13 Juni 2010

927 Hari Lahirnya Pancasila

Hari lahirnya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sehari kemudian 18 Agustus baru lahir UUD-1945. Dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945 secara substansial dimuat Pancasila. Dikatakan substansial karena kata Pancasila tidak secara explisit (tegas) disebutkan dalam UUD-1945. Itu artinya Pancasila secara konstitusional lahir pada 18 Agustus 1945. Kata Pancasila terdiri dari dua kata dari Sansekerta: paƱca berarti lima dan sila berarti prinsip atau asas. Kata atau nama Pancasila itu diucapkan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
"Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya."
Jadi Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945, sedang yang terjadi pada 1 Juni 1945 adalah "nama" Pancasila.
 
Secara sistem Pancasila menurut konsep Bung Karno berbeda dengan Pancasila menurut UUD-1945. Silakan simak uraian di bawah dengan hati yang jujur dan terbuka.
 
Sebuah meja yang daunnya di lantai, keempat kakinya menjulang ke atas disebut meja terbalik. Kalau keempat kaki itu dicopot lalu dijadikan dua pasang yang paralel masing-masing dipasang tegak lurus, lalu daunnya dipasang miring, menjadilah mainan luncur-luncuran anak-anak. Jadi walaupun substansi bagian-bagiannya sama tetapi susunannya berbeda maka secara sistem benda itu berbeda. Meja berbeda dengan meja terbalik, berbeda dengan mainan luncur-luncuran. Demikian pula bermacam-macam kue bahannya sama, tepung, gula dan mentega, namun karena meramunya berbeda menghasilkan kue yang berbeda.
 
Jadi secara substansial Pancasila menurut konstitusi berbeda dengan konsep Pancasila menurut Bung Karno, sebagaimana halnya meja berlainan dengan mainan anak-anak, berlainan dengan meja terbalik, pembuktian di persidangan menurut UU berbeda dengan pembuktian terbalik.
 
***
 
Ummat Islam yang tidak pernah meninggalkan shalat wajib dalam 24 jam sekurang-kuranguya 5 kali bersumpah:
-- AN ShLATY WNSKY WMhYAY WMMTY LLH RB AL'ALMYN, dihaca: inna shala-ti- wanusuki- wamahya-ya wamamati- lilla-hi rabbil 'a-lami-n, artinya:
-- Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah Pemelihara semesta alam.
 
Sudah berulang kali dikemukakan dalam kolom ini bahwa ada dua jenis nilai, yaitu yang mutlak dan relatif. Nilai agama yang bersumberkan wahyu kebenarannya adalah mutlak karena bersumber dari Maha Sumber Yang Maha Mutlak. Nilai budaya adalah suatu kebenaran relatif. Ia diterima sebagai kebenaran atas kesepakatan bersama suatu bangsa. Dengan demikian berdasar atas hirarki nilai, maka nilai budaya dengan demikian harus ditempatkan di bawah nilai wahyu. Pancasila adalah nilai budaya yang diterima oleh bangsa Indonesia secara konstitusional sebagai kesepakatan.
 
Boleh jadi Bung Karno menyadari akan sumpahnya di dalam shalat, sehingga pada waktu dirumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, ia menerima perubahan menempatkan substansi Ketuhanan dalam nomor satu, kemudian substansi Kemanusiaan, barulah substansi Kebangsaan.
 
Substansi keempat dalam Pancasila juga diwarnai oleh nilai wahyu. Bukan Kedaulatan Rakyat (demokrasi) Yunani Kuno yang hanya sebatas untuk yang bukan budak. Bukan pula demokrasi barat yang sekuler (secula artinya dunia, bermakna pemisahan antara negara dengan agama, scheiding tussen kerk en staat). Demokrasi di Indonesia adalah: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ummat Islam di Indonesia dapat menerima demokrasi yang demikian itu, bukan hanya sekadar karena berdasar atas kesepakatan, namun lebih dari itu, kata kunci dalam sila keempat itu yakni musyawarah berasal dari bahasa Al Quran, yang dibentuk oleh akar: syin-waw-ra, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makanan lebah sari bunga yang bersih, madunyapun bersih dan bergizi. Demokrasi itu menurut nilai wahyu harus menghasilkan sesuatu yang seperti madu, bukan kedaulatan rakyat yang menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai wahyu, bukan kedaulatan rakyat hasil proses separuh tambah satu, bukan suara rakyat adalah suara Tuhan.
 
Sayangnya dalam batang-tubuh UUD-1945, substansi kebangsaan masih dalam urutan nomor satu, mengikuti konsep dari Bung Karno. Alhasil supaya sinkron antara Pembukaan dengan Batang Tubuh, perlu sekali mengadakan amandemen UUD-1945 mengenai urutan Bab-Bab dan Pasal-Pasalnya dalam batang tubuh UUD-1945. WaLlahu a'lamu bisshawab.
 
*** Makassar, 13 Juni 20