9 Mei 1993

078. Menerobos Polarisasi Keilmuan dan Pesantren Pendidikan Al Quran, IMMIM

Ada nada yang sengit dari Ahmad Ali dalam tulisan kolom yang diasuhnya tanggal 28 April 1993 yang lalu. Yaitu tentang adanya tanggapan, bahwa Ahmad Ali yang pakar hukum bicara-bicara juga mengenai agama, suatu bidang di luar bidangnya. Penanggap yang menanggapi Ahmad Ali tersebut sesungguhnya mewakili mayoritas pandangan masyarakat yang masih picik, hatta dalam masyarakat ilmiyah sekalipun, dalam era keilmuan sejak zaman Renaissance hingga sekarang, yaitu era polarisasi keilmuan: pemisahan secara gamblang antara ilmu-ilmu akhirat dengan ilmu-ilmu dunia, yaitu sekularisasi keilmuan (secula = dunia). Polarisasi keilmuan itu terjadi akibat arus imbas yang bersumber dari bidang politik dan kenegaraan yang dikenal dengan scheiding tussen kerk en staat, pemisahan antara gereja dengan agama. Polarisasi keilmuan itu menghasilkan dalam budaya kita berwujudkan adanya lembaga semacam Unhas di satu pihak dengan semacam IAIN di lain pihak.

Ajaran Islam tidak mengenal polarisasi keilmuan ini. Ayat yang mula-mula diturunkan; Iqra bismirabbika, bacalah atas nama Maha Pengaturmu. Secara tidak disadari dalam kalangan ilmuwan Muslim ayat 1 S. Al'Alaq yang dikutip di atas itu, sebagian besar mereka itu hanya mengutip iqra saja. Bahwa ucap mereka itu bacalah di sini berarti bukan hanya membaca Al Quran, melainkan lebih luas maknanya, yaitu bacalah masyarakat, bacalah sejarah, bacalah alam semesta. Syukurlah bahwa para ilmuwan Muslim itu mempunyai pandangan yang seperti itu. Akan tetapi mereka itu terjerumus ke dalam polarisasi keilmuan, ilmu akhirat pada kutub yang satu dengan ilmu dunia atau ilmu sekuler pada kutub yang lain. Inilah bahayanya tidak berpikir secara nizam (sistem), tidak kaffah, atau dengan redaksional yang lebih sederhana, memotong ayat. Yaitu S.Al 'Alaq ayat 1 dipotong, iqra dipisahkan dari bismi rabbika. Iqra, bacalah, yang ditonjolkan, sedangkan bismi rabbika, atas nama Maha Pengaturmu diabaikan. Inilah pengaruh era polarisasi keilmuan yang tidak disadari oleh sebagian besar ilmuwan Muslim, yang terwakilkan oleh penanggap tulisan kolom Ahmad Ali.

Ada terobosan-terobosan secara individual untuk kembali mempertautkan kedua kutub yang dirobek menjadi dua ini sejak zaman Renaissance itu. Salah seorang penerobos individual itu adalah Ahmad Ali. Beberapa orang yang sebelumnya secara individual berupaya menerobos berhasil meningkatkan upaya individual itu menjadi upaya yang melembaga, seiring dengan pembangunan Masjid Salman. Lembaga itu walaupun sifatnya masih informal, namun merupakan mitra Institut Teknologi Bandung dalam upaya penerobosan polarisasi itu.

Almarhum H.Fadeli Luran yang pada waktu hidupnya menjadi Ketua DPP IMMIM, suatu ketika melontarkan gagasannya, agar IMMIM meningkatkan bidang juangnya bukan sekadar mengurus masjid saja, melainkan pula sekaligus membina isi masjid. Lalu lahirlah gagasan mendirikan Pesantren Pendidikan Al Quran IMMIM, yang kemudian diwujudkan dengan berdirinya pesantren tersebut yang mengambil lokasi di Tamalanrea, mendahului lokasi Kampus Unhas Tamalanrea, yang kelihatannya sekarang ada kecenderungan dalam master plan kota ini, kawasan itu menjadi kawasan kampus.

Suatu waktu dalam kesempatan meninjau lokasi bakal pesantren itu akan didirikan, saya mengemukakan kepada almarhum tentang kurikulum pesantren itu kelak. Saya katakan waktu itu: "Pak Fadeli kalau tujuan kita untuk mengisi masjid dengan mendirikan pesantren, maka kurikulum pesantren ini harus dapat menghasilkan luaran yang dapat menyambung ke perguruan tinggi di bidang mana saja. Supaya kelak kalau jadi dokter, jadi insinyur, jadi ekonom, jadi pakar sosiolog, hukum dll dia tidak canggung-canggung dapat mengisi masjid, bahkan menjadi khatib sekalipun."

Maka berdirilah Pesantren Pendidikan Al Quran di Tamalanrea dengan kurikulum yang menerobos polarisasi keilmuan warisan Renaissance tersebut. Kurikulum pesantren IMMIM tersebut disusun sedemikian rupa sehingga dapat mempunyai tiga baju, dua baju yang formal dan sebuah yang informal. Pesantren itu berbaju SMP dan SMA jalur formalnya ke Depdikbud, mempunyai baju Tsanawiyah dan Aliyah yang jalur formalnya ke Depag, dan baju informal kepesantrenan dengan ciri khas pesantren, pengkajian kitab kuning. Semua baju dari kedua jalur formal tersebut statusnya telah mendapat pengakuan disamakan dari Depdikbud dan Depag. Juga suatu program khusus yang fakultatif pendidikan hafizh, penghafal Al Quran.

Ada satu hal yang lucu dengan cerita baju di atas itu. Pernah satu waktu di dalam Masjid Syura, Drs. M.Nur Rasuly salah seorang pejabat teras di Kanwil Depdikbud mengeluh bahwa Panitia Tilawati lQuran untuk para murid SMP yang diselenggarakan oleh Kanwil Depdikbud tersebut kebobolan dan sudah terlanjur dinyatakan hasilnya. Bahwa yang juara itu adalah pesantren. Lalu saya berikan informasi bahwa panitia tidak kebobolan, oleh karena memang pesantren itu memakai salah satu baju yang dimilikinya, yaitu baju SMP yang berjalur ke Depdikbud.

Alhamdulillah sekarang alumni pesantren ini sudah ada tersebar ke Unhas, IKIP dan IAIN, sudah menerobos polarisasi keilmuan tersebut. Seorang alumni yang mengambil program fakultatif hafidz, jadi telah hafal Al Quran, diterima di Jurusan Accounting Fakultas Ekonomi tanpa tes. Bahkan yang sempat saya dapatkan informasinya sudah ada yang menjadi dosen tetap pada Jurusan Elektro Fakultas Teknik Unhas, dan sampai saat ini masih tetap setia pada alma maternya Pesdantren IMMIM, menjadi guru tetap, bahkan bermukim dalam kampus pesantren. Ada pula di antara yang telah menyelesaikan Fakultas Kedokteran telah menjadi dosen tetap pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas.

Terakhir yang juga menggembirakan adalah Pesantren IMMIM ini menjadi satu-satunya pesantren di IBT yang terpilih dalam rangka upaya Menristek Habibie dalam hal mengimpor iptek masuk pesantren, yang sesungguhnya pagi pesantren IMMIM ini sudah terjadi bersamaan dengan didirikannya. Bagi Menristek ke dalam pesantren perlu mengimpor iptek dengan tujuan memasyarakatkan iptek, hatta dalam tubuh pesantren sekalipun, untuk kepentingan pembangunan bangsa. Sedangkan bagi IMMIM bukan merupakan import iptek melainkan atas dasar filsafat pencerahan. Kita pinjam istilah yang dipakai dalam sejarah aufklaerung dengan makna seperti pada judul menerobos polarisasi keilmuan, dalam rangka aplikasi iqra bismi rabbika, bacalah atas nama Maha Pengaturmu. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 9 Mei 1993