30 Januari 1994

114. Kata Pungut yang Menimbulkan Kerancuan

Suatu hal yang biasa apabila kata-kata pungut yang dipungut dari bahasa asing, jika sudah menjadi bahasa Indonesia (dan bahasa lain tentunya) akan berubah maknanya. Ambillah misalnya kata logat yang dipungut dari bahasa Arab Al Lughatu (dibaca Al Lughah). Dalam proses memungut ini terjadi penyempitan makna. Logat dalam bahasa Indonesia bermakna dialek, sedangkan Al Lughatu berarti bahasa. Sebaliknya pemungutan kata kalimat dan bahasa Arab Al Kalimatu (juga dibaca Al Kalimah), terjadi perluasan makna. Kalimat berarti susunan kata kata yang berstruktur, yang dalam bahasa Inggerisnya disebut sentence. Sedangkan Al Kalimatu bermakna kata, yaitu word dalam bahasa Inggerisnya. Bahkan pemungutan itu ada yang berubah sama sekali maknanya, seperti misalnya kata jumlah yang dipungut dan Al Jumlatu. Jumlah benmakna hasil pertambahan, sedangkan Al Jumlatu bermakna kalimat, sentence.

Oleh sebab itu dalam suatu diskusi perlu sekali diperjelas istilah-istilah yang dipungut dari bahasa Arab, lebih-lebih lagi jika kata pungut dari bahasa Arab itu sudah tidak disadari lagi sebagai kata pungut. Dalam diskusi panel hari Ahad lalu di lantai 3 Fajar, hal kerancuan makna kata pungut mi kurang disadari oleh majelis. Yaitu tentang makna kata ilmu, dalam ungkapan Iptek. Kata ilmu dipungut dan bahasa Al Quran Al 'Ilmu (dibaca Al 'lIm) bermakna pengetahuan. Yaitu hasil kegiatan akal manusia mempelajari sumber informasi yang disebut ayat. Adapun ayat itu dapat berupa wahyu yang diturunkan kepada para Nabi, keluar dan mulut para Nabi dalam bentuk verbal yang otentik. Dapat pula ayat itu berupa alam syahadah (physical world). Kedua jenis ayat itu dapat dilihat dan didengar. Jenis yang pertama dapat didengar oleh telinga jika dibacakan, itulah ayat Al Quran. Jika dituliskan bernamalah Al Kitab, yang dituliskan, maka dapatlah dideteksi oleh mata. Adapun halnya dengan jenis ayat yang kedua, yang berupa alam syahadah, pendengaran dan penglihatan manusia itu biasanya dengan bantuan instrumen. Ada pula jenis ayat yang disebut dalam S. An Najm 18 dengan Ayatu IKubray, Ayat Agung, namun ini hanya untuk konsumsi qalbu manusia yang taqwa saja, yaitu yang Yu'minuwna hi IGhaybi, mengimani Yang Ghaib (Allah, Malaikat, Ayatu lKubra, Akhirat dan Pekabaran Ghaib yaitu Yawmu lQiyaamah (hari berbangkit), Yawmu dDiyn (hari pengadilan). Jadi Ayatu lKubra tidak dapat menjadi sumber informasi bagi manusia untuk olah akal, mengilmu, beryatafaqqahu fiy ddiyn, karena Ayatu lKubra itu hanya disaksikan oleh seorang manusia saja, yaitu Nabi Muhammad SAW pada waktu lsra Mi'raj. Kata ilmu dalam bahasa Indonesia, biasanya digabungkan dengan kata pengetahuan menjadi kata majemuk Ilmu Pengetahuan. Tenjadilah pula penyempitan makna, yaitu Ilmu Pengetahuan hanya bersumberkan informasi dari alam syahadah.

Selanjutnya dibagi atas Ilmu Pengetahuan Eksakta dan Non Eksakta. Celakanya, kalau Ilmu Pengetahuan itu digabung dengan Teknologi, Iptek, makin menyempitlah makna Ilmu Pengetahuan itu. Menjadilah ia bermakna science dalam bahasa Inggeris. Adapun science ini sudah dipungut pula menjadi sains dalam bahasa Indonesia. Lab berlanjut pula ke kata scientific yang ditenjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata ilmiyah, scientific approach dengan pendekatan ilmiyah. Ada kesan dan sebahagian peserta diskusi panel termasuk wartawan harian Fajar pada hari Ahad yang lalu, bahwa Fuad Rumi tidak sependapat dengan ketiga panelis lainnya. Dan ini telah dibantah oleh Fuad Rumi keesokan harinya juga. Memang, sesungguhnya menurut saya ke empat panelis semuanya sependapat, tidak ada hubungan dan relevansi antara penistiwa Isra Mi'raj dengan Iptek, dalam arti Ilmu Pengetahuan dalam kosa kata bahasa Indonesia, yang telah mengalami perubahan makna dan kata asalnya tempat ia dipungut, yaitu Al 'Ilmu dalam bahasa Al Quran.

Dalam diskusi panel itu Ishak Ngelyaratan menyodorkan informasi yang sangat bermanfaat, yaitu sejak 30 tahun lalu muncul aliran yang menentang anggapan Ilmu Pengetahuan itu polos. Menurut aliran itu Ilmu Pengetahuan tidak dapat dilepaskan dan nilai-nilai moral. Walau ini patut kita syukuri namun elok kita sadari bahwa ini barulah merupakan langkah awal untuk proses selanjutnya. Upaya hanus dilanjutkan agar moral yang berperan itu bersumber dari wahyu. Ambillah contoh misalnya pembuahan sel telur oleh sperma di dalam tabung, yang menghasilkan teknologi bayi tabung. Jika ajaran moral itu sifatnya sekuler, artinya tidak bertopang pada wahyu, maka dapat saja dibenarkan tentang ekses bayi tabung yaitu timbulnya bank mani yang sekarang sudah menjadi kenyataan di beberapa negara modern. Ajaran moral yang bersumberkan wahyu jelas menolak bank mani tensebut. Demikian pula hasil teknologi jas-mani (kondom) tidak dibenarkan oleh ajaran moral yang bertumpu pada wahyu, karena mudharatnyajauh lebib besar ketiimbang manfaatnya, memperlancar dekadensi budaya oleh peningkatan eksponensial kwantitas hubungan free-sex.

Langkah selanjutnya adalah ajaran moral yang bensumberkan wahyu itu bukan hanya sekadar menjadi tukang jaga pintu yang menyeleksi apa saja yang boleh masuk ke dalam rumah Iptek, apa saja hasil yang keluar dari rumah Iptek yang boleh diteruskan ke konsumen, melainkan moral yang bersumberkan wahyu itu harus juga masuk ke dalam rumah, berperan aktif dalam proses Iptek. Seperti misalnya teknik produksi dalam pabrik-pabnik yang mempergunakan sistem sabuk berjalan (assembly line, lopende baan). Dalam sistem sabuk berjalan ini manusia, makhluq yang mulia ciptaan Allah itu, menjadi bagian dan sistem mesin. Siapa saja yang masih mempunyai rasa kemanusiaan yang peka yang menyaksikan dalam pabnik bagaiamana pekerja itu ibarat robot menjadi bagian mekanisme sistem sabuk benjalan itu, akan tergugah rasa kemanusiaannya dan akan berucap: Masya-Allah ini sudah melebihi eksploitasi manusia atas manusia, ini adalah eksploitasi mesin atas manusia. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 30 Januari 1994