17 Mei 2009

874. Jangan Berhenti Setelah Ketokan Palu Hakim

Sebenarnya saya tidak akan menulis mengenai Kasus Antasari Azhar yang ramai diperbincangkan mengimbangi berita tentang hangatnya koalisi dalam rangka Pilpres-wapres. Mengapa ? Ya, karena simpang siurnya informasi yang bertebaran, bukan saja sangat kabur, melainkan gelap, ibarat kata Bidal Melayu Lama: Ayam hitam terbang malam, hinggap di pohon rimbun, hanya bunyi kepak sayap yang kedengaran: Antasari Azhar dijebak dan terjebak, atau Antasari Azhar dijebak tetapi tidak terjebak.
Firman Allah:
-- YAYHA ALDZYN AMNWA AN JA^KM FASQ BNBA FTBYNWA AN TSHYBWA QWMA BJHALT FTSHBHWA 'ALY MA F'ALTM NADMYN (S. ALHJRAT, 49:6), dibaca: -- ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- in ja-kum fa-siqum binabain fatabayyanu- an tushi-bu qawman bijaha-latin fatushbihu- 'ala- ma- fa'altum na-dimi-n, artinya:
-- Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq dengan berita, maka lakukanlah tabayyun (klarifikasi), jangan sampai kamu tanpa pengetahuan menimpakan musibah kepada suatu kaum, lalu kamu menyesal atas perbuatanmu.

Dalam konteks kasus Antasari Azhar ini yang harus melakukan tabayyun adalah pranata hokum, polisi, jaksa dan hakim. Itulah sebabnya maka sebermula saya diam saja, menanti ketukan palu hakim di pengadilan, sehingga: Ayam hitam terbang malam, hinggap di pohon rimbun, menjadilah insya Allah, juga menurut Bidal Melayu Lama: Ayam putih terbang siang hingga di kayu ranggas.

Tetapi, sekali lagi akan tetapi, saya berubah pikiran setelah kasus Antasari Azhar tsb sudah merambat pada timbulnya gerakan gerilya yang memancing di air keruh, melakukan perlawanan terhadap kesinambungan berlangsungnya proses pemberantasan korupsi. Dari Kompas, edisi 8 Mei 2009 dapat ditimba gerakan gerilya itu, bahwa: Pemberantasan korupsi menghadapi ancaman. Ini terlihat setelah sejumlah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan keabsahan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah Antasari Azhar diberhentikan sementara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis (7/5). Bahkan, dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPR, Jakarta, pada Kamis (7/5) itu , yang dipimpin Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan sejumlah anggota Komisi III DPR meminta KPK tidak melakukan penyidikan dan penuntutan selama anggota komisi itu belum kembali berjumlah lima orang. Keempat unsur pimpinan KPK dapat dipertanyakan keabsahannya karena tidak diambil secara kolektif. Pasal 21 Ayat 2 UU KPK menyatakan, pimpinan KPK bekerja secara kolektif. "Jika empat orang yang mengambil putusan, apakah bisa disebut kolektif. Ini disambut oleh pengunjung rapat yang duduk di balkon, antara lain wartawan dan pegawai KPK, sebab mereka beberapa kali meneriakkan "huuu...". Mereka menilai usul anggota DPR itu mendiskreditkan dan mengecilkan KPK. Meskipun muncul teriakan cemooh itu, Nursyahbani Katjasungkana dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menyarankan, selama pimpinan KPK belum genap lima orang, tak perlu diambil putusan strategis, seperti melakukan penuntutan dan penyidikan. Untuk kegiatan lain, seperti sosialisasi dan urusan internal, tetap berjalan.

Menanggapi usulan itu, Jasin (salah seorang dari empat unsur pimpinan KPK yang hadir: Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, Haryono Umar, dan M Jasin) menyatakan, jika KPK baru dapat bekerja setelah pimpinannya lengkap, komisi itu dapat kosong dari upaya penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi selama delapan bulan. Pimpinan KPK baru akan diberhentikan tetap jika tidak aktif selama tiga bulan berturut-turut atau menjadi terdakwa. Proses pemilihan pengganti pimpinan KPK butuh waktu sekitar lima bulan.

Zainal Arifin Mochtar, pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, menilai, logika berpikir sejumlah anggota Komisi III DPR bahwa bekerja kolektif di KPK harus dimaknai hadirnya lima unsur pimpinan adalah tidak berdasar. Sebab, ada Pasal 32 UU No 30/2002 yang mengatur pemberhentian sementara.

***

Alhasil, sebaiknya Komisi III DPR tidaklah melanjutkan gerakan gerilya memancing di air keruh, sebagai pelampiasan dendam politik terhadap KPK. Sebab jangan sampai: "Seekot kerbau berkubang semua kena lumpurnya." Karena ulah Komisi III, maka seluruh anggota DPR kena lumpurnya (baca: pelampiasan dendam politik), yang menyebabkan citra DPR yang selama ini kurang sedap, meningkat menjadi tidak sedap di mata publik. Jadi sebaiknya dalam kasus Antasari Azhar ini para anggota DPR diam saja, tokh tidak cukup lagi 8 bulan duduk di kursinya masing-masing. Ya, 8 bulan waktu paling cepat, jika akan diadakan penunjukan Ketua baru KPK, itupun kalau jika palu hakim menyatakan Antasari Azhar bersalah. Kalau Antasari Azhar dinyatakan tak bersalah dan kembali menjadi Ketua KPK, para anggota Komisi III "potensial" akan dikejar oleh KPK.

Ala kulli hal jika Antasari Azhar dinyatakan bebas karena tidak terjebak oleh jebakan, ataupun bersalah karena terjebak oleh jebakan, yang sangat penting, kasus ini tidak berhenti diusut, siapa-siapakah mereka dalam jaringan aktivitas penjebakan itu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

***

Makassar, 17 Mei 2009