16 Mei 1993

079. Masalah Pasar Sentral, Rambut Tidak Putus, Tepung Tidak Berserak, Silakan Makan Sirih Hai Tuanku

Kita hidup di dunia tidak akan sunyi dari masalah. Lalu apakah itu masalah. Secara gampangnya masalah itu adalah penyimpangan antara kenyataan terhadap keinginan. Seorang anak yang tidak lulus UMPTN belum tentu menjadi masalah baginya. Beberapa tahun lalu seorang teman anak saya datang di rumah dengan muka berseri-seri sehari setelah pengumaman hasil UMPTN. Lalu saya beri selamat. "Kau gembira betul, lulus ya, selamat." Begitulah kata saya kepadanya sambil menyodorkan tangan. "Saya tidak lulus pak". "Lalu mengapa gembira?" "Karena saya tidak lulus, saya dapat sekolah ke Jawa." Jadi teman anak saya ini rupanya keinginannya untuk menyambung ke Jawa. Jadi tidak lulus UMPTN bukan masalah baginya.

Pasar Sentral boleh dikata sudah hampir selesai direnovasi dalam rangka pembangunan kota. Kenyataan sudah sesuai keinginan bagi Pemda. Artinya bagi Pemda tidak ada masalah. Bagaimana dari pihak MTIR? Ya, perusahaan ini berdasar kontrak mendapat untung. Kenyataan yang berwujud kontrak sudah sesuai dengan keinginan. Juga ma fie lmasalah, no problem. Bagaimana dengan para Pedagang Kecil yang dahulu berdagang di sana? Kenyataannya berupa kemampuan jauh dari keinginan mereka, karena sewa (atau harga?) rasa-rasanya tak terjangkau. Jadi bagi Pedagang Kecil ada masalah. Bagaimana dengan para pakar hukum? Kenyataan tentang HGB dalam kontrak menurut penafsiran sebagian pakar hukum tidak sesuai dengan keinginan menurut yang normatif. Dan kalau penafsiran ini benar, lalu bagaimana kalau kontrak batal demi hukum? Bagi para investor yang ingin menginvestasikan modalnya di IBT akan berpikir berulang kali. Maka keinginan kita semua agar pembangunan berjalan mulus di IBT, dalam kenyataannya nanti insya Allah akan tersendat-sendat. Dan ini masalah bagi kita semua. Ini memang jadinya ruwet, complicated. Banyak kriteria yang saling bentrokan. Maka kita harus hati-hati. Kita dalam hal ini maksudnya Pemda, MTIR, Pedagang Kecil, para pakar hukum yang berpola pikir normatif secara sangat ketat, ya seluruh anggota manyarakat, ibarat menarik rambut di tepung, rambut tidak putus, tepung tidak berserak. Kita tidak mengatakan bahwa berpikir dengan pola normatif itu tidak wajar, melainkan yang kita garis bawahi ialah jangan sampai pola pikir normatif itu demikian sangat ketat dan kakunya sehingga dapat menyebabkan rambut putus atau tepung berserak. Yang melanggar hukum tentu saja tidak akan luput dari sanksi, baik sanksi dari negara maupun sanksi dari masyarakat, terlebih-lebih sanksi dari Allah SWT di Hari Pengadilan kelak.

Al Qissah, tersebut suatu kejadian, bukan imajinasi, disampaikan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Dua jagoan bertikam, Assipoto' purusang, saling mengikat tali celana kolor. Kalau orang Indian berduel, hinmanga, pergelangan kiri kedua jagoan tersebut diikat, maka di daerah ini duel di antara dua jagoan ada dua cara. Pertama seperti di atas, dan kedua di dalam
sarung. Kissah yang dikisahkan dari mulut ke mulut yang dikisahkan dalam kolom ini sedikit istimewa. Duel itu diselingi dengan istirahat. Rupanya kedua jagoan itu kebal, sekurang-kurangnya ahli silat, segesit kucing hutan. Sambil istirahat keduanya makan sirih. Sambil mengunyah sirih keduanya berbicara dengan hati nurani masing-masing. Dan hasilnya apa? Setelah bertikam tiga periode, selesai makan sirih untuk ketiga kalinya, keduanya saling menyarungkan badik, lalu berpelukan dengan mesra. Masing-masing mundur selangkah, menemukan diri masing-masing dalam dialog dengan nurani masing-masing pada waktu mengunyah sirih tadi, silang semgketa diselesaikan dengan persahabatan.

Al Qissah pula, sebuah yayasan di Sabah, bernama Yayasan Sabah, mengirim 23 orang anak-anak Sabah ke Universiti Kebangsaan untuk menjadi mahasiswa. Hasil pengolahan data dari prestasi atau unjuk kerja anak-anak Sabah itu yang diolah oleh komputer, ke-23 orang anak-anak Sabah itu tidak ada yang mencukupi syarat minimum untuk dapat diterima masuk Universiti Kebangsaan itu. Arena Wati, sang Sastrawan Negara diutus oleh yayasan itu datang ke universitas tersebut. Secara normatif ke-23 anak itu sudah menemui jalan buntu. Maka Arena Wati memakai metode makan sirih itu. Bukan betul-betul mengunyah sirih, tetapi kata kiasan. Sambil mengunyah sirih dikesampingkanlah barang sejenak pola pikir yang normatif itu. Kalau anak-anak Sabah itu tertolak semua, tak akan adalah orang-orang tua di Sabah yang akan berani mengirimkan anaknya melanjutkan ke universiti. Makan sirih itu ada hasilnya. Ke-23 orang itu diterima dengan bersyarat. Dalam jangka waktu tertentu diberi kesempatan. Akhirnya hanya 3 orang yang ditolak. Inilah kissah yang dikissahkan oleh Arena Wati dalam jamuan makan malam yang terbatas di rumah mantan Dekan Fakultas Sastra Unhas, Pak Husen Abas. Hadir antara lain budayawan kita Pak Andi Zainal Abidin Farid dan Bung Arge.

Barangkali tatacara makan sirih ini dapat diaplikasikan dalam sengketa kemelut Pasar Sentral ini. Sambil mengunyah sirih, berdialog dengan nurani masing-masing, diharapkan Pemda dapat mundur setapak, MTIR mundur pula setapak untuk memberi kesempatan para Pedagang Kecil maju setapak. Sambil mengunyah sirih cobalah berdialog dengan diri sendiri, menanyai nurani masing-masing. Untuk apa sebenarnya para pendiri Republik ini, para the founding fathers kita itu berikrar pada 18 Agustus 1945. Untuk apa sebenarnya kita ini merdeka, untuk apa sebenarnya kita ini mendirikan dan membangun Republik yang kita cintai ini. Jawaban hati nurani itu diwujudkan dalam GBHN, urutan pertama dari Trilogi Pembangunan: Pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan. Pemerataan pembangunan bukan hanya sekadar pembangunan itu merata di mana-mana, melainkan berarti pula bahwa para pembangun itu merata di setiap strata kehidupan kemasyarakatan kita, tidak terkeculai para Pedagang Kecil yang antara lain mantan pedagang kecil di Pasar Sentral yang lama.

Allah berfirman: wa amruhum syura baynahum, dan urusan mereka itu dimusyawarakanlah di antara mereka itu. Dan siapakan mereka itu dalam kasus Pasar Sentral ini? Mereka itu adalah Pemda, MTIR, Pedagang Kecil dan sebaiknya pula Bank Pembangunan Daerah. Mengapa Bank Pembangunan Daerah perlu pula ikut makan sirih? Ini untuk ikut membuka jalan penyelesaian, andaikata Pemda dan MTIR sudah mundur setapak, para Pedagang Kecil sudah maju setapak, namun para Pedagang Kecil itu belum mampu membayar sewa (atau harga?). Maka Bank Pembangunan Daerah barangkali dapat memberikan kredit ringan kepada mereka itu. Pemda, MTIR, Pedagang Kecil, Bank Pembangunan Daerah, silakan makan sirih hai tuanku. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 16 Mei 1993