2 Mei 1993

077. Persaudaraan, antara Ajaran dengan Praktek

Kita mulai dengan pembicaraan mengenai persaudaraan ini dengan cerita Mahabharata, yang sementara ini ditayangkan oleh TPI. Dalam cerita itu yang konon karya dari Walmiki, dipertentangkanlah oleh Walmiki antara persaudaraan dengan kebenaran. Dalam diri Karna terjadi konflik antara rasa persaudaraan dengan kebenaran. Karna tidak dapat melepaskan diri dari ikatan persaudaraan dengan Duryudana. Fasalnya pada waktu semua orang melecehkan Karna, hanya Duryudanalah seorang yang mengangkatnya dari kehinaan. Inilah yang tak dapat dilupakan oleh Karna, sehingga rasa persaudaraan dengan Duryudana itu tidak mungkin dapat ditebus oleh apapun juga. Sedangkan dipihak lain Karna menyadari benar bahwa itu bertentangan dengan kebenaran. Yaitu berperang melawan kelima adiknya, yang juga Karna mengakui itu dalam hati nuraninya bahwa kelima adiknya itu berada di pihak yang benar. Dalam konflik kejiwaan itu Karna memilih persaudaraan dan melecehkan kebenaran.

Persaudaraan termasuk dalam salah satu semboyan Revolusi Perancis, liberte, egalite et fraternite, kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Trilogi semboyan Revolusi Perancis itu kemudian menjadi berkeping-keping, karena tidak diikat oleh kebenaran. Revolusi itu berwujud terror yang mencapai puncaknya di tangan Robespierre. Banyak yang menemui ajalnya dipenggal oleh Madame de Guillotine, termasuk Maria Antoinette, bahkan termasuk Robespierre sendiri. Kemudian dalam perjalanan sejarah liberte itu menjadi dasar semacam pandangan hidup yang kita kenal dengan liberalisme, yang dalam bentuknya yang extrem berwujud Free Fight Liberalism, dioperasionalkan dalam kancah ekonomi, yang seirama dengan teori mekanisme evolusi Darwin, the survival of the fittest, yang dalam bidang eknomi teraplikasi menjadi perusahaan yang paling unggul, akan bertahan hidup, yang secara umum dikenal dengan hukum rimba, yang oleh nenek moyangkita etnik Bugis Makassar dikenal dengan paruntuq kana (peribahasa): Assianre bale (Bugis), assikanre jukuq (Makassar) yang artinya saling memangsa seperti ikan. Jadi bukan hukum rimba, melainkan hukum di dalam laut, maklumlah nenek moyang kita itu pelaut yang berkecimpung di laut, menjelajah ke Barat, yang menidirikan koloni yang dinamakan oleh mereka itu: Tana Nario, di Madagaskar. (Tana = negeri, rio = mandi). Tananario was corrupted into Tananariveh.

Setelah kita bicara berteori ataupun ajaran tentang persaudaraan kita sekarang akan membicarakan prakteknya. Bagaimana kita mempraktekkan nilai-nilai yang islamiyah (Al Furqan) dalam kehidupan kita sehari-hari, itulah salah satu hikmah dari ibadah Haji. Al Furqan, Nilai-nilai Islamiyah mengenai ajaran tentang persaudaraan, kesabaran dan ajaran Al Furqan yang lain yang menyangkut akhlaq dipraktekkanlah pada waktu melaksanakan ibadah haji, untuk dapat mencapai haji mabrur. Berikut ini akan disajikan pengalaman pribadi saya sewaktu melaksanakan ibadah haji menyangkut praktek dari ajaran akhlaq mengenai nilai persaudaraan itu.

Pada waktu kejadian itu saya di alMasjid alHaram sedang menunggu waktu shalat zhuhur. Tidak lama sesudah duduk datanglah serombongan jama'ah dari Turki. Itu kentara dari panji yang dipegang salah seorang di antara mereka. Ujung paling kanan dari saf mereka itu duduk tepat di sebelah kiri saya. Setelah duduk sebagaimana lazimnya ia menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. Di Masjidi lHaram tidak ada shalat sunnat Tahiyatu lMasjid. Untuk menghormati Masjidi lHaram bukan dengan shalat sunnat, melainkan dengan tawaf. Setelah berjabat tangan mulailah sedikit tegur sapa. Ia bertanya: "Min ayna bilad, min Bakistan?". Dikiranya saya dari Pakistan, barangkali karena melihat songkok saya, yang mirip-mirip dengan songkok orang Pakistan, kemudian kulit saya berwarna gelap seperti orang Pakistan. Waktu itu saya telah umrah, dalam rangka haji tamattu', sudah tahallul, tidak berpakaian ihram lagi, jadi saya pakai songkok. Lalu saya jawab singkat: "La, min Indonesia".

Kemudian dari ujung paling kiri rombongan dari Turki itu saya lihat secara estafet disodorkan sebuah kantong kulit berisi air. Itu artinya rombongan Turki ini dari Anatolia, bukan dari Turki Eropah. Secara bergiliran anggota rombongan itu minum air dari kantong kulit itu. Agar air tidak tumpah ke lantai masjid, ujung kantong itu yang besarnya tepat-tepat dapat masuk ke dalam mulut itu, lenyap ke dalam mulut masing-masing yang sedang minum. Akhirnya kantong kulit itu tiba di tangan anggota rombongan yang bertegur sapa dengan saya itu. Kantong kulit itu disodorkannya pada saya juga. Nah, ini dia, pikir saya dalam hati. Tidak boleh merusak Ukhuwwah Islamiyah. Ayuh, praktekkan nilai itu, kata nurani saya. Dengan perasaan jijik saya terima kantong kulit itu. Bau kulit yang kurang sedap menusuk hidung. Masih dalam rasa jijik saya bertatap mata dengannya. Dari matanya saya lihat pancaran keikhlasan yang sangat jernih. Walaupun terjadinya hanya sejenak, pancaran mata yang bergitu ikhlas, begitu tulus, menghapuskan rasa jijik saya, bau pengap kantong kulit tidak lagi dirasakan oleh pengindera bau saya, terasa kesejukan dalam hati nurani saya, getaran Ukhuwwah Islamiyah merasuk kesadaran saya. Dengan mata yang basah berkaca-kaca, saya benamkan mulut kantong kulit itu kedalam mulut saya, langsung say reguk air dari kantong kulit itu dan nikmat sekali rasanya, membawa rasa segar dan sejuk. Inilah salah satu pengalaman saya dalam operasionalisasi nilai universal dalam ibadah haji yang tak mungkin saya lupakan. Kepada para jama'ah yang berangkat ke Tanah Suci, saya ucapkan selamat menunaikan ibadah haji, selamat mengoperasionalkan, mempraktekkan nilai-nilai universal, mudah-mudahan menjadi haji yang mabrur, amin. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 2 Mei 1993