31 Mei 2009

876. Menabur Angin Menuai Badai

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bersama sebuah televisi swasta, TVOne, baru-baru ini telah menggelar pemaparan visi, misi dan strategi para calon presiden yang akan berkompetisi Juli mendatang. Saya mencatat dalam forum itu pernyataan SBY dalam kata akhirnya menyatakan bahwa beliau bukanlah penganut ekonomi neoliberalisme. Ini tentu saja terkait pada kenyataan pasangan yang dideklarasikan di Bandung itu termasuk yang paling banyak dan sengit dicecar seputar isu neoliberalisme. "Pasar Modal" (Pasar Uang, Pasar Saham, dan Pasar Komoditas) adalah prioritas utama dalam Neoliberalisme, yang lebih mengutamakan sektor keuangan (Makro) daripada sektor riel. JK dalam bahasa sederhana menyatakan dalam forum diskusi dengan Kadin tsb bahwa pasar modal itu penting, tetapi pasar Tanah Abang lebih penting. Jubir Tim Kampanye Rizal Mallarangeng mengingatkan agar semua pihak menyetop pelabelan neolib kepada Boediono.

Lho, apa wewenang Rizal, siapa ente yang melarang-larang orang melabel Boediono itu penganut neoliberalisme?! Itu bukan black campaign, tidak menyerang pribadi, melainkan mencecar visinya. Meski dibantah habis-habisan, kalangan ekonom tetap melihat Boediono adalah penganut paham neoliberalisme. Pasalnya, tindakan pasangan dari Mafia Berkeley: Gubernur Bank Indonesia Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam mengeluarkan paket kebijakan ekonomi mencerminkan apa yang dicetuskan dalam Washington Consensus. Asal tahu saja itu Washington Consensus (Kesepakatan Wahington) adalah sebutan bagi lembaga seperti Bank Dunia, IMF, Departemen Keuangan AS, yang bermarkas di Wahington. Tekanan Washington Consensus, yang kendaraan neoliberalisme itu melalui IMF. Sekali lagi asal tahu saja itu IMF tidak saja menyuntikkan hutang, tetapi sekaligus menularkan neoliberalisme, sehingga menyebabkan Indonesia menjadi pasien IMF. Mengapa? BUMN-BUMN strategis di Indonesia diprivatisasi. Telkom, Indosat, Semen Gersik, Indofarma dan seterusnya dan seterusnya dijual ke investor-investor asing. tidak di "go-public" kan secara terkendali, terencana, dijual ke karyawan, nasabah, rekanan, dan masyarakat luas. Semen Gersik sangat vital dan strategis sebenarnya bisa diatur untuk dapat dimiliki (dibeli) oleh Pemda setempat, oleh para developer nasional, para pengecer semen, para karyawan sendiri, para buruh umumnya dan publik secara luas.

Menurut DR Drajad Wibowo awal tahun ini Depkeu menerbitkan Global Medium Term Notes (GMTN) dalam US$ dengan masa jatuh tempo 10 tahun dan yield 11,75%. Jumlahnya US$ 3 milyar, diterbitkan di New York. Yang jadi konsultan adalah beberapa lembaga keuangan asing, underwritersnya mereka-mereka juga, investor asing pun beli melalui mereka. Jadi konflik kepentingannya sangat kental. Dalam bahasa awam, ini berarti negara berutang kepada investor asing. Utangnya dalam US$ dan negara membayar "bunga" sebesar 11.75% dalam US$ !!! Belum lagi fee bagi para konsultan dan underwriters asing tersebut. Sebagai pembanding, deposito dollar di perbankan dalam negeri hanya memberi bunga sekitar 2-3%. Di AS sendiri, bunga deposito dollar jauh lebih rendah. Sehingga selama 10 tahun ke depan, negara harus membayar bunga yang kemahalan sekitar US$ 240 juta atau Rp 2,5 triliun per tahun. Ia menambahkan, kalau uang Rp 2,5 triliun per tahun itu dimianfaatkan untuk membeli suku cadang Hercules, Fokker, Corvet dll milik TNI, kecelakaan bisa diminimalkan. Yang menimpa TNI kita itu adalah "disasters waiting to happen". Atau misalnya dana tersebut dialokasikan utk memperkuat BUMN strategis seperti Boma Bisma, Krakatau Steel, Dirgantara Indonesia, PAL, Inka dll. Juga nasabah-nasabah KPR yang harus membayar bunga kemahalan, debitor2 UKM, para pelaku usaha riil juga menjadi korban dari kebijakan di atas.

***
Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor sumber daya air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema water resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannyapun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli.

Ini sangat bertentangan dengan pengelolaan sumberdaya alam menurut Syari'ah.
LLNAS SyRKAa FY TSLATs ALMAa WALKLa WALNAR (RWAH AhMD W ABW DAWD), dibaca:
linna-si syuraka-u fi- tsala-tsin alma-i walkalai wanna-ri, artinya:
Hajat hidup orang banyak ada tiga: Air, padang rumput dan api (HR Ahmad dan Abu Dawud)..

Secara kontekstual air dapat bermakna air minum, air untuk irigasi, air untuk pembangkit tenaga listrik, terusan air untuk lalu-lintas air, padang rumput di tempat yang tidak ada padang rumput dapat bermakna apa saja yang erat hubungannya dengan sumberdaya alam bagi ternak, sedangkan api dapat bermakna bahan bakar konvensional (bahan bakar fosil: minyak bumi dan batu bara) maupun bahan bakar non-konvensional (bahan bakar nuklir). Sumber-sumber daya alam yang vital tersebut perlu dikuasai oleh negara. Air baik sebagai keperluan irigasi maupun sebagai sumber energi, bahan bakar (baca: api), padang rumput untuk ternak jika tidak dikuasai oleh negara dapat menjadi penyebab tidak lancarnya distribusi peredaran darah kehidupan bagi petani-petani dan pengusaha kecil. Seumpama padang rumput yang dikuasai oleh pemodal besar, maka para peternak kecil-kecil dalam kalangan rakyat dapat dikontrol oleh pemodal besar ini.

Alhasil Boediono yang ditunjuk SBY menjadi pasangannya mendapat tantangan sengit, ibarat Menabur Angin Menuai Badai seperti judul Seri 876 ini. WaLlahu a'lamu bisshawab.

***
Makassar, 31 Mei 2009