18 Desember 2011

1005 Diskriminasi dan Annaa Laka Haadzaa

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini menemukan sekitar 1.800 rekening gendut bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah milik pegawai negeri sipil (PNS). Para pemilik rekening gendut yang berusia muda itu merupakan generasi penerus koruptor. Ini adalah fakta betapa hukum yang menjerat koruptor tidaklah menakutkan. Tidak ada manfaatnya memberikan remisi kepada terpidana koruptor. Asumsi umum yang mengatakan setelah palu hakim mengetuk vonis, maka semua terpidana harus sama hak asasinya, karena keceknyo tidak boleh ada diskriminasi. Asumsi ini patut ditinggalkan. Mengapa? 
 
Perlu ada UU yang diskriminatif, terpidana lain diberi sanksi sekian tahun masuk Lembaga Pemasyarakatan untuk dibina, pakai remisi. Sedangkan terpidana koruptor harus diberi sanksi potong tangan, dimiskinkan dan masuk Penjara tanpa remisi, sebagai balasan perbuatannya yang membunuh rakyat jelata sengsara mati perlahan-lahan karena kelaparan. Dengan demikian diskriminasi itu memberikan efek jera, shock therapy, yaitu orang lain tidak berani korupsi. Asumsi diskriminasi itu mutlak tidak dapat dibenarkan, perlu ditinggalkan.
 
Umamat Islam dan Kristiani dalam DPR, yang jumlahnya jauh di atas qourum, bisa mengajukan ke dalam hukum nasional sanksi potong tangan menjadi hukum positif:
-- Terhadap pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya (Faqtha'uu aydiyahumaa) sebagai balasan pekerjaan keduanya, dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (S. Al-Maaidah, 5:38).
-- [LAI-Markus, 9:43] Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah (cut it off).
 
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Azwar Abubakar menjelaskan uang miliaran rupiah dalam rekening PNS merupakan titipan proyek kementerian untuk mencegah pemotongan anggaran di tahun berikutnya. Apapun alasan pemindahan itu, jelas telah terjadi penggelapan uang negara, di mana bunganya masuk kantong PNS bersangkutan (dan atasannya?). Bukankah penggelapan itu adalah tindakan kriminal?
 
Terlalu banyak menguras tenaga jaksa untuk membuktikan terdakwa melakukan korupsi. Apapula jika dokumen-dokumen sebagai barang bukti sempat dibakar hangus oleh terdakwa. Itulah manfaatnya menggunakan asas pembuktian terbalik dalam penanganan kasus korupsi. Dalam sidang pengadilan terdakwalah yang harus membuktikan asal usul uang dalam rekening gendut mereka dan harta benda lainnya.
 
***
 
Sebenarnya ungkapan pembuktian terbalik jika disorot dari segi jurisprudensi Hukum Islam, apa yang berlaku sekarang yaitu jaksa yang harus membuktikan dalam siding pengadilan, itulah yang sesungguhnya pembuktian terbalik.
 
Khalifah 'Umar ibn Khattab RA (581-644) adalah peletak dasar dari jurisprudensi dalam Hukum Islam: Terdakwalah yang harus membuktikan dari mana asal-usul kekayaannya. Khalifah yang kedua ini (634-644) mendapatkan inspirasi dari pertanyaan Nabi Zakaria AS kepada Maryam binti 'Imraan:
-- KLMA DKhL 'ALYHA ZKRYA ALMhRAB WJD 'ANDHA RZQA QAL YMRYM ANY LK HDzA (S. AL 'AMRAN, 3:37), dibaca: kullamaa dakhala 'alaihaa zakariyyal mihraaba wajada 'indahaa rizqan qaala yaamaryamu annaa laki haadzaa, artinya:
-- Setiap kali Nabi Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati rezeki (buah-buahanan) di sisinya. Nabi Zakaria bertanya:" Wahai Maryam dari mana Engkau dapati (buah-buahan) ini?"
 
Dalam ayat (3:37) tersebut diaplikasikan oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA kepada aparat Khilafah, annaa laka haadzaa. Sejak itu annaa laka haadzaa menjadi jurisprudensi dalam Hukum Islam (dalam ayat dibaca laki haadzaa, karena Maryam perempuan).
 
***
 
Perselisihan antara Nuku dengan Wieling perihal asas terdakwa harus membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi perang yang tidak dimaklumkan. Nuku adalah Sultan Tidore yang membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni Belanda: Ternate, Ambon dan Banda. Nama lengkapnya Nuku Sulthan Said al-Jihad Muhammad al-Mabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram. Ia membebaskan dan mempertahankan wilayah kerajaannya selama 25 tahun dengan perang-laut yang sengit diselingi dengan diplomasi yang handal dan siasat mengadu domba ketiga gubernur itu. (Pada Hari Pahlawan 10 November 1995 Kepala Negara telah mengangkat tiga gelar Pahlawan Nasional kepada Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka dari Makassar, Nuku Tuan Barakat dari Tidore dan H. Muhammad Saleh Tuanku Tambusai dari Ranah Minang).
 
Sulasi dan Barunarasa adalah TKW berasal dari Ternate merantau menjadi dayang-dayang Boki Fathimah dalam istana Tidore. Keduanya berhasil mencuri emas, intan-berlian puteri itu, lalu melarikan diri pulang ke Ternate. Nuku bersurat kepada Wieling Gubernur Ternate pada 24 Muharram 1220 (24 April 1805) supaya kedua pencuri itu diextradisikan ke Tidore. Wieling menolak permintaan extradisi itu oleh karena kedua tertuduh itu adalah penduduk Ternate, tidak di bawah jurisdictie kerajaan Tidore.
 
Nuku dapat memahami penolakan itu, namun yang Nuku tidak mau mengerti ialah bahwa hasil pengadilan Belanda di Ternate menyatakan kedua tersangka tidak bersalah karena penuntut tidak dapat membuktikan kesalahan mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah apabila tidak dapat dibuktikan kesalahannya yakni asas praduga tak bersalah. Hukum bukan saja bertugas memberantas kejahatan, tetapi juga melindungi siapa yang tidak bersalah (om zoo wel de ontschuld te beschermen als het quaad te beteugelen –ejaan baru: zowel dan kwaad-HMNA). Sedangkan dalam Kerajaan Tidore sejak Kolano Kaicil Cire raja Tidore yang mula-pertama masuk Islam (1450), berlaku hukum acara sesuai yang diletakkan asasnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA.
 
Alhasil, terhadap koruptor gendut harus diskriminatif, dipakai asas praduga bersalah: Annaa laka haadzaa. WaLlahu a'lamu bisshawab.
 
*** Makassar, 18 Desember 2011