24 Juli 2011

984 Klasifikasi Barang dan Mahkamah Mazhalim

Pertanyaan:
Ketika tentara Islam memenangkan perang di Irak, Umar tidak mau membagi-bagikan tanah di Irak itu kepada bala tentara Islam. Ini bertentangan dengan teks yang eksplisit ada dalam Al-Quran tentang ganimah. Ternyata Umar mempertimbangkan tidak fair membagi tanah yang begitu luas hanya kepada sekelompok kecil tentra saja, sementara penduduk Irak tidak memiliki apa-apa. Singkatnya, Umar tidak mau menciptakan kelompok kecil baru dimana semua kekayaan beredar pada mereka. Nabi membagi bagikan ganimah itu kepada tentra Islam karena mereka waktu itu memang membutuhkannya, karena mereka semua relatif miskin. Secara kontekstual Umar tidak mau membagikannya karena si penerima akan menjadi terlalu kaya, sedangkan yang lainnya akan menjadi sangat miskin. Pada permukaan kebijakan Umar itu nampak bertabrakan secara literal, tetapi bukankah apabila orang menyelam lebih dalam, tidak nampak bertentangan dalam paradigma keadilan yang diterapkan secara kondisional ?
 
Salam
Martin Krisna [18/7/2011]
Jawab:
-- WA'ALMWA ANMA GhNMTM MN SyYA FANA LLH KhMSH WLLRSWL WLDzY ALQRBY WALYTMY WALMSKYN WABN ALSBYL (S. ALANFAL, 8:41) dibaca: wa'lamuu annamaa ghanimtum min syai-in fa anna lillaahi khumusahuu walirrasuuli walidzil qurbaa walyataama walmasaakiina wabnis sabiili, artinya:
-- Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai ghanimah, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil (orang yang telantar di perjalanan).
Secara harfiah, ghanimah berarti sesuatu yang diperoleh seseorang melalui suatu usaha. Secara syar'i ghanimah berarti barang yang disita dari musuh yang dalam keadaan perang dengan Daulah Islam. Dalam hukum perang manapun, sumber ekonomi ataupun logistik musuh SAH untuk disita. Menurut seni perang Cina (Sun Tzu) 1 gerobak perbekalan musuh senilai dengan 20 gerobak milik sendiri.
 
Ente rupanya penganut Islam Liberal yang nggandrung dengan pendekatan kontekstual dengan melabrak yang tekstual. Interpretasi ente berupaya menabrakkan yang literal / tekstual dengan paradigma keadilan yang diterapkan secara kondisional. Umar ibn Khattab RA tidak melanggar yang tekstual, karena pada waktu penaklukan Khaibar, menurut Sunnah Nabi tanah tidak dibagi di antara pasukan para mujahidin yang ikut berperang, melainkan yang dibagi adalah yang dapat dibawa saja. Ghanimah diklasifilasikan Umar ibn Khattab RA  sebagai barang bergerak, sehingga tanah itu tidaklah termasuk ghanimah.
 
Penegasan Umar ibn Khattab RA untuk hanya mengambil harta yang bergerak terlihat dari kandungan suratnya kepada Sa'ad bin Abi Waqqas (Panglima perangnya dalam menaklukkan Irak). Dalam surat tersebut beliau secara tegas menginstruksikan agar yang diambil hanya yang berupa harta bergerak, tidak termasuk tanah mereka. Dalam kaitan ini ucapan Umar ibn Khattab RA yang sangat terkenal adalah: "Kalau seluruh harta dan kekayaan mereka diambil, lalu dengan apa mereka hidup?" Dan tanpa memperhatikan Sunnah Nabi di Khaibar, dari kalimat terakhir inilah terbuka "lubang" bagi penganut Islam Liberal untuk mengekspos bahwa Umar ibn Khattab melakukan pendekatan kontekstual. 
 
Jadi Umar ibn Khattablah RA tidak melabrak yang tekstual, dan yang ini tidak kurang pentingnya, yaitu beliaulah yang mula pertama secara konsepsional membuat klasifikasi barang bergerak dan tidak bergerak. Asal ente tahu klasifikasi barang bergerak dan tidak bergerak ini juga dianut dalam sistem hukum di Indonesia dan juga pada umumnya dalam negara-negara lain. Begitu nyong.
 
***
 
Diskusi Jakarta Lawyers Club yang dipandu oleh Bang-One pada malam Rabu 12 Juli 2011 mengambil thema putusan kasasi Mahkamah Agung yang memvonis Prita Mulyasari 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Salah seorang mantan hakim senior menanggapi bahwa seyogianya yang menangani kasasi itu adalah para hakim yang sama yang menangani kasasi baik yang perdata maupun yang pidana. Karena sangat janggal vonis para hakim yang menangani perkara perdata memenangkan Prita Mulyasari. Sedangkan yang menangani pidana memenangkan jaksa penuntut umum. Tetapi yang paling menarik perhatian ialah dari seorang anggota DPR dari Komisi III yang menyatakan berapi-api: Jaksa melanggar hukum, vonnis vrijsprak Pengadilan Negeri, kok jaksa mengajukan kasasi, itu melanggar hukum, yaitu melanggar pasal 244 KUHAP. Pertanyaan anggota DPR tsb tidak terjawab dalam diskusi itu, yakni: "Siapa yang mesti menangani jaksa tersebut secara pidana."
 
Pertanyaan tsb dijawab dalam kolom ini. Dalam Negara Islam Madinah, RasuluLlah SAW membentuk Lembaga Mazhalim, yang mengawasi praktek kezaliman pejabat. Di kemudian hari dalam Khilafah (Daulah Islamiyah yang dikepalai oleh khalifah) Lembaga Mazhalim ini diperkembang oleh khalifah Umar ibn Khattab RA menjadi Mahkamah Mazhalim yang berhak mengadili dan memecat penguasa, yang kemudian hari Lembaga Mazhalim diperkembang pula untuk mengadili dan memecat Khalifah sendiri.
 
Perkembangan lebih lanjut di samping Mahkamah Mazhalim, ada pula Mahkamah Hisbah dan Mahkamah Qadha. Ketiga institusi tersebut mempunyai peran yang sama yaitu sebagai lembaga peradilan yang memutuskan dan memberikan sanksi hukuman, tetapi ketiganya mempunyai perbedaan dalam hal cakupan tugas serta wewenang. Mahkamah Mazhalim menangani kasus kesewenang-wenangan dan kezaliman pejabat pemerintah. Mahkamah Hisbah mengawasi pelaksanaan syari'at Islam dan amar ma'ruf nahi mungkar secara umum. Mahkamah Qadha adalah lembaga peradilan umum seperti dikenal sekarang dalam negara sekuler.
 
Apa yang dirisaukan oleh anggota Komisi III DPR itu, maka sesungguhnya dalam struktur Khilafah, Jaksa Penuntut Umum yang menegakkan hukum dengan melanggar hukum, maka itu bagiannya Mahkamah Mazhalim yang menanganinya. Sayangnya Indonesia ini bukan khilafah. Namun demikian eloklah jika di NKRI ini dibentuk Mahkamah Mazhalim. WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
*** Makassar, 24 Juli 2011