju kepada konsep kekafiran Marxime yang berangan-angan dengan spekulasi: "masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara."

Di Makassar ini an-Na'im mendapat tantangan sengit di forum UIM Alauddin, maka elok juga ulasan ini ditutup dengan mengemukakan dua hal yang lucu,
pertama, macam mana pula orang seperti an-Naim, yang sangat sederhana memaknai hukum syariah vs negara, melakukan roadshow mengkampanyekan sekularisme, bisa dijadikan duta Amerika Serikat, yang kandidat presidennya mau membom nuklir Makkah dan Madinah,
kedua, buku an-Naim edisi Indonesia ini, mendapat pengakuan dan sanjungan dari dua akademisi nasional, Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dalam sampul (cover) depan dan belakang. semoga butir kedua ini bukan "ba’dhuhum awliya-u ba’dhin". WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 19 Agustus 2007